Rabu, 22-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Masa Depan Siswa Dengan Tes Kompetensi Akademik, Beban atau Harapan ?

Diterbitkan : Minggu, 9 Maret 2025

Pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam membangun masa depan bangsa. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di bidang pendidikan selalu menjadi sorotan publik. Salah satu perubahan besar yang akan terjadi pada tahun 2025 adalah penggantian Ujian Nasional (UN) dengan sistem baru bernama Tes Kompetensi Akademik (TKA). Kebijakan ini digagas oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui pendekatan evaluasi yang lebih fleksibel dan relevan. Meskipun UN tidak lagi menjadi bagian dari sistem evaluasi nasional, Asesmen Nasional (AN) tetap akan dilaksanakan untuk memetakan mutu pendidikan secara menyeluruh.

Perubahan ini bukanlah keputusan yang tiba-tiba, melainkan hasil dari refleksi panjang terhadap pelaksanaan UN selama bertahun-tahun. Banyak pihak menilai bahwa UN kerap kali memberikan tekanan berlebih kepada siswa karena fokusnya yang terlalu berorientasi pada hafalan dan angka-angka. Selain itu, UN juga sering kali dianggap kurang mampu menggambarkan kemampuan siswa secara holistik. Melalui TKA, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem evaluasi yang tidak hanya mengukur pengetahuan siswa, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, analitis, serta pemecahan masalah. Pendekatan ini diharapkan dapat lebih relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan modern, di mana keterampilan berpikir tingkat tinggi menjadi kunci kesuksesan di masa depan.

Namun, pengenalan TKA tidak berarti Asesmen Nasional (AN) akan ditinggalkan. AN tetap memiliki peran penting sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan di tingkat sekolah, daerah, dan nasional. Bedanya, AN lebih berfokus pada literasi, numerasi, serta survei karakter dan lingkungan belajar, sementara TKA dirancang untuk mengukur kompetensi akademik siswa secara individu. Hasil TKA bahkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk jenjang pendidikan lebih tinggi, seperti PPDB atau jalur prestasi perguruan tinggi negeri. Dengan demikian, kedua sistem ini saling melengkapi untuk mendukung tujuan bersama, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Artikel ini hadir untuk memberikan gambaran lebih jelas mengenai rencana pemerintah terkait TKA. Kami akan mengulas secara mendalam apa itu TKA, bagaimana perbedaannya dengan AN, serta dampaknya terhadap siswa, sekolah, dan masyarakat luas. Selain itu, artikel ini juga akan menyajikan pandangan dari berbagai pihak, termasuk publik, pemerhati pendidikan, dan penulis. Dengan membaca artikel ini, diharapkan para guru, kepala sekolah, dan pemangku kepentingan lainnya dapat memahami esensi dari kebijakan baru ini dan siap menghadapi perubahan yang akan datang.

Pengenalan Tes Kompetensi Akademik (TKA)

Rencana Pelaksanaan TKA dimulai pada November 2025 , khususnya untuk jenjang SMA, SMK, dan MA. Pemilihan waktu ini bukan tanpa alasan. Hasil TKA untuk siswa kelas 12 akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi, terutama jalur prestasi. Dengan demikian, siswa memiliki kesempatan untuk menunjukkan kemampuan akademik mereka sebelum melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Sementara itu, untuk jenjang SD dan SMP, pelaksanaan TKA direncanakan mulai tahun 2026 , meskipun bulan pelaksanaannya belum ditentukan secara pasti. Penyesuaian waktu ini bertujuan agar pelaksanaan TKA dapat berjalan optimal sesuai dengan kalender akademik sekolah.

Perubahan nama dari UN ke TKA bukanlah sekadar pergantian istilah, tetapi juga upaya untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap sistem evaluasi. Selama ini, istilah “Ujian Nasional” kerap membawa konotasi negatif karena dinilai memberikan tekanan psikologis yang besar kepada siswa. Banyak siswa merasa bahwa UN adalah momok yang harus dihadapi dengan segala cara, bahkan hingga mengorbankan kesehatan mental mereka. Oleh karena itu, nama TKA dipilih untuk memberikan kesan positif dan mencerminkan evaluasi yang lebih fleksibel serta mendukung perkembangan siswa. Nama ini diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif yang selama ini melekat pada UN.

Tujuan utama TKA adalah untuk mengukur kemampuan akademik individu siswa secara lebih mendalam. Berbeda dengan UN yang cenderung berfokus pada hafalan dan fakta, TKA dirancang untuk mengevaluasi kemampuan berpikir kritis, analitis, serta pemecahan masalah. Soal-soal dalam TKA akan lebih bervariasi, seperti studi kasus atau soal berbasis konsep mendalam, sehingga siswa dituntut untuk benar-benar memahami materi yang dipelajari. Selain itu, TKA juga bertujuan untuk memetakan kualitas pendidikan nasional. Data yang dihasilkan dari TKA akan digunakan oleh pemerintah untuk merancang kebijakan pendidikan yang lebih tepat sasaran. Tidak kalah penting, hasil TKA dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi atau PPDB, sehingga memberikan manfaat langsung bagi siswa dalam melanjutkan pendidikan mereka.

Meskipun TKA menjadi sorotan utama, penting untuk dicatat bahwa kelulusan siswa tidak ditentukan oleh TKA. Baik TKA maupun Asesmen Nasional (AN) tidak memiliki peran dalam menentukan kelulusan. Kelulusan siswa tetap ditentukan oleh ujian sekolah, yang dilakukan melalui kombinasi nilai TKA dan penilaian harian dari guru. Hal ini memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam menilai capaian siswa secara adil dan komprehensif. 

Perbedaan TKA dan Asesmen Nasional (AN)

Meskipun kedua sistem ini bertujuan untuk mendukung kemajuan pendidikan, ada perbedaan mendasar dalam pelaksanaannya, mulai dari kelas yang diuji, tujuan penggunaan hasil, basis ujian, hingga peserta yang terlibat. Artikel ini akan mengulas secara rinci perbedaan antara TKA dan AN agar para guru dan kepala sekolah dapat lebih memahami esensi serta manfaat dari kedua sistem ini.

Salah satu perbedaan utama antara TKA dan AN terletak pada kelas yang diuji. Dalam pelaksanaan TKA, fokusnya adalah pada siswa kelas terakhir di setiap jenjang pendidikan. Artinya, siswa kelas 6 SD , kelas 9 SMP , dan kelas 12 SMA/SMK akan menjadi peserta wajib dalam TKA. Sementara itu, AN melibatkan siswa yang berada satu tingkat di bawah kelas terakhir, yaitu kelas 5 SD , kelas 8 SMP , dan kelas 11 SMA. Perbedaan ini mencerminkan tujuan yang berbeda dari kedua sistem evaluasi tersebut. TKA dirancang untuk mengukur kemampuan akademik siswa di akhir jenjang pendidikan mereka, sementara AN bertujuan untuk memetakan kualitas pembelajaran sebelum siswa memasuki tahap akhir.

Selain itu, tujuan penggunaan hasil dari TKA dan AN juga sangat berbeda. Hasil TKA memiliki nilai praktis yang langsung dapat digunakan oleh siswa. Misalnya, hasil TKA untuk siswa SD dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) ke SMP. Begitu pula dengan hasil TKA untuk siswa SMP yang dapat digunakan untuk masuk SMA, dan hasil TKA untuk siswa SMA/SMK yang dapat menjadi salah satu penilaian dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Sebaliknya, hasil AN tidak digunakan untuk seleksi masuk jenjang pendidikan lebih tinggi. Fungsinya lebih bersifat reflektif, yaitu untuk memetakan mutu pendidikan di tingkat sekolah, daerah, hingga nasional. Data dari AN digunakan oleh pemerintah untuk merancang kebijakan pendidikan yang lebih baik dan berbasis data.

Perbedaan lainnya terlihat pada basis ujian yang digunakan. TKA dirancang berbasis mata pelajaran, dengan fokus pada lima mata pelajaran utama: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, serta dua mata pelajaran pilihan yang relevan dengan jalur akademik atau vokasi siswa. Soal-soal dalam TKA dirancang untuk mengukur pemahaman mendalam, kemampuan berpikir kritis, dan aplikasi konsep dalam situasi nyata. Di sisi lain, AN tidak berbasis mata pelajaran. Evaluasi dalam AN lebih berfokus pada tiga aspek utama: literasi, numerasi, dan karakter. Literasi mengukur kemampuan siswa dalam memahami dan menggunakan informasi dari teks, numerasi menilai kemampuan bernalar menggunakan angka, dan karakter mengevaluasi nilai-nilai seperti integritas, kerja sama, dan tanggung jawab. Dengan pendekatan ini, AN memberikan gambaran holistik tentang lingkungan belajar di sekolah.

Perbedaan signifikan lainnya terletak pada peserta yang diuji. Dalam TKA, semua siswa kelas akhir wajib mengikuti ujian tanpa terkecuali. Hal ini memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan akademik mereka. Sementara itu, AN hanya melibatkan sampel peserta dari setiap sekolah. Misalnya, untuk jenjang SMA, hanya sekitar 45 siswa yang dipilih secara acak untuk mengikuti AN, sedangkan untuk SMP jumlahnya sekitar 30 siswa. Pendekatan sampling ini dilakukan karena AN bukanlah alat evaluasi individu, melainkan instrumen untuk menilai kualitas pendidikan secara keseluruhan di tingkat sekolah atau regional.

Melihat perbedaan-perbedaan ini, jelas bahwa TKA dan AN memiliki peran yang saling melengkapi dalam ekosistem pendidikan. TKA berfungsi sebagai alat evaluasi individual yang relevan dengan kebutuhan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, sementara AN menjadi alat pemetaan yang membantu pemerintah dan sekolah dalam merencanakan perbaikan mutu pendidikan. Bagi guru dan kepala sekolah, pemahaman yang mendalam tentang kedua sistem ini akan sangat membantu dalam mempersiapkan siswa menghadapi evaluasi, sekaligus memastikan bahwa proses belajar-mengajar di sekolah tetap berjalan optimal.

Pendekatan Evaluasi TKA

Salah satu perubahan signifikan dalam TKA adalah format soalnya. Jika UN kerap dikritik karena fokusnya pada hafalan rumus, definisi, atau fakta-fakta mati, TKA justru dirancang untuk mengukur kemampuan berpikir kritis, analitis, dan pemecahan masalah. Soal-soal dalam TKA akan lebih bervariasi dan kompleks, seperti soal berbasis studi kasus atau konsep mendalam yang membutuhkan pemahaman komprehensif. Misalnya, siswa tidak hanya diminta untuk menghafal rumus matematika, tetapi juga harus mampu menerapkannya dalam situasi nyata atau menyelesaikan masalah yang melibatkan analisis data. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kreatif, yang sangat dibutuhkan di era modern saat ini.

Selain itu, TKA juga menawarkan format fleksibel yang memberikan ruang bagi siswa untuk menunjukkan potensi mereka secara kreatif. Kemungkinan besar, TKA akan dilaksanakan menggunakan ujian berbasis komputer, yang memungkinkan soal-soal disajikan dalam bentuk interaktif dan dinamis. Format ini tidak hanya mempermudah proses penilaian, tetapi juga memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik bagi siswa. Selain ujian berbasis komputer, ada juga kemungkinan penggunaan evaluasi berbasis proyek. Dalam format ini, siswa dapat menyelesaikan tugas-tugas yang melibatkan eksplorasi ide, kolaborasi, dan aplikasi pengetahuan dalam konteks dunia nyata. Misalnya, siswa bisa diminta untuk membuat laporan penelitian sederhana, merancang solusi untuk masalah lingkungan, atau menyusun presentasi tentang topik tertentu. Dengan pendekatan ini, TKA tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga sarana untuk menggali bakat dan minat siswa secara lebih holistik.

Namun, meskipun konsep TKA telah dirancang dengan baik, detail format resmi masih dalam tahap kajian oleh Kementerian Pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan bahwa pelaksanaan TKA benar-benar sesuai dengan kebutuhan siswa, sekolah, dan masyarakat. Proses kajian ini melibatkan berbagai pihak, termasuk pakar pendidikan, guru, dan praktisi di lapangan, untuk memastikan bahwa format TKA dapat diterapkan secara efektif tanpa memberatkan siswa maupun sekolah. Meskipun detailnya belum sepenuhnya diumumkan, beberapa informasi awal menunjukkan bahwa TKA akan dirancang untuk mengakomodasi berbagai gaya belajar siswa, sehingga setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuan terbaik mereka.

Perubahan format soal dan fleksibilitas pelaksanaan TKA ini diharapkan dapat menghilangkan stigma negatif yang selama ini melekat pada sistem evaluasi nasional. Dengan pendekatan yang lebih mendalam dan kreatif, siswa tidak lagi merasa bahwa ujian adalah beban yang harus dihadapi dengan tekanan berlebih. Sebaliknya, TKA dapat menjadi alat untuk memotivasi siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran dan mengembangkan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa depan. Guru dan kepala sekolah memiliki peran penting dalam mempersiapkan siswa menghadapi TKA. Mereka perlu memastikan bahwa proses belajar-mengajar di sekolah tidak hanya berfokus pada pencapaian nilai, tetapi juga pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa.

Bagi guru dan kepala sekolah, kehadiran TKA adalah kesempatan untuk merevolusi cara pandang terhadap evaluasi pendidikan. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan mendalam, TKA dapat menjadi alat untuk mendorong inovasi dalam proses pembelajaran. Misalnya, guru dapat merancang kegiatan belajar yang lebih interaktif dan berbasis proyek, sehingga siswa terbiasa dengan format evaluasi yang akan mereka hadapi. Di sisi lain, kepala sekolah dapat memastikan bahwa fasilitas sekolah, seperti laboratorium komputer atau akses internet, siap mendukung pelaksanaan TKA berbasis teknologi.

Waktu Pelaksanaan TKA

Pengenalan Tes Kompetensi Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN) membawa sejumlah perubahan signifikan, salah satunya terkait waktu pelaksanaannya. Penentuan jadwal ini dirancang dengan cermat untuk memastikan bahwa TKA tidak hanya menjadi alat evaluasi yang efektif, tetapi juga relevan dengan kebutuhan siswa dan sekolah. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel, pelaksanaan TKA diharapkan dapat berjalan lancar tanpa mengganggu proses belajar-mengajar di sekolah.

Untuk jenjang SMA, SMK, dan MA, TKA akan mulai dilaksanakan pada November 2025, khususnya untuk siswa kelas 12. Pemilihan waktu ini bukan tanpa alasan. Hasil TKA diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu unsur penilaian dalam seleksi masuk perguruan tinggi, terutama jalur prestasi. Dengan pelaksanaan pada November, siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan ujian ini sebelum memasuki tahap akhir masa studi mereka. Hal ini memberikan waktu yang cukup bagi perguruan tinggi negeri untuk mempertimbangkan hasil TKA sebagai bagian dari proses seleksi masuk. Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi evaluasi akhir, tetapi juga alat yang mendukung transisi siswa ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

Sementara itu, untuk jenjang SD dan SMP, pelaksanaan TKA direncanakan dimulai pada tahun 2026. Meskipun bulan pelaksanaannya belum ditentukan secara pasti, ada kemungkinan TKA akan dilaksanakan pada November atau Juni, bergantung pada kalender akademik sekolah. Pemilihan waktu ini bertujuan agar TKA dapat diselaraskan dengan kebutuhan siswa dan sekolah. Misalnya, pelaksanaan pada Juni dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan hasil TKA sebagai salah satu pertimbangan dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Dengan begitu, TKA tidak hanya menjadi evaluasi formal, tetapi juga memiliki manfaat praktis bagi siswa dalam melanjutkan pendidikan mereka.

Agar pelaksanaan TKA dapat berjalan optimal, pemerintah menekankan pentingnya koordinasi dengan sekolah. Jadwal pelaksanaan TKA akan disesuaikan dengan kalender akademik masing-masing sekolah untuk memastikan bahwa ujian ini tidak mengganggu aktivitas belajar-mengajar. Guru dan kepala sekolah memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi terkait jadwal TKA kepada siswa dan orang tua. Selain itu, sekolah juga perlu mempersiapkan fasilitas yang diperlukan, seperti laboratorium komputer jika TKA dilaksanakan secara daring. Koordinasi ini menjadi kunci untuk memastikan bahwa pelaksanaan TKA dapat berjalan efektif dan memberikan hasil yang maksimal.

Dengan penjadwalan yang terencana, TKA diharapkan dapat menjadi alat evaluasi yang mendukung perkembangan siswa secara holistik. Waktu pelaksanaan yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan sekolah menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan bahwa TKA bukan sekadar ujian formal, tetapi juga sarana untuk membantu siswa mencapai potensi terbaik mereka. Bagi guru dan kepala sekolah, pemahaman yang baik tentang jadwal pelaksanaan TKA akan membantu mereka mempersiapkan siswa dengan lebih baik, sehingga evaluasi ini dapat memberikan manfaat nyata bagi semua pihak.

Melalui koordinasi yang baik antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, pelaksanaan TKA dapat menjadi langkah maju dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Semoga dengan penjadwalan yang tepat, TKA dapat menjadi alat yang mendukung pembelajaran yang lebih inklusif, adil, dan relevan bagi generasi masa depan.

Persamaan dan Perbedaan TKA dengan UN

Meskipun kedua sistem evaluasi ini memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengukur kemampuan siswa, ada sejumlah persamaan dan perbedaan mendasar yang patut dipahami oleh guru, kepala sekolah, dan pemangku kepentingan lainnya. Artikel ini akan membahas secara mendalam apa saja kesamaan dan perbedaan antara TKA dan UN, sehingga kita dapat melihat bagaimana transformasi ini membawa dampak positif bagi dunia pendidikan.

Salah satu persamaan utama antara TKA dan UN adalah bahwa keduanya tidak menentukan kelulusan siswa. Kelulusan tetap ditentukan oleh ujian sekolah, yang dilakukan melalui kombinasi nilai dari penilaian harian, ujian akhir sekolah, serta hasil TKA atau UN jika digunakan sebagai referensi. Dengan demikian, baik TKA maupun UN bukanlah momok yang harus dihadapi siswa untuk memperoleh ijazah. Kebijakan ini memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dalam menilai capaian siswa secara adil dan komprehensif. Guru dan kepala sekolah memiliki peran penting dalam memastikan bahwa penilaian dilakukan secara transparan dan sesuai dengan kemampuan siswa.

Namun, meskipun ada kesamaan, perbedaan utama antara TKA dan UN sangat signifikan. Salah satu perbedaan paling mencolok terletak pada pendekatan evaluasinya. UN selama ini sering kali dikritik karena fokusnya yang terlalu berorientasi pada hafalan dan fakta. Banyak siswa merasa bahwa UN hanya menguji kemampuan mereka untuk mengingat rumus, definisi, atau informasi tanpa benar-benar memahami konsep di baliknya. Sebaliknya, TKA dirancang untuk lebih menekankan pada kemampuan berpikir kritis dan analisis mendalam. Soal-soal dalam TKA tidak lagi hanya berupa pertanyaan langsung, tetapi juga berbasis studi kasus atau konsep kompleks yang membutuhkan pemahaman lebih holistik. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang relevan dengan kebutuhan dunia modern.

Selain itu, ada perbedaan mendasar dalam fungsi kedua sistem evaluasi ini. UN dulunya sering dianggap sebagai penentu kelulusan, sehingga menimbulkan tekanan psikologis yang besar bagi siswa. Banyak siswa merasa bahwa masa depan mereka bergantung sepenuhnya pada hasil UN, yang sering kali membuat mereka stres dan cemas. Di sisi lain, TKA tidak memiliki fungsi sebagai penentu kelulusan. Seperti disebutkan sebelumnya, kelulusan siswa tetap ditentukan oleh sekolah melalui ujian sekolah. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif yang melekat pada sistem evaluasi nasional dan memberikan ruang bagi siswa untuk menunjukkan potensi mereka tanpa rasa takut yang berlebihan.

Perbedaan lainnya terlihat dalam tujuan penggunaan hasil evaluasi. Hasil UN sering kali hanya digunakan sebagai alat ukur formal tanpa memberikan manfaat langsung bagi siswa. Sebaliknya, hasil TKA memiliki nilai praktis yang dapat digunakan siswa untuk melanjutkan pendidikan mereka. Misalnya, hasil TKA untuk siswa SMA/SMK dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi alat evaluasi, tetapi juga sarana untuk membuka peluang bagi siswa dalam mengejar pendidikan lebih tinggi.

Melihat persamaan dan perbedaan ini, jelas bahwa TKA merupakan langkah maju dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan relevan, TKA dapat menjadi alat untuk mengukur kemampuan siswa secara lebih mendalam tanpa memberikan beban berlebih. Bagi guru dan kepala sekolah, pemahaman yang baik tentang perbedaan ini akan membantu mereka mempersiapkan siswa menghadapi TKA dengan lebih percaya diri. Selain itu, kolaborasi antara sekolah dan pemerintah dalam implementasi TKA menjadi kunci untuk memastikan bahwa sistem ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi siswa dan dunia pendidikan secara keseluruhan.

Respons Publik dan Pemerhati Pendidikan

Rencana pemerintah untuk mengganti Ujian Nasional (UN) dengan Tes Kompetensi Akademik (TKA) pada tahun 2025 telah memicu berbagai tanggapan dari masyarakat, termasuk guru, orang tua, dan pemerhati pendidikan. Kebijakan ini menjadi sorotan karena dinilai sebagai langkah besar dalam transformasi sistem evaluasi pendidikan di Indonesia. Namun, bagaimana respons publik terhadap rencana ini? Apakah masyarakat siap menerima kebijakan baru ini, atau justru masih ada keraguan yang perlu dijawab?

Hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada Januari 2025 memberikan gambaran menarik tentang pandangan masyarakat terkait TKA. Dari hasil survei tersebut, sebanyak 50% responden mengaku belum mengetahui isu tentang TKA. Angka ini menunjukkan bahwa sosialisasi terkait kebijakan baru ini masih perlu ditingkatkan agar masyarakat, khususnya orang tua dan siswa, dapat memahami esensi serta manfaat dari TKA. Meskipun demikian, dari mereka yang sudah mengetahui isu ini, mayoritas responden ternyata cukup terbuka terhadap perubahan. Sebanyak 89,5% responden menyatakan dapat menerima rencana penerapan TKA dengan alasan bahwa UN atau TKA dapat memacu siswa untuk belajar lebih giat. Mereka melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dan membantu mereka mencapai prestasi akademik yang lebih baik.

Namun, tidak semua pihak sepakat dengan penerapan TKA. Sebanyak 9,3% responden menyatakan ketidaksetujuan mereka dengan beberapa alasan kuat. Salah satu kritik utama adalah bahwa sistem UN selama ini dianggap diskriminatif, terutama bagi siswa dari daerah terpencil atau keluarga kurang mampu yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya pendidikan. Selain itu, banyak responden juga menyoroti dampak negatif UN terhadap psikologis siswa. Tekanan yang dirasakan siswa untuk mendapatkan nilai tinggi sering kali membuat mereka stres dan cemas, bahkan hingga mengorbankan kesehatan mental mereka. Oleh karena itu, sebagian masyarakat khawatir bahwa TKA akan membawa beban serupa jika tidak dirancang dengan hati-hati.

Selain tanggapan dari masyarakat umum, suara dari para pemerhati pendidikan juga patut didengar. Salah satu yang vokal adalah Darmaningtyas, pemerhati pendidikan dari Taman Siswa. Ia menekankan pentingnya agar TKA tidak dijadikan penentu kelulusan siswa. Menurutnya, menjadikan TKA sebagai syarat kelulusan dapat membebani peserta didik secara mental. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan seperti ini berpotensi memberatkan perekonomian keluarga. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa UN sering kali memaksa orang tua untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk bimbingan belajar atau les privat demi membantu anak mereka menghadapi ujian. Jika TKA tidak dirancang dengan bijak, dampak serupa bisa saja terjadi, sehingga malah memperlebar kesenjangan pendidikan antara keluarga mampu dan kurang mampu.

Meski demikian, Darmaningtyas juga mengapresiasi upaya pemerintah untuk menghadirkan sistem evaluasi yang lebih fleksibel dan relevan. Ia menyarankan agar pelaksanaan TKA benar-benar difokuskan pada pengembangan kemampuan siswa secara holistik, bukan sekadar alat untuk mengejar angka-angka. Dengan pendekatan yang tepat, TKA dapat menjadi alat evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan akademik, tetapi juga mendorong siswa untuk berpikir kritis, analitis, dan kreatif.

Respon Penulis

Perubahan dari Ujian Nasional (UN) ke Tes Kompetensi Akademik (TKA) adalah langkah yang patut diapresiasi. Sebagai penulis, saya melihat bahwa kebijakan ini memiliki banyak manfaat yang dapat mendukung kemajuan pendidikan di Indonesia. Salah satu alasan utama saya mendukung penerapan TKA adalah karena sistem evaluasi ini dapat menjadi solusi untuk menciptakan standarisasi penilaian yang lebih valid dan reliable. Saat ini, sekolah-sekolah menggunakan nilai rapor sebagai salah satu acuan penilaian, tetapi sayangnya standar penilaian antar sekolah sering kali tidak sama. Hal ini membuat sulit bagi perguruan tinggi atau lembaga lain untuk membandingkan kemampuan siswa secara adil. Dengan adanya TKA, kita dapat memiliki parameter yang lebih konsisten dalam mengevaluasi kompetensi akademik siswa.

Selain itu, ketiadaan evaluasi bersifat nasional seperti UN dalam beberapa tahun terakhir ternyata berdampak pada menurunnya semangat belajar siswa. Banyak siswa merasa kurang termotivasi untuk belajar lebih giat karena tidak ada target evaluasi yang jelas. Evaluasi nasional seperti TKA dapat mengembalikan semangat kompetisi sehat di kalangan siswa, sehingga mereka lebih termotivasi untuk meningkatkan kemampuan akademik mereka. Namun, perlu dicatat bahwa TKA dirancang dengan pendekatan yang lebih fleksibel dibandingkan UN, sehingga tidak memberikan tekanan berlebih kepada siswa.

Salah satu keunggulan TKA yang saya apresiasi adalah sifatnya yang tidak wajib, yang memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih sesuai dengan rencana masa depan mereka. Misalnya, seorang siswa SMP yang tinggal dekat dengan SMA/SMK dan ingin masuk melalui jalur domisili tidak perlu mengikuti TKA. Namun, jika siswa tersebut ingin masuk melalui jalur prestasi, maka TKA menjadi syarat yang harus dipenuhi. Pendekatan ini sangat relevan dengan kebutuhan individual siswa, karena tidak semua siswa memiliki tujuan yang sama setelah lulus dari sekolah.

Hal serupa juga berlaku untuk siswa SMK. Jika seorang siswa SMK berniat langsung bekerja atau berwirausaha setelah lulus, maka ia tidak diwajibkan untuk mengikuti TKA. Namun, jika siswa tersebut berencana melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, maka TKA menjadi alat yang membantu menunjukkan kemampuan akademik mereka. Dengan demikian, TKA tidak hanya menjadi evaluasi formal, tetapi juga sarana bagi siswa untuk memetakan masa depan mereka sesuai dengan minat dan tujuan karier masing-masing.

Pendekatan fleksibel seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mempertimbangkan kebutuhan beragam siswa di Indonesia. TKA bukanlah beban tambahan, melainkan alat yang dapat digunakan siswa untuk mengeksplorasi potensi mereka secara optimal. Bagi guru dan kepala sekolah, kebijakan ini juga memberikan ruang untuk lebih fokus pada pengembangan karakter dan keterampilan siswa, karena TKA tidak lagi menjadi satu-satunya tolak ukur keberhasilan pendidikan.

Secara keseluruhan, saya sangat mendukung penerapan TKA sebagai pengganti UN karena kebijakan ini menawarkan solusi yang lebih adil, relevan, dan inklusif. Dengan pelaksanaan yang tepat, TKA dapat menjadi alat evaluasi yang tidak hanya mengukur kemampuan akademik, tetapi juga mendukung pengembangan potensi siswa secara holistik. Semoga melalui kolaborasi yang baik antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, TKA dapat menjadi langkah maju menuju pendidikan yang lebih berkualitas dan berorientasi pada masa depan.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMKN 10 Semarang daPenulis Buku Manajemen Mengelola Sekolah.

Buku yang sudah diterbitkan :

  1. Membangun Sekolah Rintisan Menjadi Sekolah Rujukan
  2. Membangun Sekolah Biasa Menjadi Luar Biasa
  3. Rahasia Membangun Sekolah Juara
  4. Kepala Sekolah yang Dirindukan
  5. Kiat Sukses Membangun Sekolah Unggul
  6. Pendekatan Deep Learning Dalam Pembelajaran

Sumber foto : https://www.antaranews.com/

3 Komentar

Lestari Ambar
Minggu, 9 Mar 2025

Kira-kira TKA ini mewajibkan penguasaan materi pembelajaran atau tidak ya pak. Jamak kita ketahui bahwa Kurmer tidak mewajibkan guru menuntaskan materi tetapi kompetensi sehingga saya sendiri tidak mengerjar materi harus tersampaikan kepada siswa nah kalau TKA itu nanti berbasis materi jadi blunder dong. Anak kesulitan mengerjakan alih-alih belum menerima materi yang diujikan.

Balas
Mohammad Yunan
Minggu, 9 Mar 2025

Mantap analisis nya Pak, TKA akan menjadi salah satu parameter bagi siswa dalam berkompetisi untuk menentukan pilihan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Balas
Sagendra
Minggu, 16 Mar 2025

Semoga TKA menjadi salah satu motivasi anak dalam belajar 😊

Joss Kakanda Sirojudin ❤

Balas

Beri Komentar

Tinggalkan Balasan ke Sagendra Batalkan balasan