Dalam satu dekade terakhir, dunia pendidikan menghadapi perubahan besar akibat pesatnya perkembangan teknologi digital. Gawai—terutama handphone (HP)—menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan siswa. Perangkat kecil yang multifungsi ini telah mengubah cara generasi muda berinteraksi, berkomunikasi, bahkan belajar. Namun, di balik manfaatnya yang luar biasa, HP juga menghadirkan tantangan baru di ruang kelas. Guru kini tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pengelola perhatian siswa di tengah derasnya arus distraksi digital.
Fenomena ini tampak jelas di berbagai ruang belajar. Siswa duduk di bangku kelas dengan HP di saku atau di atas meja, layar sesekali menyala menampilkan notifikasi pesan, pop-up game, atau story terbaru dari media sosial. Dalam sekejap, perhatian mereka berpindah dari papan tulis ke layar gawai. Bagi sebagian siswa, membuka HP di tengah pelajaran bukan lagi pelanggaran besar, melainkan kebiasaan yang dianggap wajar. Mereka mungkin hanya ingin melihat waktu, tetapi berujung menjelajahi feed media sosial tanpa sadar waktu berjalan. Di sinilah letak persoalan besar dunia pendidikan masa kini: bagaimana menjaga fokus belajar di tengah distraksi yang tiada henti.
Bagi guru, kondisi ini menjadi tantangan serius. Proses belajar yang seharusnya berlangsung dua arah sering terganggu karena konsentrasi siswa terbagi. Pembelajaran yang telah disiapkan dengan matang bisa kehilangan daya tarik hanya karena satu notifikasi dari WhatsApp atau Instagram. Tak jarang guru harus menegur siswa berulang kali, sementara suasana kelas menjadi tegang dan tidak kondusif. Distraksi digital bukan sekadar persoalan disiplin, melainkan juga persoalan psikologis dan kognitif yang berdampak langsung pada efektivitas pembelajaran.
Lebih jauh lagi, masalah ini sering kali muncul pada jam pelajaran siang hari, saat energi siswa mulai menurun dan konsentrasi melemah. Setelah berjam-jam belajar sejak pagi, tubuh mulai lelah dan pikiran mudah terdistraksi. Kombinasi antara rasa kantuk, udara panas, dan godaan HP menciptakan situasi yang sempurna untuk kehilangan fokus. Guru perlu berstrategi agar kelas tetap hidup dan siswa tetap terlibat, tanpa harus menimbulkan kesan memaksa atau menghukum.
Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa guru di SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang menerapkan strategi sederhana namun efektif dalam mengelola penggunaan HP di kelas. Strategi ini tidak berfokus pada larangan semata, melainkan pada pembentukan kesadaran dan kebiasaan belajar yang sehat. Langkah pertama yang dilakukan adalah menerapkan kebijakan pengumpulan HP di awal pelajaran. Guru menyiapkan sebuah box khusus—biasanya berbentuk kotak transparan atau wadah bersekat—di mana setiap siswa meletakkan HP mereka sebelum pelajaran dimulai.
Kegiatan ini dilakukan bukan dengan paksaan, tetapi berdasarkan kesepakatan bersama antara guru dan siswa. Guru menjelaskan bahwa pengumpulan HP bukan untuk membatasi kebebasan, melainkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang fokus. Siswa diberi ruang untuk memahami tujuan dari kebijakan ini dan menyetujui bersama aturan mainnya. Dengan adanya kesepakatan tersebut, siswa merasa dihargai dan memiliki tanggung jawab terhadap suasana kelas.
Menariknya, pendekatan ini ternyata lebih efektif daripada sekadar larangan keras. Ketika siswa merasa dilibatkan, mereka cenderung lebih patuh dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kedisiplinan. Setelah HP dikumpulkan, suasana kelas perlahan berubah. Pandangan siswa tidak lagi tertuju ke meja masing-masing, melainkan ke arah guru dan papan tulis. Gangguan visual dari layar gawai menghilang, dan interaksi antar manusia—yang sempat tersisihkan oleh dunia digital—kembali menghangat.
Langkah berikutnya dalam strategi ini adalah mengoptimalkan smartboard sebagai pusat perhatian di kelas. Smartboard merupakan papan digital interaktif yang memungkinkan guru menyajikan materi secara visual, dinamis, dan menarik. Dengan smartboard, guru dapat menampilkan peta, grafik, video, hingga simulasi interaktif tanpa harus berpindah-pindah media. Siswa pun diajak berinteraksi langsung, misalnya dengan menjawab kuis singkat atau menandai lokasi pada peta digital.
Pendekatan visual ini terbukti efektif dalam mengalihkan fokus siswa dari HP ke materi pelajaran. Mereka tidak lagi hanya mendengar penjelasan, tetapi juga melihat dan melakukan. Visualisasi yang menarik membantu otak memproses informasi lebih cepat, sementara interaksi langsung menciptakan rasa keterlibatan emosional. Guru pun menjadi lebih leluasa berimprovisasi, menyesuaikan gaya mengajar dengan respon siswa di kelas.
Namun, menjaga fokus siswa selama satu jam pelajaran tidak bisa hanya mengandalkan teknologi. Energi kelas perlu dijaga agar tidak menurun di tengah pembelajaran. Di sinilah peran ice breaking menjadi penting. Ice breaking adalah aktivitas ringan yang disisipkan di tengah pelajaran untuk menyegarkan pikiran, menumbuhkan semangat, dan mempererat hubungan sosial antar siswa. Bentuknya bisa sangat sederhana, mulai dari permainan singkat, tebak gambar, gerakan peregangan, hingga tantangan kecil yang lucu dan edukatif.
Sebagai contoh, guru dapat meminta siswa berdiri dan memainkan permainan “Tebak Lokasi Dunia” dengan cara menunjuk gambar bendera atau peta yang muncul di smartboard. Aktivitas ini berlangsung hanya beberapa menit, tetapi efeknya luar biasa. Siswa tertawa, bergerak, dan kembali fokus pada pelajaran. Kelas yang semula terasa monoton berubah menjadi ruang yang penuh energi positif.
Setelah penerapan ketiga langkah ini—pengumpulan HP, penggunaan smartboard, dan ice breaking—terjadi perubahan yang signifikan dalam suasana kelas. Siswa menjadi lebih fokus, interaktif, dan antusias mengikuti pelajaran. Tidak ada lagi gangguan suara notifikasi atau tatapan mata yang mengarah ke bawah meja. Proses belajar berlangsung lebih efektif, dan hubungan antara guru serta siswa menjadi lebih hangat.
Dampak positif ini tidak hanya dirasakan oleh guru, tetapi juga oleh siswa sendiri. Banyak dari mereka yang mengaku merasa lebih tenang belajar tanpa HP di dekat mereka. Tanpa disadari, kebiasaan sederhana ini melatih kemampuan mereka dalam mengelola waktu dan konsentrasi. Mereka belajar bahwa fokus adalah keterampilan yang harus dilatih, bukan sekadar kondisi yang datang begitu saja.
Meski demikian, strategi ini bukan tanpa tantangan. Tidak semua siswa langsung menerima kebijakan pengumpulan HP dengan antusias. Ada yang merasa kehilangan “rasa aman” karena tidak bisa memegang HP selama pelajaran, terutama di era ketika gawai sudah menjadi perpanjangan identitas diri. Karena itu, pendekatan kolaboratif menjadi kunci. Guru perlu terus berdialog dengan siswa, menjelaskan manfaat dan mendengarkan masukan mereka. Proses ini akan menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar kepatuhan.
Ke depan, strategi pengelolaan HP di kelas dapat dikembangkan lebih jauh melalui pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Salah satunya dengan memanfaatkan HP sebagai alat bantu belajar, bukan sekadar sumber gangguan. Dalam beberapa sesi, guru dapat mengizinkan siswa menggunakan HP untuk kegiatan tertentu seperti menjawab kuis interaktif di Kahoot atau mencari informasi tambahan di internet. Dengan cara ini, siswa belajar bahwa teknologi bukan musuh, melainkan alat yang harus digunakan secara bijak.
Selain itu, variasi ice breaking juga perlu diperhatikan agar kegiatan tersebut tidak kehilangan daya tarik. Guru dapat menyesuaikan jenis permainan dengan karakter kelas dan materi pelajaran. Untuk kelas yang energik, aktivitas fisik ringan bisa menjadi pilihan, sedangkan untuk kelas yang lebih tenang, permainan kata atau teka-teki bisa menjadi alternatif menyenangkan. Kreativitas guru menjadi kunci dalam menjaga semangat belajar siswa tetap menyala sepanjang jam pelajaran.
Dari berbagai pengalaman di lapangan, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan penggunaan HP yang bijak dapat menjadi langkah sederhana namun berdampak besar bagi kualitas pembelajaran. Melalui strategi yang tepat, guru tidak hanya menertibkan kelas, tetapi juga menumbuhkan kesadaran digital (digital awareness) pada diri siswa. Mereka belajar memahami bahwa setiap teknologi memiliki waktu dan tempatnya sendiri, dan bahwa keberhasilan belajar bergantung pada kemampuan mengatur fokus di tengah kebisingan informasi.
Pembelajaran yang efektif tidak selalu membutuhkan teknologi canggih, tetapi membutuhkan keseimbangan antara aturan, interaksi, dan suasana. Dengan mengumpulkan HP di awal pelajaran, memanfaatkan smartboard secara kreatif, dan menyisipkan ice breaking yang menyegarkan, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang fokus, menyenangkan, dan bermakna. Siswa pun belajar dalam suasana yang lebih manusiawi—di mana interaksi langsung, tawa, dan rasa ingin tahu kembali menjadi inti dari proses belajar itu sendiri.
Pada akhirnya, inovasi dalam pengelolaan kelas bukanlah tentang menghapus teknologi dari ruang belajar, melainkan tentang bagaimana menjinakkannya. HP tidak perlu dianggap musuh, melainkan sahabat belajar yang harus ditempatkan dengan bijak. Ketika guru dan siswa sama-sama memahami pentingnya keseimbangan antara dunia digital dan realitas kelas, maka lahirlah ruang belajar yang sehat: tempat di mana teknologi mendukung konsentrasi, bukan mengalihkan perhatian darinya.
Dari kelas yang tenang tanpa dering notifikasi hingga wajah-wajah siswa yang tersenyum antusias saat ice breaking, perubahan ini menjadi bukti bahwa inovasi tidak harus rumit. Cukup dengan langkah sederhana, komitmen bersama, dan sedikit kreativitas, guru dapat menumbuhkan kembali semangat belajar yang tulus di tengah derasnya arus digitalisasi. Karena pada akhirnya, inti dari pendidikan bukanlah sekadar mentransfer informasi, tetapi menumbuhkan kesadaran untuk terus belajar—dengan hati, pikiran, dan fokus yang utuh.
Penulis : Miftahul Amirin, S.Pd, Guru Geografi SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang
