Kamis, 30-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Menyelamatkan Bahasa Ibu di Tengah Arus Zaman

Diterbitkan :

Dalam riuhnya arus modernisasi dan derasnya gelombang digitalisasi, bahasa-bahasa daerah di Indonesia kian menghadapi tantangan berat untuk tetap bertahan. Salah satunya adalah Bahasa Jawa—bahasa yang kaya akan nilai budaya, filosofi kehidupan, dan unggah-ungguh kesantunan yang luhur. Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi dan globalisasi yang membuka ruang komunikasi tanpa batas, penggunaan Bahasa Jawa di kalangan generasi muda justru semakin tergerus. Di berbagai sekolah, khususnya di tingkat SMA, fenomena ini semakin nyata: siswa cenderung lebih nyaman menggunakan Bahasa Indonesia bahkan Bahasa Inggris, sementara Bahasa Jawa perlahan tergeser dari ruang komunikasi sehari-hari.

Fenomena tersebut mencerminkan pergeseran sikap linguistik di kalangan Generasi Z, generasi yang tumbuh dengan gawai di tangan dan akses informasi global tanpa batas. Banyak di antara mereka yang merasa bahwa Bahasa Jawa adalah bahasa yang “kuno”, “sulit”, dan tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Tak sedikit yang beranggapan bahwa mempelajari Bahasa Jawa hanya sebatas memenuhi kewajiban kurikulum, bukan sebagai bentuk pelestarian warisan budaya. Padahal, di balik kata-kata halus dan tingkatan bahasa yang berlapis itu, tersimpan nilai-nilai luhur seperti tata krama, penghormatan, dan rasa empati—sesuatu yang justru sangat dibutuhkan di era serba cepat dan individualistis ini.

Bahasa, sebagaimana ditegaskan para ahli linguistik, bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga identitas. Ketika sebuah bahasa tidak lagi digunakan, maka perlahan ia akan kehilangan penuturnya dan akhirnya punah. Proses kepunahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dimulai dari hal sederhana: rasa enggan, malu, atau ketidakbiasaan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pelestarian Bahasa Jawa menjadi tanggung jawab bersama, baik guru, siswa, maupun orang tua. Sekolah, sebagai ruang pendidikan formal, memiliki peran strategis untuk menghidupkan kembali semangat berbahasa Jawa dengan pendekatan yang menyenangkan dan relevan bagi generasi masa kini.

Namun kenyataannya, di ruang kelas Bahasa Jawa, guru masih sering dihadapkan pada tantangan besar. Banyak siswa kesulitan memahami makna kata, struktur kalimat, hingga ragam tingkat tutur seperti ngoko, madya, dan krama. Tidak jarang, rasa takut salah membuat mereka lebih memilih diam daripada mencoba. Rasa malu ketika harus berbicara dalam Bahasa Jawa juga kerap muncul, terutama di lingkungan perkotaan yang lebih dominan menggunakan Bahasa Indonesia. Akibatnya, suasana pembelajaran menjadi pasif dan interaksi berbahasa terbatas hanya pada guru, bukan antarsiswa.

Kondisi ini menuntut guru untuk berpikir kreatif dalam menghidupkan kembali semangat siswa agar mau belajar dan berbahasa Jawa. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah strategi literasi Bahasa Jawa yang dikombinasikan dengan kegiatan menulis, menerjemahkan, dan praktik berbahasa melalui karya. Pendekatan ini berangkat dari prinsip sederhana: siswa akan mencintai bahasa ketika mereka merasa dekat, memahami maknanya, dan mampu menggunakannya dalam konteks nyata.

Strategi pertama adalah literasi Bahasa Jawa. Dalam kegiatan ini, guru mengajak siswa membaca teks-teks berbahasa Jawa secara rutin, baik berupa cerita pendek, parikan, geguritan, maupun berita berbahasa Jawa dari media daring. Tujuannya bukan hanya agar siswa mengenal kosakata baru, tetapi juga agar mereka terbiasa dengan struktur kalimat dan gaya tutur khas Bahasa Jawa. Setiap kali membaca, guru dan siswa berdiskusi mengenai makna kata yang sulit, konteks budaya, serta nilai moral yang terkandung dalam bacaan tersebut. Perlahan, kegiatan membaca ini menumbuhkan rasa akrab terhadap bahasa yang sebelumnya terasa asing.

Langkah kedua adalah kegiatan menulis dan menerjemahkan kosakata. Setiap pertemuan, siswa diminta menulis minimal lima kosakata baru yang mereka temukan dari bacaan, lengkap dengan arti dan contoh penggunaannya dalam kalimat. Dari kegiatan sederhana ini, terkumpullah ratusan kosakata yang kemudian disusun menjadi “kamus mini” pribadi setiap siswa. Kamus ini menjadi sarana belajar yang efektif karena lahir dari pengalaman langsung mereka, bukan sekadar hafalan dari buku teks. Dengan memiliki bank kosakata sendiri, siswa merasa memiliki “bekal” untuk berbicara dan menulis dalam Bahasa Jawa tanpa takut kehabisan kata.

Strategi berikutnya adalah praktik berbahasa melalui karya. Salah satu bentuknya adalah pembuatan geguritan atau puisi Jawa. Setelah memiliki cukup kosakata, siswa diajak mengekspresikan gagasan dan perasaannya dalam bentuk karya sastra. Aktivitas ini bukan sekadar latihan menulis, tetapi juga sarana untuk memahami keindahan dan kelenturan Bahasa Jawa. Melalui geguritan, siswa belajar memilih diksi yang tepat, memahami makna simbolik, dan mengekspresikan emosi dengan bahasa yang penuh rasa. Tak jarang, karya siswa yang sederhana justru mampu menggugah perasaan pembaca lain karena lahir dari pengalaman pribadi yang jujur dan tulus.

Hasil dari penerapan strategi ini cukup menggembirakan. Siswa yang sebelumnya kesulitan mengingat kosakata kini lebih percaya diri menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Mereka tidak lagi takut salah, karena tahu bahwa setiap kesalahan bisa diperbaiki dari catatan kosakata mereka. Dalam diskusi kelas, siswa mulai berani bertanya dan menjawab menggunakan Bahasa Jawa, bahkan saling mengoreksi dengan cara yang sopan. Pembelajaran pun menjadi lebih hidup, interaktif, dan menyenangkan.

Selain itu, kegiatan geguritan terbukti mampu memantik kreativitas siswa. Banyak dari mereka yang kemudian tertarik membaca karya sastra Jawa lainnya, seperti tembang macapat atau cerita rakyat. Siswa merasa bahwa Bahasa Jawa tidak sesulit yang dibayangkan, asalkan dipelajari dengan cara yang kontekstual dan relevan. Guru pun merasakan perubahan suasana kelas yang lebih positif—penuh canda, interaksi, dan semangat kebersamaan dalam melestarikan bahasa ibu.

Namun, proses ini tentu tidak berhenti di sini. Pelestarian Bahasa Jawa harus menjadi gerakan bersama yang melibatkan semua pihak. Sekolah berperan sebagai ruang praktik yang mendidik dan menyenangkan, sementara keluarga menjadi tempat pertama anak mengenal unggah-ungguh. Orang tua perlu diajak untuk menanamkan kebiasaan berbahasa Jawa sejak dini, setidaknya dalam percakapan ringan di rumah. Dengan demikian, Bahasa Jawa tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupkan dalam keseharian.

Selain itu, pemanfaatan media digital juga dapat menjadi langkah penting dalam mendukung pelestarian Bahasa Jawa. Dokumentasi praktik baik pembelajaran, seperti rekaman video geguritan, wawancara, atau drama pendek berbahasa Jawa, bisa diunggah ke media sosial sekolah. Hal ini tidak hanya menjadi bentuk apresiasi bagi siswa, tetapi juga menjadi inspirasi bagi sekolah lain. Di era content creation, Bahasa Jawa justru memiliki peluang besar untuk menjangkau generasi muda melalui media yang mereka sukai.

Pelestarian Bahasa Jawa sejatinya bukan sekadar upaya mempertahankan warisan masa lalu, melainkan bagian dari menjaga jati diri bangsa. Setiap kata, setiap ungkapan dalam Bahasa Jawa mengandung filosofi yang dalam tentang tata krama, kesopanan, dan rasa hormat—nilai-nilai yang menjadi fondasi peradaban Jawa selama berabad-abad. Jika nilai-nilai ini hilang, maka yang punah bukan hanya bahasanya, melainkan juga karakter luhur yang dikandungnya.

Kesimpulannya, Bahasa Jawa bukan hanya mata pelajaran di sekolah, melainkan cermin identitas budaya dan sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada generasi muda. Dengan strategi sederhana namun konsisten seperti literasi Bahasa Jawa, pencatatan kosakata, dan praktik berbahasa melalui karya, siswa dapat lebih mengenal, memahami, dan akhirnya mencintai bahasa ibu mereka sendiri. Ketika Bahasa Jawa kembali diucapkan dengan bangga oleh generasi muda, saat itulah kita telah mengambil langkah nyata dalam menjaga nyala budaya agar tidak padam ditelan waktu.

Harapannya, melalui kolaborasi antara guru, siswa, orang tua, dan lembaga pendidikan, Bahasa Jawa akan terus hidup dan berkembang. Bukan sebagai bahasa masa lalu, tetapi sebagai bahasa masa depan yang tetap relevan, indah, dan bermakna bagi generasi penerus bangsa.

Penulis : Ebta Hananingcaraka, Guru Bahasa Jawa SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang