Jumat, 12-09-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Mengapa Pelatihan Guru di Indonesia Hasilnya Tidak Sesuai Harapan? Seri Kedua

Diterbitkan : Minggu, 3 Agustus 2025

Kurangnya dukungan teknologi dan infrastruktur di banyak daerah juga menjadi tantangan besar. Masih banyak guru di pelosok negeri yang tidak memiliki akses ke perangkat memadai atau jaringan internet yang stabil. Padahal, transformasi pendidikan saat ini sangat bergantung pada literasi digital dan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Tanpa dukungan yang setara, jurang kualitas antara guru di kota besar dan daerah terpencil akan terus melebar.

Lebih jauh lagi, yang perlu diperkuat adalah budaya belajar sepanjang hayat di kalangan guru. Dunia Linux tumbuh karena para developernya menjadikan belajar sebagai bagian dari hidup, bukan sekadar aktivitas temporer. Mereka terus membaca, mencoba, gagal, dan belajar lagi. Sayangnya, budaya ini belum sepenuhnya tumbuh dalam dunia pendidikan kita. Institusi pendidikan belum sepenuhnya mendorong guru untuk terus belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Sebagian besar program pengembangan profesi masih bersifat proyek jangka pendek, bukan proses jangka panjang yang sistematis dan terintegrasi.

Melihat kenyataan ini, sudah saatnya pelatihan guru di Indonesia didesain ulang. Pendekatan top-down perlu diganti dengan model kolaboratif yang memberdayakan guru sebagai pembelajar aktif. Pelatihan sebaiknya berbasis proyek, di mana guru belajar sambil menciptakan solusi nyata untuk ruang kelasnya sendiri. Komunitas belajar guru perlu diperkuat, baik secara luring maupun daring, untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang mendukung dan saling menginspirasi. Materi pelatihan harus relevan, aplikatif, dan mudah diakses, serta disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing sekolah.

Yang tidak kalah penting adalah penghargaan yang tulus atas setiap langkah kecil guru dalam belajar. Apresiasi yang datang dari sesama guru, siswa, kepala sekolah, bahkan masyarakat luas, akan memberi makna baru bagi setiap proses pengembangan diri. Ketika guru merasa dilihat, dihargai, dan didukung, maka semangat belajarnya pun akan tumbuh dengan sendirinya.

Perkembangan Linux yang pesat bukan karena keajaiban, tetapi karena adanya ekosistem belajar yang hidup, terbuka, dan inklusif. Jika dunia pendidikan mampu meniru semangat ini, bukan tidak mungkin pelatihan guru di Indonesia akan melahirkan transformasi nyata. Bukan sekadar tumpukan sertifikat, tetapi perubahan mendasar dalam cara mengajar, berpikir, dan membentuk generasi masa depan.

Dunia Linux mungkin terdengar jauh dari dunia pendidikan, tetapi semangat yang tumbuh dalam komunitasnya justru menyimpan inspirasi besar yang dapat menghidupkan kembali wajah pelatihan guru di Indonesia. Komunitas Linux dikenal luas karena antusiasme anggotanya dalam belajar mandiri, kolaborasi terbuka, dan semangat berbagi tanpa pamrih. Sebuah ekosistem yang hidup dan tumbuh bukan karena sistem yang kaku, melainkan karena motivasi dari dalam komunitas itu sendiri. Jika semangat ini bisa diadaptasi ke ranah pendidikan, khususnya pelatihan guru, maka kita akan melihat perubahan nyata: pelatihan yang lebih hidup, partisipatif, dan berdampak.

Bayangkan pelatihan guru yang tidak lagi sebatas mendengarkan ceramah selama berjam-jam, melainkan berubah menjadi ruang kolaboratif layaknya forum Linux, di mana para guru berkumpul untuk saling berbagi, berdiskusi, dan berkolaborasi menyelesaikan persoalan nyata di kelas. Dalam komunitas Linux, pengguna pemula bisa berdialog langsung dengan kontributor senior, dan setiap ide, betapapun kecilnya, dihargai. Begitu pula dalam pelatihan guru, ruang belajar yang mendukung saling tukar pengalaman dan solusi lapangan akan jauh lebih bermakna dibanding model pelatihan satu arah.

Pelatihan berbasis proyek nyata bisa menjadi penggerak perubahan. Alih-alih hanya mendengarkan teori pembelajaran, guru diberi tantangan untuk menciptakan media ajar interaktif, menyusun modul inovatif, atau bahkan mengembangkan aplikasi sederhana yang menunjang pembelajaran. Inilah esensi dari filosofi “learning by doing” yang begitu kuat di komunitas Linux. Proyek nyata memberi makna, hasil konkret, dan rasa pencapaian yang jauh lebih dalam bagi guru sebagai peserta pelatihan.

Lebih jauh lagi, filosofi open source bisa menjadi dasar lahirnya transformasi dalam budaya belajar guru. Open source tidak hanya tentang teknologi yang bebas digunakan, tetapi juga tentang keterbukaan pengetahuan. Guru-guru bisa mulai membagikan RPP, modul ajar, video pembelajaran, hingga alat bantu interaktif secara terbuka di platform bersama. Ini tidak hanya mempercepat pemerataan kualitas pembelajaran, tetapi juga menumbuhkan semangat berbagi dan saling belajar antarguru, lintas daerah bahkan lintas generasi.

Agar semangat ini tetap menyala, pendekatan gamifikasi bisa diterapkan. Sama seperti di banyak platform komunitas Linux, guru yang aktif belajar dan berbagi bisa mendapatkan pengakuan berupa badge digital, sertifikat, atau penghargaan terbuka dari komunitasnya. Bukan sekadar hadiah, tetapi simbol apresiasi yang memicu motivasi intrinsik. Ketika semangat belajar tidak lagi bergantung pada dorongan eksternal, tetapi tumbuh dari rasa bangga karena kontribusi nyata, saat itulah pembelajaran menjadi transformasional.

Solusi dan inspirasi dari dunia Linux membuka mata kita bahwa perubahan dalam dunia pendidikan tidak selalu harus datang dari atas. Ia bisa tumbuh dari komunitas kecil yang hidup, dari semangat untuk berbagi, dan dari kepercayaan bahwa setiap guru punya potensi untuk menciptakan perubahan. Ketika pelatihan guru diwarnai semangat kolaborasi seperti komunitas Linux, saat itulah transformasi pendidikan bukan lagi impian, melainkan keniscayaan.

Penulis sebagai Kepala SMK Negeri 10 Semarang memahami bahwa peningkatan kapabilitas guru dan karyawan adalah kunci utama dalam menciptakan sekolah yang unggul dan berdaya saing. Dengan semangat inilah, sekolah ini merancang strategi pengembangan yang menyeluruh, sistematis, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Salah satu program unggulan yang menjadi fondasi gerakan literasi profesional di SMK Negeri 10 Semarang adalah forum ilmiah mingguan. Setiap minggu, seluruh guru diminta untuk membaca artikel, buku, atau referensi ilmiah lainnya yang relevan dengan dunia pendidikan. Tidak berhenti sampai di situ, hasil dari aktivitas membaca tersebut wajib dituangkan dalam bentuk tulisan yang kemudian dipublikasikan di website sekolah. Strategi ini bukan hanya mengasah kemampuan berpikir kritis dan menulis guru, tetapi juga menumbuhkan budaya akademik yang aktif dan produktif di lingkungan sekolah.

Selain membangun budaya membaca dan menulis, sekolah juga mewajibkan setiap guru untuk mendaftar pelatihan atau diklat yang sesuai dengan mata pelajaran atau kompetensinya. Guru-guru didorong untuk mengikuti pelatihan di balai besar seperti BMTI, KPTK, pusat seni budaya, atau BOE. Namun, mengikuti pelatihan bukanlah titik akhir. Justru itu menjadi awal dari proses diseminasi pengetahuan. Setiap guru yang selesai mengikuti diklat, diwajibkan membagikan ilmunya kepada rekan-rekan sejawat di sekolah dalam forum internal. Prinsip yang dipegang teguh adalah bahwa mengajar adalah cara paling efektif untuk belajar.

Lebih jauh lagi, para guru yang telah mengikuti pelatihan juga didorong untuk membagikan ilmunya kepada guru dari sekolah lain. Diseminasi ini dilakukan tidak hanya di lingkungan sekolah sendiri, tetapi juga di sekolah-sekolah lain. Tujuan dari langkah ini adalah untuk membangun rasa percaya diri dan keberanian para guru, sekaligus melatih kemampuan mereka menjadi narasumber. Dari sinilah lahir guru-guru yang tidak hanya kompeten secara individu, tetapi juga inspiratif bagi lingkungan pendidikan yang lebih luas.

Untuk memperkuat pengembangan internal, sekolah memfasilitasi berbagai bentuk pelatihan seperti In House Training (IHT), mentoring, dan coaching. Guru-guru yang telah menguasai keterampilan tertentu ditugaskan menjadi mentor bagi guru lain yang belum menguasai. Sementara itu, guru-guru yang masih mengalami kesulitan diberikan coaching secara kelompok atau individu. Jika masih ada guru yang tetap belum menunjukkan perkembangan, kepala sekolah turun langsung memberikan coaching secara khusus. Pendekatan ini mencerminkan kepemimpinan yang adaptif dan transformatif.

Hasil dari strategi yang dijalankan dengan penuh konsistensi ini sangat terasa. Kapabilitas guru di SMK Negeri 10 Semarang meningkat secara signifikan. Di berbagai ruang kelas mulai tumbuh budaya belajar yang hidup. Guru-guru lebih percaya diri, berani mencoba hal baru, dan menunjukkan semangat kolaboratif. Sekolah pun menuai berbagai prestasi gemilang sebagai wujud dari transformasi tersebut. SMK Negeri 10 Semarang berhasil meraih juara kedua dalam Lomba Inovasi Sekolah Tingkat Jawa Tengah, juara dua Lomba Sekolah Sehat Tingkat Nasional, dan dinobatkan sebagai Sekolah Literasi Terbaik oleh Cabang Dinas Pendidikan Wilayah I.

Dari sisi individu, banyak guru yang berhasil menorehkan prestasi di tingkat nasional, provinsi, dan kota. Puncak keberhasilan ini terjadi pada tahun 2025, saat SMK Negeri 10 Semarang dinobatkan sebagai Juara 1 Sekolah Penyumbang Guru dan Tenaga Kependidikan Terbanyak untuk jenjang SMA/SMK/MA di wilayah kerja Cabang Dinas Pendidikan Wilayah I. Tercatat delapan guru berhasil menjadi juara nasional, tiga guru juara tingkat provinsi, dan dua guru juara tingkat kota. Capaian ini bukan hasil dari kerja instan, melainkan buah dari investasi jangka panjang dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Kisah sukses SMK Negeri 10 Semarang menjadi bukti bahwa ketika sekolah berani berkomitmen untuk terus belajar dan berbagi, maka perubahan besar akan terjadi. Guru yang berkapabilitas tinggi akan menciptakan pembelajaran yang bermakna, dan pada akhirnya melahirkan generasi muda yang tangguh dan kompeten. SMK Negeri 10 Semarang telah membuktikan bahwa strategi bertumbuh bukan sekadar konsep, melainkan gerakan nyata yang mengubah wajah pendidikan.

Sejak hari Rabu kemarin, BBGTK Jawa Tengah menyelenggarakan pelatihan bertajuk Pembelajaran Mendalam. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 30 Juli hingga 4 Agustus 2025, melibatkan guru dan kepala sekolah dari berbagai jenjang pendidikan di Jawa Tengah. Pelatihan ini bukan sekadar agenda rutin peningkatan kompetensi. Di baliknya terdapat visi besar untuk menyiapkan insan pendidik agar mampu menjadi penggerak perubahan di sekolah masing-masing. Di tengah tantangan dunia pendidikan yang dinamis, pelatihan semacam ini menjadi tonggak penting dalam membekali guru dan kepala sekolah dengan pendekatan-pendekatan baru yang lebih relevan dan berdampak. Tidak hanya memahami strategi pembelajaran mendalam, para peserta juga diajak untuk merefleksikan praktik pembelajaran yang selama ini dilakukan, sekaligus menyusun rencana konkret untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di ruang kelas.

Fokus utama pelatihan ini adalah memperkuat pemahaman tentang esensi pembelajaran mendalam yang berorientasi pada pencapaian Profil Lulusan. Guru dan kepala sekolah didorong untuk tidak lagi sekadar menyampaikan materi, tetapi memfasilitasi pengalaman belajar yang bermakna. Pembelajaran yang memicu rasa ingin tahu, mendorong eksplorasi, dan melatih peserta didik untuk berpikir kritis dan bertindak reflektif. Melalui pendekatan ini, diharapkan siswa tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga memiliki karakter kuat sebagai pembelajar sepanjang hayat, warga negara yang berintegritas, serta individu yang kreatif dan kolaboratif.

Namun, tentu saja membangun semangat belajar yang aktif, reflektif, dan berkelanjutan bukan perkara mudah. Ada tantangan besar yang perlu dihadapi. Waktu yang terbatas, beban administrasi yang tinggi, serta tekanan untuk memenuhi target-target akademik sering kali membuat guru sulit untuk meluangkan waktu bagi pengembangan diri. Di sisi lain, pergeseran dari pendekatan lama yang berpusat pada guru ke pendekatan baru yang berpusat pada siswa membutuhkan perubahan mindset yang tidak instan. Guru perlu merasa aman dan didukung dalam proses perubahan ini. Tidak kalah penting, infrastruktur teknologi dan komunitas belajar yang mendukung juga menjadi faktor penting agar pembelajaran mendalam bisa diimplementasikan secara maksimal.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, ada beberapa solusi dan rekomendasi yang bisa menjadi arah penguatan pelatihan ke depan. Pertama, penting untuk membangun komunitas belajar guru yang aktif layaknya komunitas open source. Komunitas yang hidup, saling mendukung, dan terbuka untuk berbagi praktik baik akan menciptakan budaya belajar yang berkelanjutan. Kedua, pelatihan sebaiknya dirancang berbasis proyek dan praktik nyata. Guru diajak untuk langsung menerapkan apa yang dipelajari di ruang kelas, lalu mendiskusikan hasilnya dalam forum komunitas. Ketiga, perlu ada pengakuan dan apresiasi nyata bagi guru yang aktif belajar dan berbagi. Bukan hanya sertifikat atau angka kredit, tetapi juga ruang aktualisasi untuk menjadi fasilitator, mentor, atau bahkan narasumber di tingkat yang lebih luas.

Pelatihan yang sedang berlangsung ini membawa harapan besar. Ia bisa menjadi refleksi bersama bahwa guru bukan sekadar pelaksana kurikulum, tetapi pemimpin pembelajaran yang menentukan arah dan kualitas pendidikan di Indonesia. Ketika guru belajar, maka murid pun akan ikut tumbuh. Ketika guru semangat, maka atmosfer belajar di sekolah pun menjadi lebih hidup. Oleh karena itu, pelatihan seperti ini semestinya tidak berhenti sebagai agenda tahunan, tetapi menjadi awal dari budaya belajar yang terus menyala.

Sebagai penutup, penulis mengajak semua guru dan kepala sekolah yang terlibat dalam pelatihan ini untuk tidak berhenti pada semangat sesaat. Jadikan pelatihan ini sebagai titik balik untuk membangun budaya belajar yang lebih mandiri, kolaboratif, dan reflektif. Seperti komunitas Linux yang terus berkembang karena semangat gotong royong dan keinginan untuk terus memperbaiki, maka dunia pendidikan kita pun akan maju jika para guru menjadikan diri mereka sebagai agen perubahan. Bukan karena diminta, tetapi karena sadar bahwa masa depan bangsa berada di ruang kelas yang mereka kelola hari ini.

Tulisan sebelumnya, klik disini

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam BBGTK Jawa Tengah.

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan