Rabu, 22-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Sekolah sebagai Atom Cinta: Dari Energi Pendidikan ke Entropi yang Membakar

Diterbitkan :

Di setiap sudut sekolah, sejatinya berdenyut energi yang tak kasatmata. Energi itu bukan berasal dari listrik PLN, melainkan dari cinta, rindu, dan perhatian yang menyalakan semangat belajar. Ia menjelma dalam sapa guru, senyum murid, dan laku pemimpin yang memancarkan daya hidup. Namun, sebagaimana dalam dunia fisika, setiap sistem energi hanya akan stabil bila muatannya seimbang. Ketika salah satu sisi terlalu kuat atau terlalu lemah, sistem itu kehilangan kestabilan — dan berubah menjadi entropi.

Begitulah sekolah hari ini. Ia sesungguhnya adalah atom besar kehidupan, dengan kepala sekolah sebagai inti atom, guru sebagai elektron yang menari di orbit, dan nilai-nilai pendidikan sebagai neutron yang menjaga keseimbangan. Dalam sistem yang sehat, semuanya berputar harmonis. Kepala sekolah memancarkan medan energi yang menata arah, para guru menyalurkan arus pengetahuan dengan tulus, dan murid menjadi pantulan cahaya dari orbit-orbit cinta itu.

Namun, banyak sekolah kini hidup dalam ketidakseimbangan. Guru-guru yang berpindah terlalu sering ibarat elektron yang meloncat dari orbitnya, membawa sebagian energi sistem. Kepala sekolah yang terlalu cepat berganti adalah inti atom yang tak sempat menstabilkan medan. Akibatnya, orbit para guru tak sempat menetap; nilai-nilai kehilangan daya ikat; dan energi moral menguap ke udara birokrasi.

Jika rotasi jabatan dan mutasi terjadi tanpa arah, sekolah berubah menjadi atom labil — kehilangan inti kepercayaannya. Elektron-elektron di dalamnya berputar tanpa pola, bertumbukan satu sama lain, memercikkan panas konflik yang lama-lama membakar sistem. Potensi atom itu pun rusak; boro-boro menjadi logam mulia seperti emas yang stabil, justru berperilaku seperti helium yang reaktif, ringan, dan mudah terbakar oleh gesekan ego.

Padahal sekolah yang baik seharusnya seperti atom emas: stabil, berkilau, dan tahan korosi waktu. Elektron-elektronnya berputar dalam keseimbangan, orbitnya kukuh, dan setiap gesekan justru memantulkan cahaya, bukan percikan. Tapi untuk sampai ke tahap itu, dibutuhkan waktu, kepemimpinan yang konsisten, dan energi cinta yang berkesinambungan.

Sayangnya, banyak energi pendidikan kini berubah menjadi sampah entropi. Energi yang dulu lahir dari cinta kini berganti dengan arus ego, gengsi, dan pencitraan diri.
Setiap interaksi di sekolah—rapat, supervisi, pembelajaran—adalah pertukaran energi. Saat komunikasi tidak tulus, saat semangat digantikan ambisi, maka yang lahir bukan cahaya, melainkan panas yang membakar suasana. Inilah entropi pendidikan: kekacauan halus yang menumpuk di balik senyum formal, laporan rapi, dan konten unggahan media sosial sekolah.

Ada kepala sekolah yang sibuk membangun panggung citra, bukan medan belajar. Ia menciptakan magnet semu yang menarik perhatian atasan, tapi tak mampu menginduksi semangat di sekitarnya.
Ada guru yang rajin, tapi bukan dalam menghantarkan ilmu—melainkan dalam menghimpun pundi-pundi pribadi dari proyek dan kegiatan tambahan.
Mereka adalah konduktor rusak yang menghantarkan energi ke arah salah, menciptakan korsleting moral dalam sistem pendidikan.

Kita pun menyaksikan sekolah-sekolah yang tampak gemerlap dari luar, tetapi kosong di dalam. Kelas-kelas penuh, tetapi ruh belajar redup. Laporan selesai, tapi makna hilang. Seperti kabel yang terpasang rapi namun tak dialiri arus, sistem itu berdiri tapi tak hidup.

Padahal, sebagaimana hukum Coulomb, daya tarik kepemimpinan berbanding lurus dengan kekuatan muatan positif di dalam hati, dan berbanding terbalik dengan jarak emosional terhadap sesama. Jika pemimpin menjauh dari guru, jika guru menjauh dari murid, medan listrik itu pun padam.

Refleksi: Menjadi Logam Mulia Pendidikan

Kepala sekolah sejati bukan hanya pengelola kegiatan, melainkan penjaga energi. Ia memelihara medan cinta agar terus berdenyut di sekelilingnya. Ia tahu, setiap keputusan adalah muatan yang memengaruhi keseimbangan seluruh atom sekolah. Maka ia berhati-hati: tidak semua perubahan perlu cepat, tidak semua mutasi berarti perbaikan.

Namun kini, banyak sekolah kelelahan. Rotasi jabatan yang tak bijak, kompetisi yang tak sehat, dan kepemimpinan yang sibuk membangun citra membuat energi baik berubah menjadi sampah entropi. Setiap kali guru atau kepala sekolah berganti, sistem harus menata ulang orbitnya — menguras daya, menimbulkan gesekan, dan melemahkan kohesi moral.

Sekolah tidak butuh lebih banyak penghargaan, tetapi lebih banyak resonansi.
Tidak butuh lebih banyak laporan, tetapi lebih banyak kehangatan.
Karena pada akhirnya, listrik pendidikan bukan soal watt dan voltase, melainkan soal hati yang bermuatan positif dan saling menghantarkan terang.

Sebab ketika hati-hati di sekolah telah kehilangan muatan cinta, ketika pemimpin sibuk memoles diri sementara guru sibuk menghitung pundi, maka yang tersisa hanyalah panas keserakahan yang membakar makna belajar.
Dan dari sistem seperti itu, tak akan lahir logam mulia pendidikan.
Yang ada hanyalah helium—mudah terbakar, cepat menguap, dan lenyap sebelum sempat memberi cahaya bagi masa depan bangsa.

Penulis : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja. Guru IPA SMPN 2 Ajibarang dan Penulis Esai Pendidikan