Visi dan misi ibarat kompas dan peta dalam perjalanan panjang sebuah satuan pendidikan. Visi memberikan arah, menunjukkan gambaran masa depan yang diimpikan, sedangkan misi menjabarkan langkah-langkah strategis yang harus ditempuh untuk mewujudkan gambaran tersebut. Tanpa visi, sekolah berjalan tanpa arah yang jelas. Tanpa misi, visi hanya menjadi hiasan di dinding ruang kepala sekolah atau halaman profil di website. Panduan Pengembangan Kurikulum Satuan Pendidikan (Hastasasi et al., 2024) menegaskan bahwa perumusan visi dan misi yang tepat menjadi fondasi dari seluruh pengembangan kurikulum, sebab kurikulum adalah instrumen utama untuk membawa sekolah dari kondisi saat ini menuju cita-cita yang diharapkan. Dalam panduan tersebut, ditegaskan bahwa misi adalah jawaban atas pertanyaan “Bagaimana kita akan mewujudkan visi itu?”. Kalimat ini sederhana, namun maknanya sangat mendalam. Ia mengingatkan bahwa misi bukan sekadar pernyataan indah, melainkan serangkaian langkah nyata yang mampu membawa perubahan.
Perumusan misi memerlukan prinsip yang jelas agar tidak terjebak pada kalimat-kalimat normatif yang sulit diukur keberhasilannya. Misi yang baik harus menunjukkan tindakan, bukan sekadar keadaan yang diinginkan. Pernyataan seperti “menjadi sekolah terbaik” mungkin terdengar memotivasi, namun tidak memberi arahan konkret. Sebaliknya, misi yang berbunyi “mengembangkan program pembelajaran berbasis proyek untuk membentuk keterampilan abad 21” jelas menunjukkan tindakan yang dapat dilaksanakan. Misi juga harus memiliki keterkaitan langsung dengan indikator visi. Jika visi menekankan pada keunggulan global, maka misi perlu memuat langkah-langkah yang mengarah pada kemampuan siswa bersaing di tingkat internasional, misalnya melalui pembelajaran bahasa asing atau sertifikasi kompetensi internasional.
Selain itu, misi yang baik berorientasi pada murid. Semua program dan kebijakan yang lahir dari misi harus mengarah pada peningkatan kualitas belajar, pembentukan karakter, dan pengembangan potensi peserta didik. Tidak kalah penting, perumusan misi harus dilakukan secara partisipatif. Keterlibatan seluruh warga satuan pendidikan—kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, siswa, bahkan komite sekolah—akan memastikan bahwa misi benar-benar menjadi milik bersama. Ketika semua pihak merasa memiliki, pelaksanaan misi akan lebih konsisten dan penuh semangat. Misi yang dirumuskan tanpa melibatkan warga sekolah sering kali berakhir sebagai dokumen formalitas yang dilupakan.
Prinsip-prinsip ini tercermin jelas pada proses yang dilakukan di SMK Negeri 10 Semarang dalam perencanaan Rencana Kerja Tahunan (RKT) di tahun 2026. Sekolah ini merencanakan visi yang tidak hanya idealis, tetapi juga relevan dan inspiratif: “Menjadi sekolah unggul, adaptif, berkarakter, kolaboratif, bermakna, berkelanjutan, bercitra global dan berpijak pada kearifan lokal.” Delapan kata kunci dalam visi ini bukanlah sekadar hiasan, melainkan cerminan dari tekad sekolah untuk membentuk peserta didik yang siap menghadapi tantangan masa depan. Unggul menggambarkan kualitas akademik dan non-akademik yang tinggi. Adaptif menunjukkan kemampuan menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan perubahan sosial. Berkarakter menekankan pada pembentukan kepribadian yang tangguh dan berintegritas. Kolaboratif menggambarkan semangat kerja sama, baik di dalam maupun di luar sekolah. Bermakna berarti pembelajaran yang relevan dengan kehidupan nyata. Berkelanjutan menunjukkan komitmen pada pendidikan yang ramah lingkungan dan berkesinambungan. Global mencerminkan orientasi internasional, sementara lokal menegaskan akar budaya yang menjadi identitas.
Untuk mewujudkan visi tersebut, SMK Negeri 10 Semarang merumuskan misi yang menjadi jawaban strategis. Setiap misi tidak hanya menjadi pernyataan, tetapi juga diterjemahkan dalam bentuk program nyata.
Pertama, membangun budaya belajar mendalam dan reflektif di SMK Negeri 10 Semarang diwujudkan dengan penerapan Project-Based Learning yang tidak hanya menekankan hasil akhir, tetapi juga proses berpikir, kolaborasi, dan refleksi siswa. Guru bertindak sebagai fasilitator yang membimbing siswa dalam mengidentifikasi masalah, merancang solusi, menguji, memperbaiki, dan mempresentasikan hasilnya.
Pendekatan ini memastikan bahwa siswa tidak hanya “bisa membuat” sesuatu, tetapi juga memahami mengapa dan bagaimana proses tersebut berjalan. Dengan demikian, budaya belajar mendalam dan reflektif benar-benar tertanam, sekaligus selaras dengan tuntutan dunia kerja yang mengharuskan lulusan memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.
Kedua, mengembangkan karakter peserta didik. Program ini diwujudkan melalui pembiasaan positif seperti “Salam, Sapa, Senyum” setiap pagi, pembinaan keagamaan rutin melalui Sholat Berjamaah bagi yang Muslim dan Ibadah bagi Nasrani, kegiatan sosial di masyarakat, dan pelatihan kepemimpinan bagi pengurus OSIS. Penilaian karakter menjadi bagian dari evaluasi siswa, sehingga nilai raport tidak hanya berisi angka akademik tetapi juga catatan perkembangan sikap dan perilaku.
Ketiga, mengasah kompetensi adaptif dan digital. SMK Negeri 10 Semarang membangun laboratorium komputer dan jaringan yang memadai, melaksanakan pelatihan coding, dan literasi digital bagi siswa, serta mendorong pemanfaatan Learning Management System (LMS) untuk pembelajaran campuran (blended learning). Kompetensi ini menjadi bekal penting di era kerja yang semakin terdigitalisasi.
Keempat, membangun kolaborasi erat dengan pemangku kepentingan. Sekolah aktif menjalin kerja sama dengan industri otomotif, perusahaan manufaktur, hingga lembaga pelatihan bahasa asing. Bentuk kolaborasi meliputi program magang, kelas industri, praktisi mengajar, dan rekrutmen langsung lulusan oleh perusahaan mitra. Selain itu, sekolah juga melibatkan komunitas lokal, misalnya kelompok swadaya masyarakat, untuk memberi pelatihan keterampilan tradisional pada siswa.
Mengintegrasikan kearifan lokal dalam pembelajaran di SMK Negeri 10 Semarang dimaksudkan untuk menjaga identitas budaya sekaligus menjadikannya sumber inovasi. Nilai, tradisi, dan potensi lokal dijadikan inspirasi serta bahan ajar yang kontekstual sesuai kompetensi keahlian masing-masing jurusan.
Dengan pendekatan ini, kearifan lokal tidak hanya diajarkan sebagai “sejarah” yang dihafalkan, tetapi dihidupkan kembali sebagai sumber inovasi, peluang ekonomi, dan pembentukan karakter siswa yang bangga akan budayanya.
Keenam, menjadikan sekolah sebagai pusat inovasi kejuruan. SMK Negeri 10 Semarang mengembangkan unit produksi di setiap jurusan yang menghasilkan produk atau layanan nyata untuk masyarakat.
Menjadikan sekolah sebagai pusat inovasi kejuruan berarti SMK Negeri 10 Semarang tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi hub kreatif dan produktif yang menghasilkan karya sesuai kompetensi keahlian masing-masing jurusan. Unit produksi di setiap jurusan berfungsi sebagai wadah latihan kerja berbasis proyek riil yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri.
Menjadikan sekolah sebagai pusat inovasi kejuruan berarti SMK Negeri 10 Semarang tidak hanya menjadi tempat belajar teori dan praktik, tetapi juga pusat produksi barang dan jasa yang nyata dan bermanfaat bagi masyarakat serta dunia industri. Setiap jurusan mengelola unit produksi yang dikelola secara profesional, melibatkan siswa dan guru sebagai pelaksana, serta berorientasi pada kualitas dan kepuasan pelanggan.
Unit-unit produksi ini bukan sekadar tempat praktik tambahan, tetapi juga sarana nyata untuk menumbuhkan jiwa wirausaha siswa, membiasakan mereka dengan disiplin kerja industri, dan membangun reputasi sekolah sebagai mitra yang dapat dipercaya oleh masyarakat serta dunia usaha. Hasil keuntungan dari unit produksi sebagian digunakan untuk pengembangan sarana pembelajaran dan sebagian lainnya untuk insentif siswa yang terlibat aktif.
Masing-masing misi memiliki keterkaitan langsung dengan indikator visi. Budaya belajar mendalam memperkuat keunggulan akademik. Pengembangan karakter mendukung visi berkarakter dan bermakna. Kompetensi adaptif dan digital menguatkan sifat adaptif serta orientasi global. Kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadikan sekolah kolaboratif dan berkelanjutan. Integrasi kearifan lokal memastikan globalisasi tidak mengikis identitas. Peran sekolah sebagai pusat inovasi menggarisbawahi keunggulan, relevansi, dan keberlanjutan.
Misi ini kemudian menjadi panduan dalam penyusunan program jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam jangka pendek, sekolah mengadakan pelatihan guru, penyesuaian RPP dengan misi, serta kegiatan literasi digital. Jangka menengah berfokus pada pembangunan sarana pendukung, seperti laboratorium inovasi dan pusat pelatihan. Jangka panjang diarahkan pada internasionalisasi program, seperti memperluas jejaring mitra luar negeri.
Refleksi dari pengalaman SMK Negeri 10 Semarang menunjukkan bahwa misi bukanlah sekadar formalitas dokumen kurikulum, melainkan kompas strategis yang mengarahkan setiap langkah sekolah. Proses perumusannya harus menjadi ruang dialog dan kolaborasi, di mana setiap suara didengar dan setiap ide dihargai. Ketika misi lahir dari proses yang inklusif, ia akan hidup dalam keseharian sekolah, bukan hanya dibaca saat akreditasi.
Mimpi besar dalam visi hanya akan menjadi kenyataan jika dijalankan dengan misi yang jelas, terukur, dan disepakati bersama. Misi yang dirumuskan dengan partisipasi aktif akan menjadi milik bersama, dijalankan dengan semangat kolektif, dan menjadi penggerak utama transformasi pendidikan. Sekolah yang memahami dan menghidupi misinya akan berjalan mantap menuju visinya, dan pada akhirnya, mewujudkan pendidikan yang memberi makna bagi semua.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam BBGTK Jawa Tengah.
Menginspirasi Pak, ijin ikut belajar
terimakasih ilmunya. sangat bermanfaat
Menginspirasi pak …
Beri Komentar