“Bisakah satu orang mengubah dunia?” Pertanyaan ini kerap terdengar seperti kalimat utopis yang hanya layak muncul dalam kisah-kisah fiksi. Namun, kisah nyata sering kali justru melampaui imajinasi. Di balik hijau rimbun hutan dan sejuknya udara di pegunungan Wonogiri, ada jejak langkah seorang lelaki tua yang menolak tunduk pada takdir kering dan gersangnya alam. Ia bukan pejabat, bukan konglomerat, apalagi pemenang penghargaan global. Ia hanyalah seorang rakyat kecil yang bersenjatakan tekad dan cinta pada bumi. Namanya Mbah Sadiman.
Kisah perjuangan Mbah Sadiman menjadi cermin yang kuat tentang bagaimana satu tekad mampu menembus batas ketidakmungkinan. Dari tangan rentanya tumbuh ribuan pohon yang kini menjadi sumber kehidupan. Jejak inspirasinya bahkan menyentuh ruang-ruang pendidikan, seperti SMK Negeri 10 Semarang. Sekolah yang dulunya panas, gersang, dan langganan banjir itu kini sedang menata ulang takdirnya. Dengan semangat yang sama seperti Mbah Sadiman, sekolah ini menapaki jalan panjang menuju perubahan, menjadikan penghijauan sebagai bentuk perlawanan terhadap bencana dan ketidaknyamanan lingkungan. Dari seorang petani sederhana, lahir inspirasi untuk ratusan siswa dan guru agar menjadikan sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga ruang hidup yang lestari.
Mbah Sadiman bukan tokoh dalam buku sejarah atau nama besar dalam media nasional. Ia hanyalah seorang warga Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Wonogiri, yang percaya bahwa air adalah hak hidup semua makhluk dan hutan adalah sumber air. Sejak 1996, ia memulai perjuangan yang sunyi namun penuh keberanian. Tanpa dukungan lembaga, tanpa sorotan kamera, ia membawa puluhan bibit pohon beringin dan fikus ke lereng-lereng bukit yang tandus. Ia tahu, pohon-pohon besar itu mampu menyimpan cadangan air dalam jumlah besar. Maka ditanamnya satu demi satu, dengan sabar dan penuh cinta.
Namun, menanam pohon bukanlah pekerjaan yang murah bagi seorang petani kecil. Bibit pohon tidak tumbuh begitu saja. Untuk bisa terus melanjutkan misinya, Mbah Sadiman harus menjual sapi peliharaannya. Ternaknya yang menjadi sumber penghidupan ia korbankan demi membeli bibit lebih banyak. Ia kerap dianggap gila oleh warga, dicemooh karena menanam pohon besar yang tidak bisa dipanen cepat. Tapi ia tidak berhenti. Ia tidak pernah menjawab cemoohan dengan kata-kata, melainkan dengan aksi berkelanjutan.
Kini, hampir tiga dekade berlalu, kerja kerasnya menjelma jadi hasil yang menakjubkan. Lebih dari 11.000 pohon beringin dan fikus tumbuh di atas lahan seluas 250 hektar. Bukit-bukit gersang berubah menjadi kawasan hijau yang menyimpan air. Sumber mata air yang dulu kering kini kembali mengalir, menghidupi warga sekitarnya. Udara menjadi sejuk, tanah menjadi subur, dan alam kembali bersahabat. Yang lebih penting, perjuangan itu menginspirasi gerakan nasional penghijauan. Dari tangan seorang, ribuan kehidupan kini terbantu.
Kisah Mbah Sadiman menggetarkan hati penulis selaku pimpinan di SMK Negeri 10 Semarang. Sekolah yang berada di kawasan langganan banjir ini pernah mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan pada tahun 2022. Air menggenangi halaman, ruang kelas, ruang praktik, laboratorium komputer, ruang guru dan bengkel, dan suhu udara yang tinggi membuat suasana belajar tidak nyaman. Tanah di sekitar sekolah cenderung tandus dan minim vegetasi. Musim hujan menjadi momok menakutkan, sementara musim kemarau membawa panas yang menyengat. Namun dalam kesulitan itu, muncul kesadaran bahwa masalah lingkungan harus diatasi bukan hanya dengan keluhan, tapi dengan tindakan nyata. Mbah Sadiman pun menjadi simbol harapan baru: jika seorang diri ia mampu menghijaukan bukit, maka sebuah sekolah pasti mampu menghijaukan lingkungannya sendiri.
Langkah awal dimulai dengan membentuk tim yang fokus pada penanganan banjir. Dalam waktu tiga tahun, berbagai upaya dilakukan: perbaikan drainase, normalisasi saluran air, pembuatan pintu air, pembuatan kolam retensi, dan penambahan jumlah pompa di lingkungan sekolah. Perlahan tapi pasti, genangan air mulai berkurang. Namun perjuangan belum selesai. Mbah Sadiman mengajarkan bahwa keberlanjutan hanya bisa lahir dari komitmen panjang dan konsistensi tindakan. Maka sekolah pun merancang langkah besar: menjadi sekolah Adiwiyata dalam empat tahun ke depan.
Tahun 2025 sebagai tahun pertama menjadi tahap fondasi dan perencanaan. Sekolah berencana membentuk tim Adiwiyata yang terdiri dari guru, siswa, dan tenaga kependidikan. Audit lingkungan dilakukan untuk mengetahui titik-titik masalah utama. Pengelolaan sampah ditata ulang dengan sistem pemilahan dan pengurangan penggunaan plastik. Edukasi lingkungan mulai digencarkan melalui berbagai kegiatan belajar dan proyek sederhana siswa. Tahun ini adalah tentang membangun kesadaran dan membentuk fondasi perilaku.
Memasuki tahun kedua, sekolah mulai masuk tahap implementasi dan penguatan. Kegiatan penghijauan akan dilakukan secara masif, baik di halaman sekolah, taman di depan kelas, maupun perwajahan di depan sekolah. Program pengintegrasian kurikulum dengan isu lingkungan mulai diterapkan, terutama dalam pelajaran IPAS, dan seni budaya. Kemitraan dengan dinas lingkungan hidup, komunitas penghijauan, dan perguruan tinggi mulai dibangun. Kegiatan lingkungan tidak lagi menjadi proyek tahunan, tetapi bagian dari budaya belajar harian.
Tahun ketiga adalah saat evaluasi dan inovasi. Sekolah berencana melakukan monitoring terhadap hasil upaya selama dua tahun sebelumnya. Beberapa program diperkuat, sementara yang belum efektif diperbaiki. Muncul berbagai inovasi lingkungan seperti taman vertikal, hidroponik, dan sistem pemanenan air hujan. Kegiatan siswa mulai terdokumentasi dengan baik, baik dalam bentuk video, laporan proyek, maupun portofolio digital. Budaya sekolah diharapkan menunjukkan wajah baru: siswa lebih peduli, guru lebih kolaboratif, dan lingkungan semakin hijau.
Tahun keempat menjadi puncak konsolidasi. Budaya hijau yang telah tumbuh mulai diperkuat dan dijaga keberlanjutannya. Sekolah mulai mempersiapkan pengajuan resmi sebagai sekolah Adiwiyata. Seluruh dokumentasi dirapikan, dan kegiatan praktik baik mulai dibagikan kepada sekolah-sekolah lain. SMK Negeri 10 Semarang tak lagi menjadi sekolah yang terjebak dalam siklus banjir dan panas, tetapi menjadi pusat inspirasi dan contoh transformasi lingkungan berbasis pendidikan.
Perjalanan ini tentu bukan tanpa tantangan. Mengubah budaya sekolah tidak bisa dilakukan hanya dengan surat edaran atau kegiatan seremonial. Dibutuhkan kesabaran, konsistensi, dan sinergi dari semua pihak. Namun kisah Mbah Sadiman selalu menjadi pengingat: satu orang pun bisa membuat perbedaan besar, apalagi satu komunitas sekolah yang solid.
SMK Negeri 10 Semarang sedang menorehkan jejak baru. Jejak yang bukan hanya tentang prestasi akademik, tapi tentang keberanian melawan bencana dengan solusi berkelanjutan. Jejak yang memperlihatkan bahwa pendidikan bukan hanya soal belajar dari buku, tapi juga dari alam dan kehidupan nyata. Pendidikan sejati adalah yang menyalakan kesadaran, membangun karakter, dan menciptakan perubahan.
Kini, mimpi itu mulai tumbuh di setiap sudut sekolah: di bawah rindangnya pohon baru, di antara deretan pot hidroponik, di papan mading bertema lingkungan, dan di hati para siswa yang mulai menyapa bumi dengan kepedulian. SMK Negeri 10 Semarang tengah bergerak menuju masa depan yang lebih hijau dan lebih lestari. Ia tidak hanya menyelamatkan lingkungannya sendiri, tapi juga memberi contoh bagi sekolah-sekolah lain bahwa perubahan selalu mungkin, asalkan dimulai dari niat yang kuat dan kerja yang nyata.
Mari kita semua menjadi “Sadiman” di lingkungan kita masing-masing. Karena bumi tidak hanya membutuhkan penyelamat besar, tapi ribuan tangan kecil yang bersedia merawatnya setiap hari.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang.
Beri Komentar