Sabtu, 01-11-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Dewan Pendidikan Jateng Bahas Strategi Penanganan Anak Tidak Sekolah

Diterbitkan : - Kategori : Berita / Instansi Pemerintah

KUDUS — Upaya menekan angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi Jawa Tengah menjadi salah satu topik penting dalam kegiatan Jaring Aspirasi Pendidikan Dewan Pendidikan Jawa Tengah yang digelar di SMK Wisudha Karya Kudus, Senin (27/10/2025). Dalam sesi ketiga bertajuk Strategi Penanganan Anak Tidak Sekolah di Jawa Tengah, Dr. Jasman Indradno, M.Si. tampil sebagai narasumber utama yang memaparkan strategi komprehensif untuk memastikan seluruh anak usia sekolah dapat menikmati hak pendidikan mereka.

Dalam paparannya, Dr. Jasman menjelaskan bahwa penanganan ATS menjadi bagian tak terpisahkan dari misi besar pemerintah dalam menuntaskan Wajib Belajar 12 Tahun menuju 13 Tahun. “Anak Tidak Sekolah adalah wajah nyata dari ketimpangan akses pendidikan. Mereka adalah anak-anak yang belum pernah sekolah, putus di tengah jalan, atau sudah lulus tapi tidak melanjutkan. Tugas kita bersama adalah memastikan mereka kembali belajar di jalur formal maupun nonformal,” ujarnya dengan tegas.

Menurutnya, ATS diklasifikasikan dalam tiga kategori utama, yakni Belum Pernah Sekolah (BPB), Putus Sekolah (Drop Out/DO), dan Lulus Tapi Tidak Melanjutkan (LTM). Sasaran penanganan meliputi anak usia 7 hingga 18 tahun yang seharusnya masih mengikuti pendidikan dasar dan menengah. “Masalah ATS ini kompleks, tidak hanya karena faktor ekonomi, tapi juga sosial, budaya, bahkan psikologis,” tambahnya.

Tujuan utama strategi penanganan ATS, lanjut Dr. Jasman, adalah memastikan setiap anak tetap bersekolah atau kembali bersekolah, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau program kejar paket. Pemerintah juga berupaya mencegah putus sekolah baru dengan memperluas akses pendidikan yang inklusif dan ramah anak. “Kami ingin tidak ada lagi anak Jawa Tengah yang kehilangan kesempatan belajar hanya karena jarak, biaya, atau stigma sosial,” jelasnya.

Strategi umum yang diterapkan terbagi dalam dua pendekatan besar, yakni pencegahan dan pengembalian. Strategi pencegahan dilakukan melalui pendampingan anak berisiko putus sekolah (ABPS), pemberian beasiswa, transportasi gratis, serta layanan pendidikan inklusif. Sedangkan strategi pengembalian menekankan pada pendekatan personal agar anak yang sudah berhenti sekolah dapat termotivasi untuk kembali belajar. “Pendekatan kita harus manusiawi, tidak sekadar administratif. Kita ajak mereka bicara, pahami masalahnya, baru cari solusi bersama,” tutur Dr. Jasman.

Ia menjelaskan bahwa mekanisme penanganan ATS dilakukan dalam tiga tahap, yakni identifikasi, intervensi, dan pemantauan. Tahap identifikasi dilakukan untuk mengetahui siapa dan di mana anak-anak ATS berada, disertai klasifikasi penyebab mereka berhenti sekolah. Intervensi disusun berdasarkan akar masalahnya—mulai dari kesulitan ekonomi, pernikahan dini, hingga trauma akibat bullying. Sementara pemantauan dilakukan secara berkala untuk memastikan anak yang telah dikembalikan ke sekolah tetap bertahan.

Dr. Jasman juga menguraikan strategi khusus berdasarkan profil anak, termasuk pekerja anak, pernikahan remaja, anak berkebutuhan khusus (ABK), anak jalanan, dan santri di pondok pesantren salafiyah. Untuk anak pekerja, misalnya, pendekatan dilakukan dengan mendorong sistem belajar sambil kerja dan koordinasi dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Sedangkan bagi anak korban bullying, dilakukan pendampingan psikologis dan kemungkinan alih jalur ke pendidikan nonformal. “Setiap anak punya cerita, jadi pendekatannya pun harus berbeda. Tidak bisa diseragamkan,” katanya menekankan.

Salah satu tantangan yang dihadapi, ungkapnya, adalah santri di pesantren salafiyah yang belum memiliki izin formal, sehingga ijazah mereka tidak diakui secara administratif dan berpotensi dikategorikan sebagai ATS. “Ini perlu solusi kolaboratif antara Kementerian Agama, pemerintah daerah, dan pengelola pesantren agar para santri tetap tercatat dalam sistem pendidikan nasional,” jelasnya.

Dalam aspek kelembagaan, pemerintah daerah didorong untuk membentuk Tim Penanganan ATS di setiap kabupaten/kota dan satuan pendidikan. Tim ini terdiri atas unsur Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Dinas Dukcapil, Kemenag, Puskesmas, TNI/Polri, PKK, ormas, hingga swasta. Kolaborasi multisektor ini menjadi kunci untuk mempercepat penanganan anak putus sekolah secara terpadu.

“Pendekatan kita tidak bisa hanya sektoral. Penanganan ATS membutuhkan sinergi lintas lembaga, karena pendidikan bukan hanya urusan sekolah, tapi tanggung jawab bersama masyarakat,” ujarnya menegaskan.

Dalam hal teknologi dan data, Dr. Jasman menyoroti pentingnya pemanfaatan Dashboard ATS (https://pd.data.kemdikbud.go.id/ATS), serta sistem pendataan partisipatif seperti SIPBM (Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat). Data akurat menjadi dasar intervensi efektif, terutama dalam memastikan anak-anak yang teridentifikasi benar-benar mendapat layanan pendidikan sesuai kebutuhannya.

Beberapa daerah di Jawa Tengah disebut telah berhasil menjalankan inisiatif lokal dalam penanganan ATS. Di Kabupaten Brebes terdapat Gerakan Kembali Bersekolah (GKB), di Pekalongan Gerakan KUDU (Kudu Sekolah), di Jepara program Satu GTK Satu ATS, sementara di Purbalingga ada Tim GMPS (Mageh Padha Sekolah). Bahkan di Desa Cenang, Jepara, pemerintah desa memanfaatkan dana desa untuk membiayai PKBM dan menyediakan layanan antar-jemput siswa. “Langkah-langkah kreatif seperti ini perlu direplikasi di daerah lain. Bukti bahwa gotong royong masih menjadi kekuatan utama pendidikan kita,” ujar Dr. Jasman dengan apresiasi.

Ia juga menyinggung tantangan yang masih dihadapi Jawa Tengah, antara lain kurangnya SLB dan guru pendamping untuk ABK, ketidaksesuaian data NIK, serta rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan. “Kadang bukan anak yang menolak sekolah, tapi orang tuanya belum menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan anaknya. Karena itu, pendekatan sosialisasi dan edukasi keluarga juga sangat penting,” imbuhnya.

Menutup paparannya, Dr. Jasman menegaskan bahwa strategi penanganan ATS harus dilakukan secara personal, berbasis data, dan berkelanjutan. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan program satu tahun. Ini perjuangan panjang untuk memastikan setiap anak Jawa Tengah mendapat haknya untuk belajar dan bermimpi,” katanya penuh semangat.

Kegiatan Jaring Aspirasi Pendidikan yang difasilitasi Dewan Pendidikan Jawa Tengah ini menjadi wadah penting dalam menyerap gagasan dari berbagai kalangan untuk memperkuat kebijakan pendidikan daerah. Dengan kolaborasi pemerintah, sekolah, masyarakat, dan dunia usaha, Jawa Tengah diharapkan mampu menekan angka ATS secara signifikan dan memastikan tidak ada anak yang tertinggal dari hak pendidikannya.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Peserta Jaring Aspirasi Pendidikan Dewan Pendidikan

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan