Jumat, 12-09-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Bicara Itu Soal Pola, Bukan Sekadar Isi

Diterbitkan : Rabu, 23 Juli 2025

Pernah gak kamu cerita panjang lebar, penuh semangat, tapi lawan bicaramu malah tiba-tiba ngelirik HP, senyum sendiri baca notifikasi, atau bahkan pura-pura batuk biar bisa kabur? Rasanya nyesek, bukan? Di era digital ini, komunikasi bukan cuma tentang apa yang kita ucapkan, tapi juga bagaimana kita bisa mempertahankan perhatian orang lain di tengah banjir distraksi. HP, media sosial, dan notifikasi tanpa henti membuat fokus jadi barang langka. Bahkan dalam lima detik pertama, audiens bisa langsung ‘pindah channel’ kalau kita gak menyusun pesan dengan cara yang menarik.

Masalahnya, banyak dari kita bicara seperti sedang menuang isi kepala tanpa corong. Informasi tumpah ke mana-mana, tanpa arah, tanpa pola. Padahal otak manusia menyukai keteraturan. Otak ingin mengenali pola, bukan menerima informasi acak. Inilah mengapa presentasi yang memukau, konten yang viral, dan cerita yang melekat di ingatan selalu punya satu kesamaan: struktur yang jelas. Buku Talk Like TED karya Carmine Gallo bahkan menegaskan bahwa struktur adalah rahasia di balik para pembicara TED yang paling berkesan. Mereka bukan hanya pintar bicara, tapi tahu bagaimana menyusun pesan agar menancap di pikiran.

Saat kita bicara tanpa struktur, otak lawan bicara jadi cepat lelah. Mereka harus bekerja ekstra keras untuk memahami arah cerita. Hasilnya? Fokus buyar, perhatian lari ke TikTok, dan pesan kita menguap begitu saja. Karena itulah, penting sekali menyusun pesan dalam pola yang familiar bagi otak. Struktur ibarat jalan setapak yang membantu pendengar berjalan bersama kita, langkah demi langkah, tanpa tersesat.

Berikut ini lima struktur bicara yang terbukti efektif dan disukai otak manusia:

Masalah – Dampak – Solusi

Struktur ini bekerja karena manusia secara alami tertarik pada konflik dan penyelesaian. Kita ingin tahu ada masalah apa, bagaimana dampaknya, dan apa solusinya. Misalnya, kamu bisa mulai dengan mengungkap bahwa banyak karyawan muda mengalami stres karena overthinking. Lalu, jelaskan dampaknya terhadap produktivitas dan kesehatan mental. Akhiri dengan solusi seperti journaling harian yang bisa membantu menenangkan pikiran.

Banyak mahasiswa mengalami kesulitan menyelesaikan tugas karena merasa overwhelmed dengan beban akademik. Akibatnya, mereka cenderung menunda-nunda pekerjaan, yang berujung pada penumpukan tugas, penurunan kualitas hasil, dan meningkatnya stres menjelang tenggat waktu. Untuk mengatasi hal ini, salah satu solusi sederhana namun efektif adalah menggunakan teknik Pomodoro, yaitu belajar fokus selama 25 menit dan beristirahat selama 5 menit. Metode ini membantu mahasiswa memulai dengan langkah kecil dan menjaga ritme kerja yang sehat.

Di sisi lain, guru juga menghadapi tantangan serupa dalam bentuk beban administratif yang menumpuk. Hal ini membuat waktu mereka untuk merancang pembelajaran menjadi terbatas, sehingga kualitas interaksi dengan siswa pun menurun. Solusi yang dapat diterapkan adalah memanfaatkan template digital dan mendorong kolaborasi tim untuk menyederhanakan proses pelaporan. Dengan begitu, guru bisa kembali fokus pada hal yang paling penting: mengajar dan membimbing siswa secara optimal.

Nancy Duarte dalam bukunya Resonate menyebut bahwa struktur ini membentuk perjalanan emosi yang membuat audiens merasa terhubung.

Dulu – Sekarang – Nanti

Ini adalah struktur kronologis yang menunjukkan perubahan atau perkembangan. Cocok untuk cerita pribadi atau evolusi sebuah ide. Contohnya: Dulu saya benci membaca buku. Sekarang, saya membaca satu buku per minggu. Nanti, saya ingin menulis buku sendiri. Dengan struktur ini, audiens bisa melihat progres dan ikut merasakan transisinya.

Dulu, saya selalu gugup setiap kali harus berbicara di depan kelas. Suara saya gemetar, tangan dingin, dan pikiran sering kali kosong karena terlalu tegang. Sekarang, saya sudah jauh lebih percaya diri saat menyampaikan presentasi, bahkan mulai menikmati proses berbicara di depan umum. Nanti, saya ingin membantu orang lain yang memiliki ketakutan serupa agar mereka juga bisa tampil dengan tenang dan meyakinkan.

Dulu, saya sering begadang dan makan sembarangan karena merasa itu hal biasa dan tidak berdampak langsung. Sekarang, saya mulai rutin berolahraga dan menjaga pola makan karena sadar bahwa kesehatan adalah investasi jangka panjang. Nanti, saya ingin membagikan perjalanan ini melalui konten agar lebih banyak orang terinspirasi untuk memulai hidup sehat sejak dini.

Simon Sinek dalam Start With Why menyarankan pola ini untuk membangun narasi yang menginspirasi.

Fakta – Cerita – Pertanyaan

Struktur ini menggabungkan logika, emosi, dan refleksi. Mulailah dengan data atau fakta yang mengejutkan, lanjutkan dengan kisah nyata yang menguatkan fakta tersebut, lalu tutup dengan pertanyaan yang menggugah pemikiran. Misalnya: “Menurut WHO, satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kecemasan. Saya punya teman yang setiap pagi merasa cemas tanpa alasan jelas. Pernah gak kamu merasa seperti itu juga?”

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, lebih dari 30% remaja Indonesia mengalami gangguan tidur akibat penggunaan gawai berlebihan. Saya punya adik yang setiap malam kesulitan tidur karena terus-menerus menonton video pendek di ponselnya, bahkan sampai dini hari. Pernah gak kamu merasa susah tidur karena terlalu lama main HP?

Sebuah studi dari Harvard menunjukkan bahwa menulis jurnal harian bisa meningkatkan kesejahteraan mental secara signifikan. Teman saya mulai menulis jurnal saat merasa kehilangan arah dalam hidupnya, dan sekarang dia merasa lebih tenang serta punya tujuan yang jelas setiap harinya. Kamu sendiri, pernah gak mencoba menulis untuk memahami isi pikiranmu?

Chip dan Dan Heath dalam Made to Stick menjelaskan bahwa kombinasi ini membuat pesan lebih lekat di ingatan.

Tiga Poin Inti

Angka tiga itu ajaib dalam komunikasi. Mudah diingat, pas di otak, dan punya ritme yang enak. Banyak pidato hebat disusun dalam tiga poin, karena tiga menciptakan keseimbangan. Contoh: Journaling itu penting karena bisa membantu kamu memahami emosi, melatih konsistensi, dan memperjelas tujuan.

Menulis jurnal setiap hari bisa membawa banyak manfaat. Pertama, journaling membantu kamu memahami emosi yang sedang dirasakan, sehingga tidak mudah meledak atau bingung sendiri. Kedua, kebiasaan ini melatih konsistensi dan disiplin, karena kamu belajar menyisihkan waktu untuk refleksi. Ketiga, journaling memperjelas tujuan hidupmu, karena kamu bisa melihat pola pikiran dan arah yang ingin dituju.

Membangun kebiasaan membaca juga punya tiga dampak besar. Pertama, membaca memperluas wawasan dan membuatmu lebih terbuka terhadap berbagai sudut pandang. Kedua, kebiasaan ini meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Ketiga, membaca secara rutin bisa memperkaya kosakata dan cara berkomunikasi, sehingga kamu lebih percaya diri saat berbicara atau menulis.

Dale Carnegie dalam The Art of Public Speaking mengajarkan bahwa menyusun isi pembicaraan dalam tiga poin membantu audiens menyerap dan mengingat lebih banyak.

Tarik – Tahan – Tembak

Ini adalah teknik storytelling modern yang memanfaatkan rasa penasaran. Tarik perhatian dengan pembukaan yang mencuri fokus, tahan ketegangan dengan membangun ekspektasi, lalu tembak dengan punchline atau poin utama yang kuat. Contohnya: “Saya pernah gagal total dalam presentasi penting. Tapi dari kegagalan itu, saya belajar satu hal yang bikin presentasi saya sekarang selalu berhasil: diam lima detik sebelum bicara.”

Saya pernah hampir menyerah membuat konten karena merasa tidak ada yang peduli. Setiap postingan sepi, komentar minim, dan rasanya sia-sia. Tapi dari situ saya belajar satu hal penting yang mengubah segalanya: konten yang menyentuh emosi jauh lebih kuat daripada sekadar informatif. Sejak itu, saya mulai menulis dari hati, bukan hanya dari kepala.

Beberapa tahun lalu, saya merasa stuck dalam pekerjaan yang monoton. Bangun pagi, kerja, pulang, tidur—berulang terus tanpa arah. Saya mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya saya cari? Jawabannya datang dari satu momen refleksi: saya butuh merasa berkembang. Sejak itu, saya mulai belajar hal baru setiap minggu, sekecil apa pun itu. Dan itu membuat hidup saya terasa jauh lebih hidup.

Chris Voss dalam Never Split the Difference menggunakan teknik serupa dalam negosiasi untuk membangun ketertarikan dan kontrol.

Semua struktur ini punya kekuatan masing-masing, tergantung pada konteks dan tujuan komunikasimu. Tapi yang pasti, mereka semua punya satu kesamaan: membantu otak pendengar memahami dan mengingat pesanmu lebih baik. Karena pada akhirnya, bicara bukan cuma soal menyampaikan isi kepala, tapi juga soal bagaimana kita menyusun isi itu agar sampai dengan utuh dan bermakna.

Jadi, mulai sekarang, coba gunakan salah satu dari lima struktur ini dalam obrolan sehari-hari, presentasi di kelas, konten media sosial, atau bahkan saat kamu menulis caption Instagram. Percayalah, dampaknya akan terasa. Orang akan lebih memperhatikan, lebih memahami, dan lebih mengingat apa yang kamu katakan.

Ngomong itu kayak nge-setup panggung. Kalau panggungnya jelas, pencahayaannya pas, dan spotlight-nya fokus—semua mata bakal ke kamu.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam BBGTK Jawa Tengah

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan