Jumat, 12-09-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Mengapa Pelatihan Guru di Indonesia Hasilnya Tidak Sesuai Harapan?

Diterbitkan : Sabtu, 2 Agustus 2025

Pada akhir dekade 1980-an hingga awal 1990-an, dunia komputasi dikuasai oleh sistem operasi UNIX yang kokoh dan tangguh, tetapi mahal dan hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Para akademisi dan profesional teknologi sangat bergantung pada sistem ini untuk berbagai keperluan komputasi tingkat lanjut. Namun, akses terbatas dan sifatnya yang tidak bebas menjadi hambatan besar bagi mereka yang ingin mengembangkan atau memodifikasi sistem operasi tersebut. Di tengah keterbatasan itu, lahirlah ide besar untuk menciptakan sistem operasi bebas yang dapat digunakan dan dikembangkan oleh siapa saja. Gagasan ini dipelopori oleh Richard Stallman melalui proyek GNU yang dimulai pada 1983. Tujuan proyek ini adalah membangun sistem operasi seperti UNIX, namun sepenuhnya bebas. Sayangnya, hingga awal 1990-an, proyek ini belum memiliki satu komponen penting: kernel, inti dari sistem operasi.

Kekosongan itulah yang akhirnya diisi oleh seorang mahasiswa muda asal Finlandia, Linus Benedict Torvalds. Lahir di Helsinki pada 28 Desember 1969, Linus adalah mahasiswa Universitas Helsinki yang sangat tertarik pada sistem operasi dan komputer. Ketertarikannya pada MINIX—versi kecil UNIX yang digunakan untuk pendidikan—menyulut ambisinya untuk membuat sistem operasi sendiri. Pada tahun 1991, ia memulai proyek yang awalnya hanya dianggap sebagai hobi pribadi. Pada 25 Agustus 1991, Linus mengumumkan proyeknya di sebuah newsgroup bernama comp.os.minix dengan kalimat yang kemudian menjadi legendaris: “I’m doing a (free) operating system (just a hobby, won’t be big and professional like gnu)…”.

Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 17 September 1991, Linus merilis versi pertama dari sistem operasi tersebut: Linux versi 0.01. Meski sangat sederhana, versi ini menjadi cikal bakal sistem operasi yang kini mengubah dunia. Tidak lama setelah itu, pada tahun 1992, kernel Linux resmi dirilis di bawah lisensi GNU General Public License (GPL). Lisensi ini memungkinkan siapa pun untuk menggunakan, memodifikasi, dan mendistribusikan Linux secara bebas. Langkah inilah yang kemudian membuka gerbang kolaborasi global dan menjadikan Linux sebagai proyek open source paling berpengaruh sepanjang sejarah.

Tahun-tahun berikutnya menjadi masa keemasan pertumbuhan Linux. Antara 1993 hingga 1995, mulai bermunculan berbagai distribusi Linux (distro) seperti Slackware, Debian, dan Red Hat, yang masing-masing memiliki fokus dan keunggulan tersendiri. Masuk ke era 2000-an, Linux mulai digunakan secara luas dalam berbagai sistem penting: dari server dan pusat data, superkomputer, hingga perangkat embedded seperti router dan perangkat IoT. Popularitasnya terus meningkat, terutama di kalangan profesional TI dan pengembang perangkat lunak.

Kemajuan Linux tidak berhenti di situ. Pada dekade 2010-an hingga sekarang, Linux menjadi tulang punggung dari sistem operasi Android, yang digunakan oleh miliaran perangkat mobile di seluruh dunia. Ini menjadikan Linux secara tidak langsung menjadi sistem operasi paling banyak digunakan oleh manusia di era modern, meskipun banyak penggunanya mungkin tidak menyadari bahwa perangkat Android mereka berjalan di atas kernel Linux.

Salah satu alasan utama Linux berkembang sangat pesat adalah sifatnya yang open source dan gratis. Tidak seperti perangkat lunak berpemilik yang penuh batasan, Linux dapat digunakan, dimodifikasi, dan dibagikan kembali secara bebas. Lisensi GPL yang melindunginya memastikan bahwa siapa pun yang memodifikasi Linux juga harus membagikan hasil modifikasinya kepada publik. Ini menciptakan ekosistem kolaboratif yang sangat kuat. Ribuan pengembang dari berbagai belahan dunia ikut berkontribusi dalam pengembangan Linux, menjadikannya proyek global yang terus tumbuh dan berevolusi.

Selain itu, komunitas Linux yang besar dan aktif memainkan peran penting. Forum daring, mailing list, dan platform kolaborasi seperti GitHub memungkinkan pertukaran ide, perbaikan bug, dan pengembangan fitur baru berjalan dengan sangat cepat. Komunitas ini juga sangat terbuka terhadap pengguna baru, menyediakan dokumentasi dan dukungan yang luas, sehingga memudahkan siapa saja untuk belajar dan berkontribusi.

Dari sisi teknis, Linux dikenal sangat stabil dan aman. Itulah mengapa banyak server dan sistem kritis seperti sistem perbankan, pusat data, dan layanan cloud lebih memilih Linux. Fleksibilitas dan skalabilitasnya juga memungkinkan Linux berjalan di berbagai perangkat, dari superkomputer raksasa hingga komputer mini seperti Raspberry Pi. Selain itu, banyak perusahaan besar seperti Google, Amazon, IBM, dan Facebook menggunakan Linux secara intensif, baik untuk pengembangan internal maupun untuk layanan publik mereka.

Pemerintah di berbagai negara juga mulai mengadopsi Linux sebagai bentuk kemandirian digital dan efisiensi anggaran, menggantikan sistem operasi berbayar yang mahal. Di dunia pendidikan, Linux banyak digunakan oleh universitas dan lembaga riset karena sifatnya yang dapat dikustomisasi dan tidak membebani anggaran. Ini memberi kesempatan bagi para pelajar dan peneliti untuk bereksperimen dan mengembangkan teknologi baru tanpa batasan lisensi.

Distribusi Linux yang sangat beragam turut mempercepat penyebarannya. Ubuntu, misalnya, dikenal ramah bagi pemula dengan antarmuka grafis yang intuitif. Debian, sebagai basis dari banyak distro lainnya, dikenal sangat stabil dan bebas. Fedora, yang dikembangkan oleh komunitas dengan dukungan Red Hat, menawarkan teknologi paling mutakhir. Arch Linux memberikan kebebasan penuh kepada pengguna yang ingin sistem minimalis dan sangat dapat dikustomisasi. Sementara Kali Linux dikenal di kalangan keamanan siber untuk keperluan penetration testing dan forensik digital.

Perkembangan Linux yang cepat juga didorong oleh siklus rilis yang teratur dari kernel dan berbagai distribusinya. Pembaruan fitur dan perbaikan keamanan dilakukan secara rutin, menjadikan Linux selalu relevan dan tangguh menghadapi tantangan zaman.

Penemuan Linux bukan hanya cerita tentang seorang mahasiswa yang membuat sistem operasi, tetapi juga tentang kekuatan komunitas, semangat berbagi, dan dorongan untuk menciptakan dunia digital yang lebih terbuka dan inklusif. Dari proyek kecil seorang mahasiswa di Helsinki, Linux menjelma menjadi fondasi dari banyak sistem penting yang menopang kehidupan digital modern. Ini adalah bukti nyata bahwa ide besar, ketika dibagikan dan dikembangkan bersama, bisa mengubah dunia.

Perjalanan pendidikan di Indonesia selalu ditandai oleh perubahan kebijakan kurikulum yang dinamis, sejalan dengan tuntutan zaman dan visi masa depan bangsa. Dalam setiap transisi kurikulum, pelatihan guru menjadi komponen krusial yang menentukan keberhasilan implementasi di lapangan. Tanpa pelatihan yang tepat dan berkelanjutan, perubahan kurikulum hanya akan menjadi dokumen administratif tanpa makna nyata di ruang kelas. Dari era CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka, pendekatan pelatihan guru telah mengalami transformasi signifikan, mencerminkan upaya pemerintah dalam menjadikan guru sebagai agen perubahan pendidikan.

Pada dekade 1980-an hingga awal 1990-an, konsep CBSA diperkenalkan sebagai respons terhadap dominasi pendekatan tradisional yang bersifat guru-sentris. CBSA membawa semangat baru: menggeser peran guru dari satu-satunya sumber pengetahuan menjadi fasilitator yang mendorong siswa untuk aktif bertanya, berdiskusi, dan bereksperimen. Pelatihan guru di era ini berfokus pada penggunaan metode pembelajaran aktif seperti diskusi kelompok, simulasi, dan kerja praktis. Namun, meskipun semangatnya progresif, pelatihan CBSA menghadapi tantangan besar. Banyak guru belum siap secara metodologis, karena sebelumnya terbiasa dengan ceramah satu arah. Di sisi lain, keterbatasan sarana dan prasarana juga menyulitkan guru menerapkan pendekatan baru secara optimal. Akibatnya, meski CBSA menjadi jargon populer saat itu, penerapannya di kelas kerap tidak konsisten.

Tahun 2013 menjadi tonggak baru dengan diterapkannya Kurikulum 2013 secara bertahap di seluruh jenjang pendidikan. Kurikulum ini menekankan pendekatan saintifik dalam proses belajar, yaitu melalui tahapan Mengamati, Menanya, Mencoba, Menalar, dan Mengomunikasikan (5M). Pelatihan guru diarahkan untuk menguasai pendekatan ini, sekaligus mengenal penilaian autentik yang mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Integrasi pendidikan karakter, literasi, dan keterampilan abad 21—terkenal dengan 4C (Critical Thinking, Creativity, Collaboration, Communication)—juga menjadi bagian penting dalam pelatihan. Namun, kembali muncul kendala klasik: kompleksitas pendekatan saintifik membuat banyak guru kesulitan menyesuaikan diri, ditambah beban administrasi tinggi akibat sistem penilaian yang rumit. Walaupun semangat pembaruan kuat, implementasi K13 masih belum merata dalam kualitas maupun pemahaman di kalangan pendidik.

Memasuki tahun 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan Kurikulum Merdeka sebagai bagian dari program Merdeka Belajar. Kurikulum ini membawa paradigma baru: fleksibilitas, diferensiasi, dan keberpihakan pada kebutuhan peserta didik. Pelatihan guru diarahkan pada pemahaman pembelajaran berdiferensiasi, yakni menyesuaikan metode dan materi ajar dengan kebutuhan, minat, dan gaya belajar siswa. Selain itu, fokus utama pelatihan adalah penguatan pada Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang mengedepankan pembelajaran berbasis projek untuk membentuk karakter, kemandirian, dan kompetensi global peserta didik. Struktur kurikulum yang fleksibel memberikan kebebasan pada guru untuk merancang pembelajaran yang kontekstual dan bermakna, dengan syarat mereka mendapatkan pelatihan yang cukup dan relevan.

Untuk meningkatkan kualitas guru, pemerintah juga memperkuat sistem Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program ini terbagi dalam dua jenis: PPG Prajabatan bagi lulusan baru dan PPG Dalam Jabatan bagi guru yang telah mengajar namun belum memiliki sertifikat pendidik. Proses pelatihan dilaksanakan melalui platform SIMPKB dan LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), dengan fokus utama pada penguasaan kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. PPG menjadi instrumen strategis dalam meningkatkan kualitas dan profesionalisme guru secara sistematis dan berkelanjutan.

Seiring perkembangan teknologi digital, pelatihan guru juga mengalami transformasi bentuk. Kemendikbudristek bersama mitra seperti Google for Education, Microsoft, dan platform seperti e-Guru.id, menyelenggarakan pelatihan teknologi pendidikan. Materi pelatihan mencakup penggunaan Learning Management System (LMS), pembuatan media ajar digital, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam proses pembelajaran. Adaptasi teknologi menjadi penting, apalagi setelah pandemi COVID-19 yang mempercepat pergeseran ke arah digitalisasi pendidikan. Guru tidak hanya dituntut melek teknologi, tetapi juga kreatif dalam merancang pengalaman belajar daring dan hibrida yang menarik.

Untuk memperluas akses dan memperdalam topik pembelajaran, pemerintah juga mendukung pelatihan berbasis microcredential dan webinar tematik. Program ini tersedia melalui platform e-Guru.id dan Merdeka Mengajar, yang menawarkan topik-topik seperti literasi digital, pembelajaran berdiferensiasi, asesmen formatif, dan lainnya. Sertifikat dari pelatihan ini bisa digunakan untuk pengembangan karier dan perolehan angka kredit, menjadikannya insentif tambahan bagi guru untuk terus belajar.

Salah satu inovasi paling strategis dalam pelatihan guru adalah pendalaman pada Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Guru-guru dilatih untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran berbasis projek yang kontekstual, kolaboratif, dan membangun karakter. Projek P5 menuntut guru untuk bekerja lintas mata pelajaran, berkolaborasi dengan rekan sejawat, dan memahami konteks lokal siswa secara lebih dalam. Ini menantang, tetapi juga memperkaya wawasan dan pengalaman mengajar.

Tak hanya guru, kepala sekolah dan pengawas juga mendapat perhatian khusus dalam pelatihan. Kapasitas manajerial dan kepemimpinan transformasional menjadi fokus utama. Mereka dilatih dalam menyusun visi sekolah yang inspiratif, melakukan supervisi akademik yang membangun, serta menumbuhkan budaya positif di lingkungan sekolah. Kepala sekolah dan pengawas yang terlatih diharapkan mampu menjadi penggerak utama dalam mengimplementasikan kurikulum secara efektif di satuan pendidikan masing-masing.

Pelatihan berbasis komunitas juga menjadi pendekatan penting dalam ekosistem pengembangan profesional guru. Komunitas seperti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), KKG (Kelompok Kerja Guru), dan komunitas digital lainnya menjadi ruang belajar bersama yang mendemokratisasi proses pelatihan. Di sini, guru belajar dari sesama guru, saling berbagi praktik baik, serta mengembangkan solusi atas tantangan pembelajaran yang mereka hadapi. Melalui platform Guru Belajar dan Berbagi yang disediakan Kemendikbud, proses kolaborasi ini semakin mudah diakses dan diperluas skalanya.

Perjalanan pelatihan guru di Indonesia adalah cermin dari evolusi pemikiran pendidikan nasional. Dari CBSA yang mengusung semangat partisipatif, K13 yang menekankan pendekatan saintifik dan karakter, hingga Kurikulum Merdeka yang menumbuhkan fleksibilitas dan kemandirian, semuanya menunjukkan satu benang merah: guru adalah kunci utama dalam menciptakan pendidikan bermutu. Oleh karena itu, pelatihan guru tidak bisa lagi dianggap sebagai kegiatan musiman atau administratif belaka. Ia harus menjadi bagian dari budaya belajar sepanjang hayat di kalangan pendidik. Hanya dengan cara itu, transformasi pendidikan Indonesia dapat benar-benar terwujud, dari ruang kelas hingga masa depan bangsa.

Di tengah semangat reformasi pendidikan yang terus digaungkan pemerintah, pelatihan guru menjadi salah satu agenda utama. Setiap tahun, ribuan guru di Indonesia mengikuti berbagai pelatihan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, lembaga pendidikan, maupun platform daring. Namun, hasil dari berbagai pelatihan tersebut kerap kali tidak sebanding dengan upaya dan dana yang telah digelontorkan. Jika dibandingkan dengan dunia pengembangan perangkat lunak seperti Linux, jurangnya terlihat begitu jelas. Linux berkembang pesat dalam waktu singkat, didukung komunitas global yang aktif dan produktif. Mengapa semangat belajar dalam komunitas developer Linux begitu hidup, sementara pelatihan guru di Indonesia kerap mandek atau kurang berdampak?

Salah satu perbedaan mendasar terletak pada motivasi internal. Para developer Linux umumnya digerakkan oleh passion, rasa ingin tahu yang tinggi, dan kebebasan dalam bereksperimen. Mereka menciptakan kode bukan karena paksaan, tetapi karena keyakinan dan hasrat untuk menciptakan solusi nyata. Sementara itu, banyak guru mengikuti pelatihan karena keharusan administratif, seperti kewajiban kenaikan pangkat atau tuntutan akreditasi sekolah. Pelatihan menjadi sekadar rutinitas, bukan kebutuhan pribadi yang muncul dari keinginan untuk tumbuh. Tanpa motivasi intrinsik, proses belajar menjadi hambar dan tidak berakar dalam kesadaran diri.

Selain itu, budaya komunitas yang berbeda juga menjadi faktor penting. Komunitas Linux bersifat terbuka, kolaboratif, dan sangat mendukung anggotanya. Setiap orang bebas bertanya, berbagi solusi, bahkan berkontribusi secara nyata dalam pengembangan proyek. Kolaborasi ini menciptakan atmosfer belajar yang dinamis dan penuh semangat. Sebaliknya, pelatihan guru di Indonesia sering kali bersifat top-down, kaku, dan minim ruang untuk eksplorasi. Guru menjadi peserta pasif yang duduk, mencatat, lalu pulang tanpa benar-benar terlibat secara aktif. Kurangnya diskusi terbuka dan wadah kolaboratif membuat ide-ide inovatif sulit tumbuh subur.

Relevansi dan akses materi juga menjadi persoalan. Dalam dunia Linux, materi belajar tersebar luas secara gratis dan dapat langsung dipraktikkan. Setiap baris kode bisa diuji, diperbaiki, dan digunakan kembali oleh siapa saja. Dalam pelatihan guru, materi kadang terlalu teoritis dan kurang kontekstual. Banyak pelatihan tidak disesuaikan dengan kebutuhan nyata di ruang kelas. Akibatnya, guru sulit menerapkan hasil pelatihan dalam praktik mengajar. Ketimpangan akses juga masih menjadi masalah. Tidak semua guru memiliki perangkat dan koneksi internet yang memadai untuk mengakses materi digital secara optimal.

Aspek pengakuan dan dampak turut memengaruhi semangat belajar. Seorang developer Linux bisa langsung melihat kontribusinya dipakai oleh ribuan hingga jutaan orang di seluruh dunia. Umpan balik datang cepat dan nyata. Hal ini menumbuhkan rasa bangga dan memotivasi untuk terus belajar dan berkarya. Di sisi lain, guru kerap kali tidak mendapatkan apresiasi atau umpan balik yang memadai dari pelatihan yang diikuti. Tidak jarang, hasil pelatihan hanya berujung pada tumpukan sertifikat tanpa perubahan nyata dalam pembelajaran. Minimnya penghargaan atas inovasi juga membuat semangat belajar sulit tumbuh.

Berbagai faktor sistemik turut memperparah keadaan. Desain pelatihan yang terlalu teoritis dan kurang praktik membuat guru kesulitan mengaitkan materi dengan kondisi riil di sekolah. Pelatihan seharusnya berangkat dari kebutuhan lapangan, bukan sekadar kurikulum pelatihan yang baku dan tidak fleksibel. Waktu dan beban kerja guru yang padat juga menjadi kendala serius. Guru sering kali dibebani dengan tugas administratif yang menyita waktu dan energi, sehingga sulit menyisihkan waktu untuk belajar mandiri atau mengeksplorasi teknologi dan metode baru. Bahkan jika niat belajar sudah ada, ruang untuk aktualisasinya tetap terbatas.

Lanjut pada tulisan kedua klik disini

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam BBGTK Jawa Tengah

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan