Rabu, 22-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Sinyal Lemah di Negeri Provider Pendidikan

Diterbitkan :

Di negeri ini, pendidikan sering terasa seperti jaringan seluler di pelosok — bar sinyal cuma satu, kadang hilang, kadang muncul lagi setelah ditendang. Guru, murid, dan sekolah seolah hidup dalam sistem komunikasi yang sering error, tapi terus dipaksakan “online”.

Kalau mau dibuat analogi:

Guru adalah sinyal.

Murid adalah pulsa.

Sekolah adalah provider.

Guru memancarkan gelombang ilmu, tapi kalau muridnya kehabisan pulsa motivasi, ya sinyalnya tak sampai. Sekolah pun bisa jadi provider yang jaringannya lemot: banyak slogan, tapi sering “maintenance”—rapat, laporan, dan proyek yang tak selesai-selesai.

Semua saling butuh, tapi tak selalu saling nyambung.

Ketika Pendidikan jadi “No Service”

Belakangan ini, masyarakat dihebohkan oleh kasus viral dari SMA Negeri 1 Cimarga, Banten. Seorang kepala sekolah menampar siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Katanya spontan, tapi efeknya viral. Ratusan siswa mogok, publik terbelah, dan akhirnya semua “berdamai” setelah dinas turun tangan.

Tampaknya sinyal di sekolah itu sedang terganggu parah.

Guru dan murid tidak nyambung, provider (baca: kebijakan) tidak tanggap.

Koneksi putus, emosi tersambung.

Kasus Cimarga bukan sekadar soal tamparan. Ia cermin betapa mudah sinyal empati hilang dalam jaringan pendidikan kita. Guru merasa lelah dan kehilangan daya pancar, murid kehilangan daya tangkap, sementara sekolah sibuk memperkuat tower citra di media sosial.

Gangguan Jaringan yang Kronis

Gangguan pendidikan kita sebenarnya sudah lama.

Kadang karena latensi kebijakan—terlalu lambat menyesuaikan.

Kadang karena jitter kurikulum—bolak-balik ganti nama tanpa sempat diuji stabilitasnya.

Kadang karena packet loss perhatian—guru kehilangan fokus, murid kehilangan arah, kepala sekolah kehilangan makna.

Dan yang paling berbahaya: biaya koneksi.

Semuanya serba berbayar: les tambahan, pelatihan guru, kegiatan sekolah, bahkan lomba-lomba yang katanya “gratis” tapi tetap saja ada “kuota tersembunyi”.

Pendidikan gratis hanya ada di iklan dan visi-misi, sementara realitasnya seperti pesan WhatsApp tengah malam: “Maaf, pulsa Anda tidak cukup untuk melanjutkan panggilan ini.”

Antara Kecepatan dan Kualitas

Pendidikan kita sekarang serba cepat. Segala hal ingin “daring”, “terintegrasi”, “berbasis platform”. Tapi seperti sinyal 5G di ponsel murah, cepat belum tentu stabil.

Guru berlari mengejar target, murid sibuk mengirim tugas, kepala sekolah menandatangani laporan digital — semua sibuk connected, tapi tak lagi communicated.

Kita punya jaringan yang cepat, tapi komunikasi yang hampa.

Punya provider yang kuat, tapi isi pesannya kosong.

Reset Jaringan Empati

Barangkali, sebelum memperbaiki server dan sinyal, kita perlu memperbarui firmware hati.

Guru tak perlu merasa harus selalu sempurna, cukup jujur dan sabar.

Murid tak harus selalu pintar, cukup punya rasa ingin tahu.

Sekolah tak perlu sibuk membangun citra digital, cukup memastikan koneksi manusiawi tetap hidup.

Kasus Cimarga mengingatkan kita bahwa di balik seragam, gawai, dan rapor digital, pendidikan tetap urusan manusia.

Dan manusia, seberapapun canggihnya sistem, tetap butuh sentuhan, bukan sekadar sambungan.

Penutup: Agar Tak Lagi “No Signal”

Mungkin pendidikan kita perlu sinyal baru — bukan dari menara kebijakan, tapi dari hati yang mau mendengar.

Kita sudah terlalu sering memperbaiki sistem, tapi jarang memperbaiki cara berhubungan.

Padahal pendidikan itu sederhana: memancarkan sinyal nilai, menangkap makna, dan menjaga koneksi kemanusiaan tetap menyala.

Karena kalau terus begini, jangan-jangan kita hanya jadi bangsa dengan koneksi tercepat, tapi hubungan terputus paling dalam.

Ajibarang, 20 Oktober 2025

Penulis : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja