Banyak pesan WhatsApp masuk ke handphone saya belakangan ini, terutama terkait dengan seringnya saya berbagi Catatan CEO SMKN 10 Semarang. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah, “Kok mudah sekali berbagi, Pak?” Pertanyaan ini membuat saya merenung dan mencari jawaban yang tepat. Untuk memahami lebih dalam, saya pun membaca buku Give and Take (2013) karya Adam Grant. Buku ini memberikan perspektif baru tentang bagaimana seseorang mencapai kesuksesan. Grant menyoroti bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh bakat dan kerja keras, tetapi juga oleh cara mereka berinteraksi dengan orang lain dalam kehidupan sosial dan profesional.
Adam Grant mengkategorikan manusia ke dalam tiga kelompok utama berdasarkan cara mereka berinteraksi dan menjalin hubungan: Takers (Penerima), Matchers (Penyeimbang), dan Givers (Pemberi). Ketiga tipe ini memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda dalam lingkungan sosial dan profesional. Mari kita bahas satu per satu.
Takers (Penerima) adalah individu yang lebih fokus pada kepentingan diri sendiri. Mereka cenderung mengambil lebih banyak daripada yang mereka berikan. Bagi mereka, dunia adalah ajang kompetisi di mana mereka harus menang dan orang lain harus kalah. Ciri-ciri utama Takers adalah selalu mencari keuntungan pribadi dalam setiap interaksi, memanfaatkan orang lain tanpa niat untuk membantu kembali, dan membangun citra diri yang kuat dengan sering mengambil kredit atas kerja keras orang lain. Dalam dunia kerja, Takers mungkin terlihat karismatik dan sukses dalam jangka pendek, tetapi mereka sering kehilangan kepercayaan orang lain dalam jangka panjang. Contohnya adalah individu yang hanya membangun hubungan ketika mereka membutuhkan sesuatu dan dengan cepat meninggalkan orang lain setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Matchers (Penyeimbang) adalah individu yang menerapkan prinsip timbal balik dalam interaksi mereka. Mereka percaya pada keadilan dan berusaha menjaga keseimbangan dalam hubungan sosial dengan memberikan sesuai dengan apa yang mereka terima. Ciri-ciri utama Matchers adalah berusaha adil dalam hubungan sosial dan profesional, memberikan bantuan dengan harapan akan mendapatkan imbalan yang setimpal, serta menjaga reputasi mereka dengan membalas kebaikan yang diterima. Dalam dunia bisnis, Matchers adalah orang-orang yang membangun jaringan dengan prinsip “saya akan membantu kamu jika kamu membantu saya.” Mereka dapat menciptakan hubungan yang stabil, tetapi tidak selalu menghasilkan dampak besar seperti para Givers.
Givers (Pemberi) adalah individu yang lebih banyak memberi daripada menerima. Mereka membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan langsung dan sering kali berkontribusi dengan tulus untuk kepentingan bersama. Ciri-ciri utama Givers adalah memberi tanpa mengharapkan balasan, membangun hubungan berdasarkan kepercayaan dan empati, serta senang melihat orang lain berkembang dan sukses. Dalam jangka pendek, Givers mungkin terlihat kurang kompetitif dibandingkan Takers atau Matchers, tetapi dalam jangka panjang, mereka sering kali menjadi yang paling sukses. Ini karena mereka menciptakan hubungan yang kuat dan dihormati oleh banyak orang, yang pada akhirnya menghasilkan peluang besar di masa depan.
Pemberi Membangun Jaringan Sosial
Dalam buku Give and Take, Adam Grant menjelaskan bahwa individu yang memiliki kecenderungan sebagai pemberi (giver) memiliki keuntungan besar dalam membangun dan mempertahankan jaringan sosial. Hal ini terjadi karena mereka menjalin hubungan berdasarkan kepercayaan, kontribusi, dan kerja sama. Sebaliknya, individu dengan kecenderungan sebagai penerima (taker) mungkin mendapatkan manfaat dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, mereka kehilangan dukungan karena dianggap egois dan manipulatif.
Pemberi memiliki keunggulan dalam membangun jaringan sosial karena mereka menciptakan nilai nyata dalam hubungan interpersonal. Mereka tidak sekadar menjalin hubungan demi kepentingan pribadi, tetapi juga benar-benar peduli dengan orang lain. Keinginan mereka untuk membantu tanpa pamrih membuat mereka lebih dipercaya dan dihormati dalam komunitas maupun lingkungan kerja.
Salah satu faktor utama yang membuat jaringan sosial pemberi lebih luas dan kuat adalah kemampuan mereka dalam membangun kepercayaan yang mendalam. Karena mereka membantu tanpa mengharapkan imbalan langsung, orang lain cenderung lebih percaya kepada mereka. Kepercayaan ini membuat orang lain lebih bersedia untuk bekerja sama dan merekomendasikan mereka kepada orang lain. Dalam jangka panjang, pemberi sering kali mendapat manfaat dari reputasi mereka yang baik.
Selain itu, pemberi mendapatkan reputasi positif dalam jaringan mereka. Mereka sering dianggap sebagai individu yang baik dan dapat diandalkan. Orang-orang yang pernah menerima bantuan dari seorang pemberi biasanya berbicara positif tentang mereka kepada orang lain. Hal ini menciptakan efek domino di mana semakin banyak orang yang tertarik untuk bekerja sama dengan mereka. Reputasi positif ini membuka lebih banyak peluang profesional dan sosial bagi mereka.
Pemberi juga memiliki kecenderungan untuk memperluas jaringan mereka melalui bantuan dan kolaborasi. Mereka tidak hanya membantu orang-orang dalam lingkaran terdekat mereka, tetapi juga siap memberikan kontribusi kepada komunitas yang lebih luas. Setiap kali mereka memberikan bantuan, mereka memperkuat hubungan yang sudah ada dan membuka peluang untuk mengenal lebih banyak orang. Ini berbeda dengan penerima, yang cenderung hanya fokus pada orang-orang yang bisa memberikan manfaat bagi mereka secara langsung.
Keuntungan lain yang dimiliki pemberi adalah mereka sering kali mendapatkan balasan dalam jangka panjang. Meskipun pemberi tidak mengharapkan balasan langsung, orang-orang yang pernah dibantu cenderung merasa berutang budi. Dalam jangka panjang, ketika pemberi membutuhkan bantuan, jaringan mereka akan siap membantu. Ini menciptakan efek “boomerang” di mana kebaikan yang diberikan akan kembali dalam bentuk peluang, dukungan, atau bantuan di masa depan.
Budaya Memberi dan Transformasi Organisasi
Sebuah organisasi yang sukses bukan hanya ditentukan oleh struktur atau sistem yang diterapkan, tetapi juga oleh nilai-nilai yang dianut oleh para anggotanya. Salah satu nilai yang mampu membentuk organisasi yang sehat dan dinamis adalah budaya memberi. Budaya ini bukan sekadar tindakan berbagi sumber daya, tetapi lebih dari itu, budaya memberi mencerminkan sikap saling mendukung, peduli, dan berorientasi pada kebersamaan. Organisasi yang mengedepankan budaya memberi akan jauh lebih solid dibandingkan dengan yang didominasi oleh budaya menerima, di mana kepentingan individu lebih diutamakan daripada tujuan bersama.
Ketika anggota organisasi terbiasa untuk saling membantu tanpa mengharapkan imbalan langsung, kepercayaan antar individu akan tumbuh. Kepercayaan ini menjadi fondasi yang kuat dalam membangun kerja sama yang sehat. Anggota tim merasa lebih nyaman untuk berbagi ide, meminta bantuan, dan berkolaborasi dalam berbagai proyek besar. Dengan adanya kepercayaan yang tinggi, hambatan komunikasi pun berkurang, sehingga efektivitas kerja meningkat secara signifikan.
Selain meningkatkan kolaborasi, budaya memberi juga berdampak positif terhadap produktivitas dan kinerja anggota organisasi. Dalam lingkungan kerja yang suportif, individu lebih termotivasi untuk bekerja dengan maksimal karena mereka tahu bahwa mereka mendapatkan dukungan dari rekan-rekan mereka. Budaya ini juga mampu mengurangi persaingan tidak sehat yang kerap kali menjadi penghambat produktivitas dan inovasi. Sebaliknya, individu dalam organisasi lebih fokus pada tujuan bersama daripada sekadar mencari keuntungan pribadi.
Salah satu dampak menarik dari budaya memberi adalah munculnya efek riak (ripple effect). Ketika seorang pemimpin atau anggota organisasi menunjukkan sikap memberi, hal ini sering kali menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Efek riak ini akan menyebar ke seluruh organisasi, menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan suportif. Mereka yang melihat kolega atau atasan sebagai teladan dalam berbagi akan lebih cenderung meniru pola pikir dan tindakan serupa dalam interaksi sehari-hari.
Budaya memberi juga memainkan peran penting dalam meningkatkan loyalitas anggota organisasi. Dalam lingkungan yang menghargai kontribusi dan mendukung pertumbuhan individu, mereka akan merasa lebih dihargai dan lebih puas dengan pekerjaan mereka. Rasa memiliki terhadap organisasi semakin kuat, sehingga mengurangi tingkat pergantian anggota atau karyawan (turnover). Organisasi yang mampu mempertahankan anggota terbaiknya akan lebih stabil dalam jangka panjang dan memiliki daya saing yang lebih tinggi.
Selain meningkatkan loyalitas, budaya memberi juga mendorong kreativitas dan inovasi. Ketika individu merasa didukung oleh lingkungan sekitarnya, mereka lebih berani mengambil risiko dan mengusulkan ide-ide baru. Sikap ini menciptakan atmosfer yang kondusif bagi pertukaran gagasan yang lebih terbuka dan kolaboratif. Mereka tidak takut gagal karena tahu bahwa mereka akan mendapatkan dukungan dari tim mereka. Inovasi pun dapat berkembang dengan lebih cepat dan efektif.
Membangun budaya memberi dalam organisasi tentu bukan hal yang instan. Butuh kesadaran dan komitmen dari setiap individu untuk menerapkan nilai-nilai ini dalam setiap interaksi dan keputusan yang diambil. Pemimpin memiliki peran krusial dalam memberikan contoh dan mendorong lingkungan yang mendukung budaya berbagi. Dengan menanamkan kebiasaan memberi, organisasi tidak hanya menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, tetapi juga membangun fondasi yang kuat untuk mencapai kesuksesan jangka panjang.
Membangun Budaya Memberi di SMKN 10 Semarang
Budaya memberi bukan sekadar berbagi materi, tetapi lebih pada sikap saling membantu, mendukung, dan peduli terhadap sesama. Dalam sebuah organisasi pendidikan seperti SMKN 10 Semarang, budaya memberi menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan yang harmonis, produktif, dan penuh semangat kolaborasi. Namun, membangun budaya ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Dibutuhkan strategi dan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama pemimpin sekolah.
Sebagai pemimpin, kepala sekolah memiliki peran utama dalam membentuk budaya memberi. Pemimpin yang berorientasi pada memberi akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan mendukung. Di SMKN 10 Semarang, kepala sekolah mendorong kepemimpinan yang melayani dengan memberikan bimbingan, dukungan, dan kesempatan bagi guru dan tenaga kependidikan (GTK) untuk berkembang. Dengan menjadi contoh dalam bersikap peduli dan berbagi, pemimpin sekolah secara tidak langsung menularkan semangat yang sama kepada seluruh anggota organisasi.
Selain melalui kepemimpinan yang inspiratif, budaya memberi di SMKN 10 Semarang diperkuat dengan adanya sistem penghargaan yang mengakui kontribusi GTK yang aktif membantu rekan kerja mereka. Penghargaan ini bisa berupa apresiasi publik dalam rapat sekolah, kesempatan untuk mengikuti pelatihan, hingga promosi jabatan. Dengan adanya sistem penghargaan yang jelas, setiap individu merasa bahwa perbuatan baik mereka dihargai dan memiliki dampak positif, sehingga semakin termotivasi untuk terus berbagi dan membantu.
Budaya memberi juga dibangun melalui sistem mentorship dan kolaborasi. SMKN 10 Semarang menerapkan program mentorship di mana GTK yang lebih berpengalaman membimbing mereka yang masih membutuhkan arahan. Program ini tidak hanya meningkatkan kompetensi individu, tetapi juga mempererat hubungan antar GTK. Dalam sistem ini, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh guru senior dapat ditransfer kepada guru yang lebih muda, sehingga tercipta ekosistem berbagi ilmu yang berkelanjutan.
Implementasi budaya memberi juga tampak dalam berbagai kegiatan kolaboratif di sekolah. Kegiatan seperti pelatihan internal, berbagi praktik baik dalam mengajar, dan kerja sama dalam menyelesaikan tantangan pendidikan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di SMKN 10 Semarang. Dengan menumbuhkan semangat berbagi, setiap individu merasa menjadi bagian dari komunitas yang saling mendukung.
Keberhasilan membangun budaya memberi di SMKN 10 Semarang menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang penuh kepedulian dan kolaborasi akan meningkatkan kinerja, kebahagiaan, dan loyalitas GTK. Dengan kepemimpinan yang berorientasi pada memberi, sistem penghargaan yang adil, dan program mentorship yang berjalan efektif, budaya memberi akan terus berkembang dan mengakar dalam setiap aspek organisasi sekolah.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMKN 10 Semarang dan Penulis Buku Manajemen Mengelola Sekolah.
Buku yang sudah diterbitkan :
Buku dalam Proses Penyelesaian:
Pendekatan Deep Learning Dalam Pembelajaran
Membangun budaya positif yang bermanfaat bagi seluruh warga sekolah di lingkungan SMKN 10 Semarang…terima kasih Pak Ardan dan kepada seluruh GTK
Budaya berbagi…🥰
Mantaaabbb’s
Barokallah Pak Ardan dan seluruh keluarga besar civitas akademika SMKN 10 Semarang 🙏🤲
Semoga berkah
Beri Komentar