Jumat, 12-09-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Menumbuhkan Growth Mindset Guru di Era Pendidikan Modern

Diterbitkan : Minggu, 24 Agustus 2025

Dalam satu minggu terakhir, saya menjalani perjalanan yang melelahkan sekaligus membahagiakan. Tiga kesempatan mengajar pembelajaran mendalam menjadi pengalaman berharga: pertama di SMA Islam Hidayatullah, kemudian bersama guru-guru SMP Kabupaten Semarang, dan terakhir saat mendampingi On Job Training (OJT) Pembelajaran Mendalam untuk guru SMA Kota Semarang di SMA Negeri 1 Semarang. Jadwal padat itu memang menguras tenaga, tetapi rasa lelah seolah terbayar lunas ketika melihat antusiasme guru-guru yang hadir. Ada energi baru setiap kali berbagi pengetahuan, berdiskusi, dan saling belajar. Saya meyakini bahwa profesi guru adalah panggilan jiwa, dan setiap interaksi dengan guru lain adalah kesempatan untuk menyalakan api semangat perubahan.

Namun, kita semua tahu bahwa dunia pendidikan modern tidak pernah lepas dari tantangan. Perubahan kurikulum yang begitu cepat menuntut guru untuk adaptif. Teknologi yang berkembang pesat menghadirkan peluang sekaligus tekanan, sementara karakter siswa yang terus berubah membuat kita harus menyesuaikan pendekatan pembelajaran. Di tengah kompleksitas itu, guru dituntut lebih dari sekadar pelaksana kurikulum. Guru adalah agen perubahan, penggerak utama yang menentukan arah pendidikan bangsa.

Kunci utama dalam menghadapi semua tantangan itu ada pada mindset. Mindset atau pola pikir bukan sekadar cara pandang, tetapi penentu kualitas pembelajaran yang kita ciptakan. Guru dengan pola pikir positif akan melihat tantangan sebagai peluang belajar, sementara guru dengan pola pikir kaku cenderung berhenti di zona nyaman. Maka, pertanyaan besar bagi kita adalah: mindset seperti apa yang kita pilih?

Mengenal konsep fixed mindset dan growth mindset menjadi langkah awal untuk menjawab pertanyaan itu. Fixed mindset adalah keyakinan bahwa kecerdasan dan kemampuan bersifat tetap. Mereka yang terjebak dalam fixed mindset sering menghindari tantangan, takut gagal, dan mencari validasi eksternal. Kita tentu pernah menjumpai siswa yang berkata, “Saya memang tidak pintar matematika, jadi percuma belajar,” atau guru yang berkata, “Saya tidak bisa teknologi, biarlah yang muda saja.” Sikap ini membuat seseorang berhenti berkembang.

Berbeda dengan fix mindset. Pola pikir ini meyakini bahwa kemampuan dapat berkembang melalui usaha, waktu, dan pengalaman. Mereka yang memiliki growth mindset menyukai tantangan, terbuka terhadap kritik, dan mampu belajar dari kegagalan. Sejarah membuktikan, banyak tokoh besar lahir karena growth mindset. Mozart yang terus berlatih sejak kecil hingga menghasilkan karya abadi, Cristiano Ronaldo yang tak kenal lelah meningkatkan keterampilan di lapangan, atau guru yang senantiasa belajar meski sudah berpuluh tahun mengajar. Growth mindset menjadikan proses belajar sebagai perjalanan tiada akhir.

Dalam konteks dunia pendidikan, growth mindset memiliki peran penting. Kurikulum Nasional yang digunakan saat ini, misalnya, menuntut guru untuk fleksibel, kreatif, dan reflektif. Guru dengan growth mindset tidak takut salah, karena setiap kesalahan dianggap bahan pembelajaran. Mereka terus belajar, berinovasi, dan menginspirasi siswa. Fokus mereka bukan semata-mata pada hasil ujian, tetapi pada proses tumbuhnya karakter, keterampilan, dan kebahagiaan belajar siswa. Mereka menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dan inklusif, di mana setiap anak merasa dihargai dan berani mencoba.

Perlu tiga tahun penulis mengubah mindset guru di sekolah dari fixed mindset ke growth mindset. Proses itu bukanlah perjalanan singkat, melainkan sebuah transformasi panjang yang penuh liku, tantangan, bahkan keraguan. Tantangan terbesar justru muncul dari kenyataan bahwa sekolah tempat penulis mengabdi kala itu bukanlah sekolah yang “bersih” dari masalah. Sebaliknya, sekolah itu identik dengan citra negatif: siswa yang sering terlibat tawuran, tingkat kedisiplinan rendah, hingga prestasi akademik dan non-akademik yang hampir tak pernah terdengar.

Ketika pertama kali memimpin, penulis berhadapan dengan kenyataan pahit. Guru-guru yang seharusnya menjadi motor penggerak perubahan justru terjebak dalam fixed mindset. Mereka meyakini bahwa kondisi siswa tidak akan pernah berubah, bahwa sekolah itu sudah ditakdirkan berada di posisi terbawah, dan setiap upaya hanya akan berakhir sia-sia. Ada yang berkata, “Pak, jangan berharap terlalu tinggi. Anak-anak di sini memang sudah begitu sejak dulu.” Kalimat itu begitu membekas, sekaligus menjadi pemicu untuk membuktikan bahwa perubahan selalu mungkin.

Perjalanan mengubah pola pikir guru dimulai dari kesadaran bahwa mindset adalah akar dari semua tindakan. Guru dengan fixed mindset cenderung menghindari inovasi, takut mencoba metode baru, dan lebih suka berjalan di jalur aman meski itu tidak membawa hasil. Sementara growth mindset mengajarkan bahwa kemampuan bisa berkembang melalui usaha, refleksi, dan kolaborasi. Prinsip inilah yang coba ditanamkan perlahan.

Langkah pertama adalah menumbuhkan kesadaran diri. Penulis mengajak guru-guru melakukan refleksi bersama: mengapa sekolah ini identik dengan masalah, apa yang bisa dilakukan, dan bagaimana peran guru sebagai agen perubahan. Tidak mudah, karena sebagian besar menolak melihat ke dalam diri sendiri. Namun, dengan konsistensi, perlahan mereka mulai menyadari bahwa perubahan bukan hanya tanggung jawab siswa, melainkan juga guru.

Tahun pertama menjadi masa yang penuh ujian. Tawuran siswa masih sering terjadi, bahkan beberapa kali menimbulkan keresahan masyarakat sekitar. Namun, di saat bersamaan, penulis mulai mengajak guru berkolaborasi dalam kegiatan sederhana: mengubah pola pembelajaran dari satu arah menjadi diskusi kelompok, memberi ruang bagi siswa untuk mengekspresikan diri melalui kegiatan seni dan olahraga, serta memanfaatkan teknologi sederhana sebagai media belajar.

Tahun kedua mulai menunjukkan hasil. Beberapa siswa yang awalnya sering terlibat masalah justru menunjukkan bakat di bidang tertentu. Ada yang unggul dalam olahraga, ada yang piawai di seni musik, dan ada pula yang mulai berani tampil dalam lomba akademik. Guru pun perlahan berubah. Mereka tidak lagi hanya mengeluh, tetapi mulai mencoba mencari strategi baru untuk membangkitkan semangat belajar siswa. Mindset guru mulai bergeser: dari “siswa ini sulit diatur” menjadi “apa yang bisa saya lakukan agar dia berkembang?”.

Puncak perubahan terjadi di tahun ketiga. Sekolah yang dulu dikenal sebagai sarang masalah mulai menjadi langganan juara. Prestasi datang silih berganti, baik dari siswa maupun guru. Siswa berhasil menjuarai lomba tingkat kota hingga provinsi, sementara guru mulai aktif dalam berbagai forum inovasi pembelajaran. Masyarakat menilai kisah perubahan sekolah ini sebagai contoh nyata bahwa mindset mampu mengubah segalanya.

Tentu perjalanan tiga tahun itu bukan tanpa hambatan. Banyak kerikil kecil yang menguji keteguhan, mulai dari resistensi guru yang sulit diajak berubah, hingga tekanan eksternal dari masyarakat yang sudah terlanjur pesimis. Namun, kuncinya adalah konsistensi dan kesabaran. Penulis meyakini bahwa guru yang terus belajar dan menginspirasi akan melahirkan siswa yang juga berani bermimpi dan berprestasi.

Kini, ketika melihat kembali perjalanan tersebut, penulis semakin yakin bahwa transformasi pendidikan bukan hanya soal kurikulum atau fasilitas, tetapi soal mindset. Guru dengan growth mindset mampu mengubah kelas biasa menjadi ruang penuh makna, sekolah bermasalah menjadi sekolah juara, dan siswa yang dianggap “tidak bisa” menjadi pribadi yang membanggakan.

Transformasi guru dari fixed mindset menuju growth mindset tentu bukan hal mudah. Dibutuhkan kesadaran diri untuk mengenali pola pikir yang menghambat. Guru perlu berani refleksi: apakah selama ini kita lebih banyak mengeluh daripada mencari solusi? Apakah kita merasa nyaman dengan metode lama tanpa mencoba sesuatu yang baru? Setelah kesadaran muncul, langkah berikutnya adalah strategi perubahan. Guru dapat memulai dengan evaluasi pembelajaran, berkolaborasi dengan rekan sejawat, mengikuti pelatihan, atau membaca literatur pendidikan. Yang tak kalah penting adalah menerima kritik dengan lapang dada, menjadikannya bahan pengembangan, bukan sebagai serangan pribadi.

Di kelas, growth mindset bisa diwujudkan melalui praktik sederhana namun bermakna. Misalnya, mengubah pola duduk siswa menjadi kelompok kolaboratif agar mereka terbiasa berdiskusi. Mengajak siswa aktif terlibat, bukan hanya mendengar penjelasan guru. Menggunakan media pembelajaran variatif, mulai dari video, lagu, permainan, hingga observasi langsung. Sesekali, pembelajaran bisa keluar dari ruang kelas: belajar di taman, di lapangan, atau mengamati lingkungan sekitar. Dengan cara ini, siswa merasakan bahwa belajar bukan sekadar kewajiban, melainkan pengalaman yang menyenangkan. Dan yang terpenting, guru menekankan pada proses, bukan hanya hasil akhir.

Teknologi juga bisa menjadi dukungan penting bagi guru yang ingin bertumbuh. Kehadiran smartbook, misalnya, membuat buku teks lebih interaktif dengan QR code yang terhubung ke video atau materi tambahan. Platform digital seperti Jelajah Ilmu membantu guru dalam asesmen, menyusun laporan performa siswa, hingga menyediakan ruang pembelajaran daring. Meski demikian, kita harus ingat bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti peran guru. Sentuhan kemanusiaan tetap menjadi inti dari pendidikan.

Dari semua pengalaman mendampingi guru, saya belajar satu hal penting: guru hebat bukanlah yang sempurna. Guru hebat adalah mereka yang terus hadir, tulus, dan menginspirasi. Mengajar dari hati adalah kunci agar pembelajaran menyentuh hati siswa. Perubahan kurikulum, secanggih apa pun teknologi, tidak akan berdampak jika tidak diikuti dengan perubahan pola pikir. Mindset menentukan bagaimana kita merespons tantangan, kegagalan, dan peluang belajar.

Maka, growth mindset bukan sekadar konsep psikologi, melainkan fondasi transformasi guru. Guru yang memiliki growth mindset akan menularkan semangat itu kepada siswa. Mereka tidak hanya mengajarkan rumus atau teori, tetapi juga menanamkan keberanian untuk mencoba, kegigihan untuk berusaha, dan kerendahan hati untuk terus belajar.

Akhirnya, saya ingin mengajak para guru untuk terus belajar dan berinovasi. Mari kita ciptakan pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan siswa. Mari kita jadikan sekolah sebagai tempat tumbuhnya pembelajar sejati—baik siswa maupun guru. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal mencetak nilai akademik, tetapi soal menyiapkan manusia yang siap menghadapi masa depan dengan percaya diri, tangguh, dan berkarakter.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam BBGTK Jawa Tengah

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan