Kamis, 23-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Mengatasi Tantangan Setor Hafalan Al-Qur’an di Kelas dengan Pendekatan Humanis dan Solutif

Diterbitkan :

Pendidikan sejatinya tidak hanya bertujuan mencetak generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi juga unggul dalam moral dan spiritual. Salah satu pilar penting dalam pendidikan berbasis Islam adalah hafalan Al-Qur’an, yang menjadi fondasi pembentukan karakter dan kedalaman spiritual siswa. Menghafal Al-Qur’an bukan sekadar aktivitas mengingat ayat-ayat suci, melainkan proses membentuk kedisiplinan, keikhlasan, dan keteguhan hati. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit guru menghadapi tantangan besar: sebagian siswa enggan atau tidak mau setor hafalan. Fenomena ini sering kali muncul tanpa penjelasan yang jelas, tetapi berdampak signifikan terhadap dinamika pembelajaran tahfidz di sekolah.

Dalam konteks pendidikan karakter, hafalan Al-Qur’an memiliki posisi yang sangat strategis. Melalui kegiatan menghafal, siswa belajar konsisten, bertanggung jawab, dan menjaga hubungan spiritual dengan Allah SWT. Akan tetapi, ketika semangat ini mulai pudar atau bahkan hilang, peran guru menjadi sangat krusial. Guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendamping spiritual yang memahami psikologis siswa. Mereka dituntut untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, penuh empati, dan menginspirasi, agar siswa tidak hanya termotivasi untuk menghafal, tetapi juga mencintai prosesnya.

Fenomena siswa yang enggan setor hafalan sebenarnya cukup umum ditemukan di berbagai lembaga pendidikan Islam. Dalam beberapa kasus, siswa memilih diam atau menunda waktu setoran dengan berbagai alasan. Ada yang merasa malu karena takut salah di depan teman-temannya, ada pula yang kehilangan kepercayaan diri karena belum lancar menghafal. Beberapa siswa mungkin merasa belum siap secara mental, sementara yang lain belum benar-benar memahami makna dan tujuan dari menghafal Al-Qur’an itu sendiri. Bagi sebagian siswa, hafalan dianggap sebagai beban, bukan kesempatan berharga untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi guru tahfidz, yang harus mampu menggali penyebab dan mencari solusi yang bijak tanpa membuat siswa semakin tertekan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, langkah pertama yang dapat dilakukan guru adalah menanyakan penyebab secara personal. Pendekatan ini menuntut kepekaan dan empati yang tinggi. Guru sebaiknya mengajak siswa berdialog secara santai, tanpa tekanan, agar mereka merasa aman dan nyaman dalam menyampaikan kendala yang dihadapi. Dalam suasana penuh kepercayaan, siswa biasanya lebih terbuka. Dari sana, guru dapat memahami akar permasalahan — apakah karena rasa takut, kurang percaya diri, atau faktor lain yang menghambat keberanian mereka untuk setor hafalan. Hubungan yang baik antara guru dan siswa menjadi dasar penting untuk membangun kembali semangat menghafal dengan cara yang lebih positif dan manusiawi.

Langkah berikutnya adalah memberikan motivasi dan edukasi yang menyentuh hati. Guru perlu menanamkan kembali kesadaran tentang keutamaan menghafal Al-Qur’an, baik dari sisi spiritual maupun akademik. Secara spiritual, hafalan Al-Qur’an menjadi sumber keberkahan hidup dan ketenangan batin. Secara akademik, kegiatan ini melatih daya ingat dan konsentrasi siswa, yang juga berdampak positif terhadap pelajaran lain. Guru dapat menyampaikan kisah inspiratif dari para huffaz—para penghafal Al-Qur’an—yang berhasil menyeimbangkan hafalan dengan prestasi akademik. Kisah-kisah seperti ini sering kali mampu membangkitkan motivasi siswa karena mereka melihat bahwa menghafal bukan hal mustahil, melainkan perjalanan yang penuh makna dan kemuliaan.

Selain itu, suasana belajar juga perlu dibuat lebih menyenangkan. Guru dapat menerapkan metode setor hafalan yang kreatif, misalnya dengan sistem kelompok atau bergiliran. Pendekatan berkelompok memungkinkan siswa saling mendukung dan memotivasi satu sama lain, sehingga rasa canggung dan takut berkurang. Permainan ringan seperti quiz tahfidz, sistem tantangan positif, atau penilaian berbasis poin dapat meningkatkan antusiasme siswa. Pendekatan yang menyenangkan akan menumbuhkan rasa senang terhadap hafalan, bukan sekadar kewajiban. Guru dapat memanfaatkan teknologi sederhana, seperti rekaman suara atau aplikasi hafalan digital, agar prosesnya lebih variatif dan interaktif.

Pemberian penghargaan juga menjadi strategi efektif dalam membangun semangat siswa. Apresiasi tidak selalu harus berupa benda, tetapi juga bisa berupa pujian tulus, sertifikat simbolik, atau pengumuman di mading sekolah. Penghargaan kecil semacam ini memiliki dampak besar terhadap psikologis siswa karena mereka merasa dihargai atas usahanya. Budaya apresiatif di kelas tahfidz dapat memupuk semangat kompetitif yang sehat, di mana setiap siswa berusaha memberikan yang terbaik bukan karena tekanan, melainkan karena dorongan dari dalam dirinya sendiri. Guru tahfidz perlu menanamkan nilai bahwa setiap hafalan, sekecil apa pun, tetap berharga di sisi Allah. Dengan begitu, siswa tidak takut salah, karena yang penting adalah usaha yang tulus dan berkelanjutan.

Dalam menghadapi siswa yang masih enggan, guru sebaiknya tidak menggunakan pendekatan keras. Sebaliknya, pendekatan lembut dan penuh kasih justru lebih efektif. Mengingatkan dengan kata-kata yang menenangkan, menuntun dengan sabar, dan melibatkan doa bersama dapat menciptakan energi spiritual yang kuat di kelas. Doa bersama bukan sekadar ritual, tetapi bentuk kebersamaan spiritual yang menumbuhkan harapan dan keyakinan bahwa menghafal Al-Qur’an adalah perjalanan yang penuh berkah. Guru dapat mengajak siswa memohon kemudahan, kelancaran, dan keikhlasan dalam setiap setoran hafalan. Ketika suasana kelas diwarnai dengan kelembutan dan ketulusan, siswa akan lebih terbuka hatinya untuk berjuang tanpa rasa takut.

Melalui berbagai strategi tersebut, hasil yang diharapkan adalah tumbuhnya motivasi dan semangat baru di kalangan siswa. Mereka tidak lagi melihat hafalan sebagai beban, tetapi sebagai kehormatan dan bentuk pengabdian kepada Allah. Suasana kelas tahfidz pun berubah menjadi lingkungan yang menyenangkan, disiplin, dan penuh semangat kebersamaan. Siswa saling mendukung, guru menjadi figur inspiratif, dan setiap proses setor hafalan menjadi momen yang dinanti-nanti, bukan dihindari. Ketika suasana positif ini terbentuk, hafalan Al-Qur’an tidak hanya berkembang secara kuantitas, tetapi juga kualitas.

Pada akhirnya, setiap anak memiliki potensi besar untuk menjadi penghafal Al-Qur’an. Potensi ini tidak selalu tampak sejak awal, tetapi akan tumbuh seiring bimbingan yang tepat, suasana yang mendukung, dan keteladanan guru yang tulus. Peran guru dalam konteks ini sangat penting — bukan hanya sebagai pengajar yang menilai hafalan, tetapi juga sebagai pembimbing spiritual dan motivator yang menuntun siswa menapaki jalan penghafalan dengan hati yang ikhlas. Menghafal Al-Qur’an adalah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran, dan guru berperan sebagai pelita yang menerangi setiap langkah perjalanan itu.

Dengan kesungguhan, kasih sayang, dan doa, proses setor hafalan bukan lagi sekadar rutinitas, tetapi menjadi bagian dari pembentukan karakter yang luhur. Melalui hafalan Al-Qur’an, siswa belajar tentang disiplin, ketekunan, serta cinta kepada firman Allah. Inilah pendidikan sejati—pendidikan yang menyentuh akal, hati, dan jiwa sekaligus.

Penulis : Rian Prasetyo, Guru Tahfidz SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang