Minggu, 26-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Sekolahnya Para Kethek: Puisi yang Menertawakan dan Menyembuhkan Dunia Pendidikan

Diterbitkan :

Ada kalanya kenyataan terlalu getir untuk diceritakan dengan laporan, dan terlalu lucu untuk ditulis dengan makalah. Maka, muncullah puisi—sebagai bentuk protes yang lembut, tawa yang getir, dan doa yang masih ingin terdengar.
Begitulah kiranya buku kumpulan puisi Sekolahnya Para Kethek lahir: dari seorang kepala sekolah yang baru saja menutup masa jabatannya, tetapi membuka bab baru dalam permenungan.

Empat hari lima malam tanpa tidur, katanya, hanya ditemani “hormon endorfin yang mbludag.” Puisi-puisi itu datang seperti air bah—mengalir deras dari hati yang lega dan kepala yang jernih. Ia menulis bukan karena ingin jadi penyair, melainkan karena merasa “dituntun untuk menuliskan fakta di sekolah kita.”

Ketika Kethek Menjadi Cermin

Di hutan Cikakak, ia “melihat” para kethek berkumpul, belajar, berdiskusi, bahkan berdebat tentang moral dan spiritualitas. Dari sana lahir simbol besar dalam buku ini: kethek sebagai cermin manusia.

Siapa pun yang membaca buku ini dengan hati terbuka akan menemukan “kethek” di dalam dirinya sendiri—sisi lugu, lucu, tapi juga serakah, takut, dan terkadang munafik.

“Semoga para pembaca menemukan kethek dalam dirinya masing-masing,” tulis sang penulis, “sebagai refleksi dan cermin betapa kethek-nya kita.”

Namun, tak sedikit yang bahkan takut melihat judulnya.
“Baru baca judulnya saja sudah takut tersindir,” katanya sambil tertawa.
Barangkali benar: hanya orang yang bisa menertawakan dirinya sendiri yang sudah sampai pada tahap pendidikan batin paling tinggi.

Pendidikan Spiritual Kethek: Satire di Tengah Doa

Salah satu puisi paling menonjol dalam buku ini berjudul Pendidikan Spiritual Kethek—sebuah kisah satir tentang para monyet yang belajar “spiritualitas” di bawah bimbingan Guru Besar Rimba, seekor kethek renta berjubah kulit pisang kering.

Dalam puisinya, “pendidikan sejati bukan di kepala, tetapi di hati,” kata sang guru. Namun di lapangan, murid-murid kethek tetap dijejali hafalan, modul, ujian, dan retret sunyi tanpa pisang.
Mereka disuruh sabar meski lapar, disuruh damai meski bingung.

> “Kesabaran adalah jalan naik level,” kata sang guru.
“Tapi apakah sabar bisa mengganti pisang yang hilang?” tanya muridnya.

Pertanyaan itu sederhana tapi mengguncang. Puisi ini menyingkap absurditas pendidikan kita, yang sering kali kehilangan keseimbangan antara spiritualitas dan realitas. Kita sibuk menulis nilai religius di rapor, tapi lupa menanam empati di dada. Kita membuat “modul ketulusan” versi birokrasi, tapi lupa mendengarkan lapar dan lelah murid di lapangan.

Di akhir puisi, penyair menutup dengan satire yang menggigit:

> “Pendidikan spiritual kethek menjadi drama suci:
di atas panggung: mantra, doa, nilai moral,
di belakang layar: lapar, bosan, dan kebingungan.”

Itulah keindahan pahit yang membuat puisi ini hidup—ia menertawakan kesucian palsu tanpa kehilangan rasa hormat pada kesungguhan.

Jadikethek: Filsafat Guru Masa Kini

Namun, Sekolahnya Para Kethek bukan hanya olok-olok. Ia juga menyodorkan rumusan baru tentang profesionalisme guru dengan cara yang jenaka namun tajam:
KETHEK dijadikan akronim:

K = Kreatif

E = Edukatif

T = Tangguh (Tough)

H = Humble

E = Empati

K = Kolaboratif

Menurut penulisnya, inilah bentuk nyata dari guru profesional sejati—bukan sekadar berijazah, tetapi berjiwa. “Jadi kalau guru harus jadikethek, jangan marah,” tulisnya di pengantar. “Kan malah mudah diingat.”

Filsafat “jadikethek” ini justru mengandung kedalaman spiritual: rendah hati, luwes, dan tak pernah berhenti belajar. Sebab guru sejati tahu, kadang yang tampak bodoh justru sedang belajar paling serius.

Tegas Jangan Tega

Kelembutan tulisan ini tak berarti lemah. Penulis tahu betul bahwa dalam dunia pendidikan, keras bukan berarti kejam, dan tegas bukan berarti tega.
“Sikap dan kata kadang perlu keras, tapi hati harus lembut,” tulisnya. Sebab tanpa ketegasan, kadang tidak ada yang selesai. Namun tanpa kelembutan, pendidikan kehilangan ruhnya.

Dalam satu kalimat jenaka ia menyindir diri sendiri:

> “Benar juga kalau tegas itu ternyata singkatan dari tegelan dan nggragas.”

Tawa pun meledak di antara pembaca, tapi setelah itu sunyi. Karena di balik tawa itu, ada kejujuran yang menelanjangi kita semua.

Puisi yang Menyembuhkan

Buku Sekolahnya Para Kethek akhirnya menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kumpulan puisi. Ia adalah cermin spiritual, buku terapi, dan satire pendidikan dalam satu wadah.

Sang penulis menutup pengantarnya dengan kalimat sederhana tapi dalam:
“Semoga tambah sehat dan bahagia. Pilih beli buku daripada beli obat.”

Dan benar, membaca buku ini seperti meneguk jamu pahit yang menyehatkan. Ia menyembuhkan dengan tawa, menenangkan dengan kejujuran, dan menyentil dengan kasih.

Sekolahnya Para Kethek adalah bacaan yang menertawakan kita agar kita kembali waras. Ia mengingatkan, bahwa di tengah tumpukan rapor, kurikulum, dan sertifikasi, yang paling penting dari pendidikan adalah kemanusiaan.

Mungkin setelah menutup halaman terakhirnya, kita akan tersenyum kecil dan berkata,

> “Ternyata aku pun kethek. Tapi setidaknya, kethek yang sedang belajar jadi manusia”

Ajibarang, 25102025

Penulis : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja. Guru IPA SMPN 2 Ajibarang dan Penulis Esai Pendidikan