Nama SMK Negeri 10 Semarang pernah bergema bukan karena prestasi akademik atau keahlian ketrampilan siswanya, melainkan sebagai sinonim kekerasan dan tawuran. Stigma kelam itu melekat erat, membayangi setiap langkah siswa yang belajar di sana, menguji kesabaran para guru yang berdedikasi, dan menebar kecemasan di tengah masyarakat sekitar. Sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu, melainkan medan pertarungan yang menegangkan. Warisan negatif ini menjadi beban berat yang terus dipikul. Saat Penulis pertama kali menginjakkan kaki di gerbang sekolah sebagai kepala sekolah baru, pertanyaan besar menghunjam dalam benaknya, menusuk naluri pendidiknya: “Bisakah sekolah yang dulu ditakuti ini berubah menjadi sekolah yang dicintai?” Bisakah rasa takut itu digantikan kebanggaan? Pertanyaan itu menjadi titik tolak sebuah perjalanan transformasi yang tak mudah.
Januari 2022 menandai momentum krusial. Di bawah kepemimpinan Ardan Sirodjuddin, sekolah mengambil langkah berani yang menjadi fondasi perubahan: Mendeklarasikan SMK Negeri 10 Semarang sebagai “Sekolah Bebas Kekerasan”. Deklarasi ini bukan sekadar slogan kosong, melainkan janji publik yang harus dipegang teguh. Langkah awal dimulai dari membangun kepercayaan yang telah lama retak. Dialog terbuka digelar tanpa henti, melibatkan seluruh warga sekolah – siswa, guru, staf, hingga orang tua dan perwakilan masyarakat. Setiap suara didengar, setiap keresahan dicatat, dan sebuah konsensus bersama dibangun: Kekerasan dalam bentuk apapun tidak lagi punya tempat di sini. Komitmen kolektif ini menjadi energi pertama yang menggerakkan roda perubahan.
Transformasi dijalankan dengan landasan tiga pilar utama, membentuk ekosistem pendidikan yang utuh. Pertama, Sekolah Aman. Lingkungan fisik ditata ulang, menciptakan ruang terbuka yang terang dan mudah diawasi. Sistem keamanan diperkuat dengan prosedur yang jelas dan bertanggung jawab. Tata tertib sekolah direvisi secara mendasar, bergeser dari paradigma menghukum menjadi mendidik, menekankan pemahaman konsekuensi dan restitusi. Sistem Perlindungan Anak dibentuk dengan sigap, didukung kampanye anti-bullying yang masif dan berkelanjutan, memastikan setiap anak merasa terlindungi.
Kedua, Sekolah Nyaman. Perubahan tak hanya pada fisik, tetapi terutama pada iklim emosional dan budaya sekolah. Guru didorong untuk bertransformasi dari sekedar pengajar menjadi pembimbing dan teladan yang hangat. Relasi guru-murid dibangun atas dasar saling menghargai dan percaya. Fasilitas pendukung kenyamanan dihadirkan: ruang hijau yang asri untuk melepas penat, pojok literasi yang mengundang untuk membaca, dan kelas sehat dengan sirkulasi udara serta pencahayaan optimal menciptakan atmosfer belajar yang kondusif. Sekolah perlahan berubah menjadi ruang yang manusiawi.
Ketiga, Sekolah yang Menumbuhkan Potensi. Pilar ini menjadi jantung pembelajaran. Kurikulum dan metode pengajaran diarahkan untuk menggali minat dan bakat setiap siswa. Ragam ekstrakurikuler – seni, olahraga, hingga kewirausahaan – ditawarkan secara relevan, menjadi wadah eksplorasi dan pengembangan diri. Literasi dalam arti luas, termasuk literasi digital, ditegakkan sebagai fondasi menyongsong masa depan. Guru berperan sebagai mentor dalam menerapkan pembelajaran diferensiasi, mengakui bahwa setiap anak unik dan memerlukan pendekatan berbeda untuk mencapai potensi terbaiknya. Sekolah bukan lagi penyeragaman, melainkan taman tempat berbagai bibit unggul menemukan caranya tumbuh.
Transformasi yang berkelanjutan memerlukan strategi jitu. Perbaikan Input dimulai sejak penerimaan peserta didik baru, dengan pembinaan karakter intensif untuk menanamkan nilai-nilai positif dan menanggalkan kebiasaan lama. Penguatan Proses dilakukan melalui peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan secara berkesinambungan, membekali mereka dengan keterampilan pedagogi modern, manajemen kelas positif, dan pendampingan siswa yang efektif. Integrasi teknologi dimanfaatkan secara optimal, baik dalam manajemen sekolah yang lebih transparan dan efisien, maupun dalam pembelajaran untuk membuat proses belajar lebih interaktif, menarik, dan sesuai dengan perkembangan zaman. Data menjadi dasar pengambilan keputusan yang lebih akurat.
Perjuangan panjang mulai berbuah manis. Kasus kekerasan dan tawuran mengalami penurunan drastis, bahkan nyaris menghilang. Energi siswa yang dulu terlampiaskan dalam konflik kini dialihkan ke partisipasi aktif dalam kegiatan positif – kompetensi keahlian, lomba akademik, ekstrakurikuler, proyek kewirausahaan, dan kegiatan sosial. Yang paling menggembirakan adalah perubahan persepsi masyarakat dan mitra industri. Stigma negatif perlahan luntur, digantikan kepercayaan dan apresiasi. SMK Negeri 10 Semarang tak lagi dihindari, melainkan mulai direkomendasikan sebagai sekolah pilihan. Prestasi akademik dan non-akademik siswa pun mulai bermunculan, menjadi bukti nyata kualitas yang terus tumbuh.
Perjalanan SMK Negeri 10 Semarang mengkristalkan sebuah pemahaman mendasar: Sekolah harus menjadi taman, tempat yang menumbuhkan dengan penuh keindahan dan kenyamanan, sebagaimana dicita-citakan Ki Hajar Dewantara. Bukan arena pertarungan atau ketakutan. Filosofi “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dihidupkan dalam setiap interaksi. Guru sebagai pamong, hadir di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, dan dari belakang memberi dorongan serta pengawasan penuh kepercayaan. Sekolah berhasil menjadi rumah kedua yang memerdekakan anak – bukan merdeka tanpa arah, tetapi merdeka untuk mengenali diri, menggali bakat, dan tumbuh sesuai kodratnya dalam lingkungan yang penuh dukungan dan kasih sayang.
SMK Negeri 10 Semarang telah melewati metamorfosis yang mengagumkan. Ia bukan lagi sekadar “sekolah keras” yang ditakuti, melainkan telah menjelma menjadi taman pendidikan yang hidup. Di taman ini, anak-anak tidak sekadar belajar teori dan ketrampilan teknis. Mereka belajar tentang nilai-nilai kemanusiaan, tumbuh dalam karakter dan kepercayaan diri, serta menemukan jati diri di tengah lingkungan yang aman, nyaman, dan penuh apresiasi. Sekolah ini telah membuktikan bahwa perubahan fundamental mungkin dilakukan. Ia kini tegak sebagai tempat membentuk manusia utuh: insan yang berkarakter kuat, terampil di bidangnya, dan percaya diri menghadapi dinamika masa depan. Dari medan tawuran yang kelam, kini tumbuh harapan baru, menyemai benih-benih unggul untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang
Beri Komentar