Matematika seringkali menjadi momok bagi banyak murid di sekolah. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, sebagian anak sudah menanamkan keyakinan bahwa pelajaran ini begitu rumit, penuh angka, simbol, dan rumus yang sulit dikuasai. Anggapan semacam ini tidak hanya hidup di kalangan murid, tetapi juga sering diwariskan oleh lingkungan sekitar, bahkan orang tua. Tidak jarang kita mendengar kalimat sederhana seperti “Saya dulu juga tidak bisa Matematika,” atau “Matematika memang sulit, wajar kalau kamu kesulitan.” Ucapan-ucapan ini, meskipun terlihat remeh, sering kali menjadi sugesti negatif yang semakin memperkuat keyakinan murid bahwa Matematika memang sulit untuk dikuasai.
Kenyataan ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan. Matematika sejatinya adalah ilmu yang hadir dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari menghitung uang belanja di pasar, menentukan waktu, mengukur luas tanah, hingga teknologi canggih yang kita gunakan sehari-hari. Namun, ketika murid sudah terlanjur memiliki mindset negatif sejak awal, proses pembelajaran menjadi jauh lebih berat. Mereka masuk kelas dengan perasaan was-was, takut salah, bahkan menolak mencoba. Inilah titik kritis yang perlu segera diubah: bagaimana menggeser pola pikir dari “Matematika itu sulit” menjadi “Matematika itu bisa dipahami.”
Mengapa banyak murid menganggap Matematika sulit? Salah satu akar masalahnya terletak pada persepsi umum bahwa Matematika bersifat abstrak dan menakutkan. Ketika murid menghadapi simbol-simbol seperti x, y, atau akar kuadrat, mereka langsung merasa asing, seolah-olah berhadapan dengan bahasa yang tidak dimengerti. Kurangnya penguasaan konsep dasar sejak awal juga memperburuk keadaan. Misalnya, murid yang belum benar-benar memahami arti penjumlahan dan pengurangan di kelas rendah akan kesulitan melangkah ke perkalian dan pembagian, apalagi ke persamaan linear atau trigonometri di jenjang lebih tinggi.
Selain itu, metode pengajaran yang masih terlalu menekankan hafalan rumus membuat Matematika semakin tampak kaku. Murid dipaksa mengingat formula tanpa benar-benar tahu makna dan kegunaannya. Akibatnya, ketika mereka berhadapan dengan soal cerita atau masalah kontekstual, mereka bingung harus menggunakan rumus yang mana. Ketidakmampuan menerjemahkan konsep abstrak ke dalam kehidupan sehari-hari membuat Matematika kehilangan relevansi di mata murid. Inilah yang melahirkan ketakutan, kejenuhan, dan bahkan penolakan.
Sebagai seorang pendidik, saya percaya bahwa Matematika tidak sulit jika kita mampu menanamkan pemahaman konsep sejak awal. Kuncinya adalah bagaimana guru dapat menerjemahkan bahasa Matematika ke dalam bahasa sehari-hari yang dekat dengan kehidupan murid. Misalnya, ketika menjelaskan pecahan, saya tidak langsung menuliskan angka di papan, tetapi membawa kue ke dalam kelas. Dengan membagi kue menjadi beberapa bagian, murid dapat melihat langsung bagaimana konsep pecahan bekerja. Hal sederhana ini membuat mereka mengerti bahwa “setengah” bukan sekadar simbol ½, melainkan benar-benar bagian dari sesuatu yang utuh.
Pendekatan ini saya terapkan secara konsisten. Setiap kali memperkenalkan topik baru, saya berusaha mencari contoh konkret dari kehidupan sehari-hari. Saat membahas persamaan linear, saya mengajak murid membayangkan mereka sedang berbelanja di warung: harga dua buah roti dan satu botol minuman berapa, lalu bagaimana jika ditambah atau dikurangi. Dengan begitu, simbol-simbol aljabar yang awalnya asing mulai terasa akrab, karena terhubung dengan pengalaman nyata. Saya juga mendorong mereka untuk berani bertanya dan berdiskusi tanpa takut salah. Di kelas saya, kesalahan bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan pintu untuk memahami lebih baik.
Perlahan, saya mulai melihat perubahan. Murid yang sebelumnya diam dan enggan mencoba soal, mulai berani mengangkat tangan. Mereka tidak lagi sekadar menghafal rumus, tetapi mencoba memahami logika di balik setiap langkah penyelesaian. Ketika berhasil menyelesaikan soal yang dulu dianggap sulit, wajah mereka memancarkan rasa percaya diri yang berbeda. Matematika yang semula dianggap menyeramkan kini mulai terasa menantang sekaligus menyenangkan.
Transformasi sikap ini semakin terlihat ketika guru BK di sekolah membagikan angket mengenai mata pelajaran favorit. Awalnya, saya menduga murid akan lebih memilih mata pelajaran yang ringan seperti Seni Budaya atau Olahraga. Namun, hasilnya mengejutkan. Dari angket tersebut, banyak murid menyebut bahwa Matematika kini menjadi pelajaran yang paling mereka sukai. Sebuah hasil yang jujur, lahir dari pengalaman nyata mereka di kelas, bukan karena paksaan. Tentu saja, ini menjadi momen yang sangat membahagiakan bagi saya sebagai guru. Perubahan ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan yang humanis, komunikatif, dan kontekstual mampu menggeser mindset murid dari takut menjadi cinta.
Keberhasilan ini juga menjadi refleksi bahwa pembelajaran tidak bisa hanya mengandalkan metode lama yang kaku. Guru dituntut untuk terus berinovasi, mencari cara baru agar materi pelajaran bisa lebih dekat dengan kehidupan murid. Dengan pendekatan yang tepat, murid bukan hanya mampu menyelesaikan soal, tetapi juga memahami bahwa Matematika adalah alat untuk berpikir logis, kritis, dan kreatif. Lebih dari itu, mereka belajar bahwa kesulitan bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan tantangan yang bisa dipecahkan.
Dari perjalanan ini, saya semakin yakin bahwa kunci utama keberhasilan pembelajaran Matematika bukan terletak pada kecerdasan semata, tetapi pada perubahan mindset. Ketika murid percaya bahwa mereka mampu, ketika mereka merasakan bahwa Matematika bisa dipahami, maka pintu menuju keberhasilan akan terbuka lebar. Tugas kita sebagai guru adalah menjadi jembatan, menghubungkan konsep abstrak dengan pengalaman nyata, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan memberi keberanian untuk mencoba.
Di akhir refleksi ini, saya ingin menegaskan bahwa pendekatan humanis dan komunikatif dalam pembelajaran Matematika adalah sebuah kebutuhan. Kita tidak boleh lagi menakut-nakuti murid dengan angka dan rumus, melainkan mengajak mereka untuk bermain dengan konsep dan logika. Harapan saya, semakin banyak guru yang mau mengubah pola pengajaran, sehingga semakin banyak pula murid yang berani jatuh cinta pada Matematika. Dunia pendidikan tidak akan berhenti menghadapi tantangan, tetapi dengan inovasi, empati, dan dedikasi, kita bisa mengubah sesuatu yang semula dianggap sulit menjadi pengalaman belajar yang penuh makna.
Mari kita bersama-sama menjadikan Matematika bukan lagi momok, melainkan sahabat yang menyenangkan. Dengan begitu, generasi yang kita didik tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh menghadapi tantangan kehidupan. Sebab pada akhirnya, pendidikan sejati bukan hanya soal transfer pengetahuan, melainkan menyalakan api keyakinan bahwa setiap murid mampu belajar, mampu berkembang, dan mampu meraih masa depan yang lebih baik.
Penulis : Markhamah, Guru Matematika SMPN 3 Pekuncen
