Jumat, 12-09-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Mengembalikan Jati Diri Pendidikan

Diterbitkan : Minggu, 18 Mei 2025

Dunia pendidikan tengah mengalami transformasi besar di abad ke-21. Tidak lagi cukup hanya dengan memberikan ilmu pengetahuan semata, sistem pendidikan kini dituntut untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Perubahan teknologi, dinamika sosial, serta tuntutan dunia kerja yang terus berkembang memaksa kita untuk merenung ulang: apa sebenarnya tujuan pendidikan?

Selama ini, banyak orang masih memandang pendidikan sebagai proses transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Namun, jika kita ingin menciptakan manusia-manusia unggul yang mampu bertahan dan berkontribusi di tengah arus perubahan, maka paradigma itu harus bergeser. Tujuan pendidikan yang utama bukan sekadar melahirkan lulusan yang pintar secara akademis, tetapi juga mereka yang memiliki keterampilan praktis, memahami makna hidup, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, pendidikan harus membentuk manusia yang utuh—dalam pikiran, hati, dan tindakan.

Seperti yang dikatakan John Dewey, tokoh pendidikan progresif, “Education is not preparation for life; education is life itself.” Pendidikan bukanlah sekadar persiapan untuk hidup, melainkan bagian tak terpisahkan dari kehidupan itu sendiri. Artinya, pendidikan harus mencakup pengalaman nyata yang melibatkan aspek intelektual, emosional, dan sosial. Maria Montessori, pendiri metode Montessori, juga menegaskan bahwa keberhasilan seorang guru terlihat ketika anak-anak mampu belajar mandiri, seolah-olah guru tidak ada. Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang baik bukan hanya tentang mengisi kepala siswa dengan informasi, melainkan membentuk kemandirian dan tanggung jawab.

Paulo Freire, ahli pendidikan kritis, mengingatkan kita bahwa “Education does not transform the world. Education changes people. People change the world.” Pendidikan yang holistik tidak hanya berfokus pada pencapaian individu, tetapi juga pada pembentukan manusia yang berpikir kritis, peduli terhadap masalah sosial, dan memiliki keberanian untuk menciptakan perubahan. Di Indonesia, Ki Hajar Dewantara telah lama menekankan pentingnya pendidikan yang membentuk karakter melalui filosofinya, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Pendidik tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan, motivator, dan pendukung yang memfasilitasi pertumbuhan siswa secara utuh.

Albert Einstein pernah berkata, “Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school.” Apa yang tersisa setelah semua rumus dan teori terlupakan? Jawabannya adalah pola pikir, nilai-nilai, dan cara seseorang menghadapi kehidupan. Pendidikan sejati bukan tentang menghafal, melainkan tentang memahami dan menerapkan pengetahuan dalam konteks yang lebih luas.

Nel Noddings, ahli pendidikan karakter, menambahkan bahwa “Caring is the foundation of morality.” Pendidikan harus menumbuhkan empati dan kepedulian, karena kecerdasan tanpa moral hanya akan melahirkan manusia yang egois dan merusak. Howard Gardner, pengembang teori kecerdasan majemuk, juga menekankan bahwa kecerdasan sejati menggabungkan thinking, feeling, and doing—berpikir, merasa, dan bertindak. Artinya, pendidikan harus mengembangkan tidak hanya kecerdasan kognitif, tetapi juga kecerdasan emosional dan sosial.

Keterampilan untuk Masa Depan

Membentuk keterampilan (skills) menjadi salah satu pilar penting dalam pendidikan masa kini. Dunia industri tidak lagi mencari pekerja yang hanya mengandalkan teori, melainkan mereka yang mampu berpikir kritis, berkomunikasi efektif, berkolaborasi, dan beradaptasi dengan perubahan. Literasi digital, kemampuan memecahkan masalah, dan pengelolaan emosi menjadi bagian tak terpisahkan dari keterampilan hidup yang diperlukan.

Pemerintah Indonesia telah menyadari hal ini dengan mengintegrasikan life skills dan vocational skills ke dalam kurikulum. Sekolah-sekolah kejuruan (SMK), misalnya, kini lebih menekankan pembelajaran berbasis praktik agar siswa siap terjun ke dunia kerja. Namun, keterampilan teknis saja tidak cukup. Pendidikan juga harus bermakna, menghubungkan teori dengan realitas kehidupan.

Pembelajaran yang Bermakna

Pendidikan tidak boleh sekadar menjadikan siswa sebagai penerima pasif informasi. Mereka perlu diberi ruang untuk bertanya, mengeksplorasi, dan menemukan relevansi antara apa yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Misalnya, matematika tidak hanya untuk menyelesaikan soal ujian, tetapi juga untuk mengatur keuangan pribadi atau mengembangkan bisnis.

Di sinilah peran guru sebagai fasilitator menjadi krusial. Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menciptakan pengalaman belajar yang menginspirasi. Ketika seorang guru berhasil membuat siswa merasa bahwa pembelajaran itu relevan dan menarik, maka pendidikan telah mencapai tujuannya.

Pendidikan yang Memuliakan Kehidupan

Di tengah persaingan global yang ketat, pendidikan tidak boleh terjebak dalam budaya “menang sendiri”. Siswa harus diajarkan nilai-nilai empati, toleransi, dan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungan. Pendidikan yang memuliakan kehidupan adalah ketika siswa tidak hanya belajar sains, tetapi juga memahami pentingnya menjaga alam; tidak hanya mempelajari sejarah, tetapi juga menghargai keberagaman dan perdamaian.

Integrasi Tiga Pilar Pendidikan

Ketiga aspek ini—keterampilan, makna, dan nilai kemanusiaan—harus berjalan beriringan. Beberapa sekolah telah menerapkan project-based learning, di mana siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga menerapkannya dalam proyek nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. Ada pula sekolah yang mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap aktivitas, sehingga siswa tidak hanya cerdas, tetapi juga berempati dan berbudi pekerti luhur.

Namun, tantangan tetap ada. Guru seringkali dibebani dengan kurikulum padat dan fasilitas terbatas. Orang tua terkadang lebih mementingkan nilai akademis daripada perkembangan karakter. Kebijakan pendidikan pun masih sering berorientasi pada angka, bukan pada kualitas manusia yang dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara guru, orang tua, pemangku kebijakan, dan masyarakat untuk menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar holistik.

Menutup tulisan ini, Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang tidak hanya mengasah pikiran, tetapi juga menyentuh hati, melatih keterampilan, dan memuliakan kehidupan. Jika kita berhasil mewujudkannya, kita tidak hanya akan melahirkan generasi yang cerdas, tetapi juga manusia yang berintegritas, penuh makna, dan peduli terhadap sesama. Inilah fondasi sejati sebuah peradaban yang maju dan berkelanjutan.

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan