Sabtu, 01-11-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Ikhtiar Meningkatkan Daya Baca Siswa SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang

Diterbitkan :

Di tengah derasnya arus informasi dan kemajuan teknologi, literasi menjadi salah satu kemampuan paling krusial yang menentukan kualitas generasi masa depan. Dunia pendidikan global menempatkan literasi sebagai indikator utama kecakapan abad ke-21, sejajar dengan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi. Namun, di balik gempita kemajuan digital, muncul paradoks yang tak bisa diabaikan: semakin mudah akses terhadap informasi, semakin dangkal pula kebiasaan membaca dan memahami makna secara mendalam.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia, termasuk di sekolah-sekolah yang telah mengintegrasikan teknologi digital dalam proses pembelajaran. SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang, sebagai salah satu sekolah berbasis digital, turut merasakan tantangan ini. Meski infrastruktur teknologi telah mumpuni dan akses terhadap informasi terbuka luas, tantangan justru bergeser pada aspek mentalitas dan kebiasaan siswa. Banyak siswa yang kini lebih terbiasa mencari jawaban instan melalui search engine atau bahkan memanfaatkan artificial intelligence seperti ChatGPT untuk menyelesaikan tugas, tanpa benar-benar memahami konteks dan isi bacaan.

Permasalahan utama yang muncul adalah rendahnya kemampuan membaca dan memahami teks panjang. Siswa cenderung merasa bosan saat berhadapan dengan bacaan lebih dari dua halaman, bahkan ketika teks tersebut sebenarnya menarik dan relevan. Kebiasaan ini memengaruhi daya analisis mereka dalam menjawab soal-soal berbasis teks, khususnya dalam mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia yang menuntut kemampuan memahami makna secara mendalam. Dalam jangka panjang, pola belajar semacam ini berpotensi menggerus daya pikir kritis dan reflektif, sebab siswa tidak terbiasa menelusuri makna, membandingkan gagasan, atau menyusun argumen dari hasil bacaannya sendiri.

Di sinilah pentingnya upaya menumbuhkan kembali semangat literasi — bukan hanya sebagai kegiatan membaca, tetapi sebagai budaya berpikir. SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang menyadari bahwa literasi bukan sekadar keterampilan akademik, melainkan fondasi bagi seluruh proses pembelajaran. Oleh karena itu, berbagai langkah nyata dilakukan untuk mengubah pola pikir siswa agar melihat literasi bukan sebagai beban, melainkan sebagai kebutuhan.

Salah satu akar permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah perubahan perilaku membaca di tengah gelombang digitalisasi. Dahulu, membaca buku fisik menjadi kegiatan utama untuk memperoleh pengetahuan. Kini, informasi hadir dalam bentuk scroll di layar, dengan potongan teks singkat, visual, dan video berdurasi pendek. Kemudahan ini di satu sisi mempercepat akses belajar, tetapi di sisi lain menurunkan kemampuan membaca mendalam (deep reading). Siswa terbiasa mengonsumsi informasi secara cepat, tanpa sempat merenungkan maknanya. Akibatnya, kemampuan berpikir kritis menurun karena proses reflektif yang menjadi inti dari kegiatan membaca tidak terjadi.

Gejala minimnya literasi tampak jelas dalam kegiatan belajar sehari-hari. Banyak siswa mengalami kesulitan memahami teks bacaan panjang, baik dalam bentuk soal, artikel, maupun bahan ajar. Mereka cenderung melewatkan konteks, salah menafsirkan isi, atau mengambil kesimpulan tanpa membaca tuntas. Minat membaca buku fisik pun semakin berkurang, tergantikan oleh timeline media sosial yang terus diperbarui. Sementara itu, ketergantungan pada teknologi membuat mereka lebih suka mencari “jawaban cepat” dibandingkan melalui proses berpikir. Ketika diberi tugas esai, beberapa siswa memilih menyalin jawaban dari internet atau memanfaatkan AI tools, tanpa melakukan proses analisis mandiri.

Situasi ini berdampak langsung pada hasil belajar. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, misalnya, kemampuan memahami teks bacaan kompleks menjadi tantangan besar. Siswa seringkali memahami sebagian kalimat, tetapi gagal menangkap makna keseluruhan. Akibatnya, hasil ujian berbasis bacaan panjang cenderung rendah. Namun, yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya nilai, melainkan hilangnya kebiasaan berpikir reflektif — kemampuan untuk menelaah, menimbang, dan mengolah informasi sebelum membuat kesimpulan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang meluncurkan serangkaian program strategis yang dirancang untuk membangun kembali budaya literasi di lingkungan sekolah. Program ini tidak hanya bersifat instruksional, tetapi juga inspiratif dan partisipatif. Langkah pertama yang diambil adalah mengubah mindset siswa: bahwa literasi itu perlu dan menyenangkan. Guru-guru di sekolah berupaya menanamkan kesadaran bahwa membaca bukanlah tugas semata, melainkan jalan untuk memahami dunia dan membuka peluang masa depan. Dalam setiap pertemuan, guru tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga mengaitkannya dengan pentingnya membaca untuk memahami kehidupan.

Sebagai langkah konkret, sekolah menerapkan program “Pinjam, Baca, Tulis.” Program ini menargetkan seluruh siswa kelas X dan XI agar terbiasa membaca secara mandiri. Setiap siswa diwajibkan meminjam satu buku dari perpustakaan sekolah setiap periode tertentu. Buku yang dipilih bebas — bisa berupa novel, biografi tokoh, buku motivasi, atau karya ilmiah populer — asalkan sesuai minat dan tingkat kemampuan membaca mereka. Setelah membaca, siswa diminta menulis ringkasan atau sinopsis dengan gaya bahasa sendiri. Tulisan itu kemudian dikumpulkan melalui link digital yang telah disediakan sekolah, sebagai bentuk integrasi literasi dan teknologi. Dengan cara ini, sekolah tidak menolak digitalisasi, melainkan memanfaatkannya untuk memperkuat literasi.

Selain itu, SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang juga mengintegrasikan kegiatan literasi dalam rutinitas sekolah. Pada jam pertama setiap pekan, misalnya, terdapat sesi khusus membaca selama 15–20 menit sebelum pelajaran dimulai. Dalam momen ini, seluruh siswa dan guru membaca buku masing-masing dalam suasana tenang. Kegiatan ini bukan sekadar simbolik, tetapi menjadi ruang pembiasaan yang konsisten. Sekolah juga menyelenggarakan pemilihan Duta Literasi Sekolah, yaitu siswa yang menjadi role model dan inspirator bagi teman-temannya. Mereka bertugas mempromosikan kegiatan membaca, mengelola pojok baca kelas, serta memimpin diskusi buku di sela-sela waktu istirahat.

Untuk memperkaya pengalaman literasi, sekolah secara berkala mengadakan lomba resensi buku, book talk, dan kegiatan “Pojok Baca Kelas” yang diinisiasi oleh siswa sendiri. Dalam pojok baca ini, setiap kelas memiliki rak kecil berisi koleksi buku hasil sumbangan bersama. Guru-guru berbagai mata pelajaran turut berperan dengan menyisipkan kegiatan literasi ke dalam pembelajaran mereka. Misalnya, guru matematika meminta siswa membaca artikel tentang penerapan logika dalam kehidupan nyata, atau guru biologi menugaskan resensi buku ilmiah populer. Dengan cara ini, literasi tidak lagi identik dengan Bahasa Indonesia, tetapi menjadi bagian dari seluruh proses belajar.

Tidak kalah penting, kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi pilar penguat keberhasilan program ini. Sekolah menyadari bahwa budaya membaca tidak bisa dibentuk hanya di dalam kelas. Oleh karena itu, guru mendorong orang tua untuk menyediakan waktu membaca bersama anak di rumah, serta memberikan apresiasi sederhana setiap kali anak menyelesaikan satu buku. Pendekatan ini menumbuhkan suasana positif di mana literasi menjadi kegiatan keluarga, bukan hanya tugas sekolah.

Seiring berjalannya waktu, perubahan mulai terlihat. Siswa yang sebelumnya enggan memegang buku kini mulai terbiasa membaca. Mereka menikmati proses menemukan cerita baru, ide baru, dan bahkan menulis pandangan mereka sendiri. Setiap bulan, sekolah menerima ratusan ringkasan buku dengan gaya penulisan yang beragam. Dari sanalah terlihat bahwa kemampuan menulis dan berpikir siswa ikut berkembang. Mereka belajar menyusun kalimat, memilih diksi, dan menyampaikan pendapat secara sistematis.

Dampaknya meluas hingga ke proses pembelajaran. Siswa menjadi lebih siap menghadapi soal-soal berbasis teks panjang, lebih teliti dalam memahami instruksi, dan lebih kritis dalam menganalisis argumen. Guru pun merasakan perubahan suasana di kelas: diskusi menjadi lebih hidup, pertanyaan siswa lebih berbobot, dan kemampuan mereka dalam menyampaikan ide meningkat.

Budaya literasi yang tumbuh di SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang kini mulai menjadi identitas sekolah. Di tengah gempuran teknologi digital, sekolah ini berupaya menunjukkan bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan nilai-nilai dasar pembelajaran. Justru dengan literasi, teknologi bisa dimanfaatkan secara lebih cerdas dan bertanggung jawab. Literasi melatih siswa untuk berpikir sebelum mengklik, membaca sebelum membagikan, dan menelaah sebelum mempercayai informasi.

Dalam jangka panjang, manfaatnya jauh lebih besar daripada sekadar peningkatan nilai akademik. Literasi membentuk siswa yang mampu berpikir kritis, analitis, dan reflektif. Mereka belajar menimbang informasi, memahami berbagai perspektif, serta mengembangkan empati dan kepekaan sosial. Generasi semacam inilah yang dibutuhkan di masa depan: generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga melek makna.

Dari semua upaya ini, satu hal menjadi kesimpulan penting: literasi bukan tanggung jawab guru Bahasa Indonesia semata, melainkan tanggung jawab seluruh ekosistem sekolah — guru, siswa, orang tua, dan lingkungan. Digitalisasi boleh maju, tetapi harus diimbangi dengan budaya membaca dan menulis yang kuat. Tanpa itu, kemajuan teknologi hanya akan menghasilkan generasi yang tahu banyak hal, tetapi memahami sedikit.

Sebagaimana pepatah bijak yang sering digaungkan di sekolah ini, “sesuatu bisa terbiasa lantaran harus dipaksa.” Membaca dan menulis mungkin terasa berat di awal, tetapi melalui kebiasaan yang berulang, ia akan menjadi bagian dari diri. Maka, mari bersama menyalakan semangat literasi — bukan hanya demi nilai, tetapi demi kemanusiaan dan masa depan bangsa. SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang siap menjadi pelopor sekolah Islam digital yang tidak kehilangan jati dirinya: sekolah yang cerdas, beradab, dan berbudaya literasi.

Penulis : Nourmalia Kusuma Wardani, S.Pd, Guru Bahasa Indonesia SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang