Sabtu, 01-11-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Wujudkan Generasi Emas 2045, Dewan Pendidikan Jateng Bahas Wajib Belajar 13 Tahun di Forum Jaring Aspirasi Pendidikan

Diterbitkan : - Kategori : Berita / Instansi Pemerintah

KUDUS — Upaya mewujudkan pemerataan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia terus dilakukan pemerintah. Salah satu kebijakan strategis yang akan segera diterapkan adalah Program Wajib Belajar 13 Tahun, yang mulai diberlakukan pada tahun ajaran 2025/2026. Kebijakan nasional ini menjadi bahasan utama dalam sesi kedua kegiatan Jaring Aspirasi Pendidikan yang diselenggarakan oleh Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah di SMK Wisudha Karya Kudus, Senin (27/10/2025).

Sebagai narasumber, Prof. Dr. Rustono, M.Hum., menjelaskan bahwa perluasan wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun bukan sekadar penambahan masa studi, melainkan langkah strategis untuk membangun fondasi pendidikan yang lebih kuat sejak usia dini. “Program ini menempatkan satu tahun pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai fondasi utama, kemudian enam tahun SD, tiga tahun SMP, dan tiga tahun SMA atau SMK. Jadi, anak Indonesia mendapatkan 13 tahun pembelajaran bermakna untuk membangun karakter, keterampilan, dan daya saing,” ujarnya.

Menurut Prof. Rustono, tujuan utama kebijakan ini adalah memperkuat dasar pendidikan sejak dini, memastikan proses belajar lebih bermakna, serta mewujudkan pemerataan kesempatan bagi seluruh anak bangsa. “Selama ini kita masih terjebak dalam budaya belajar hafalan. Melalui Wajib Belajar 13 Tahun, pemerintah ingin menanamkan pembelajaran yang mendalam—deep learning—agar anak tidak hanya tahu, tapi juga paham, mampu berpikir kritis, dan mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata,” jelasnya.

Ia menambahkan, penguatan karakter menjadi salah satu manfaat penting dari program ini. Anak-anak akan dibiasakan untuk disiplin, menjaga kebersihan, beribadah tepat waktu, serta belajar mandiri sejak dini. Di PAUD, mereka dilatih keterampilan dasar seperti motorik halus dan kasar, sementara di jenjang berikutnya, siswa diajak memahami makna dari setiap proses belajar. “Karakter itu bukan hasil hafalan, tapi hasil kebiasaan yang ditanamkan terus-menerus sejak dini,” katanya.

Program Wajib Belajar 13 Tahun telah termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, dan mulai diterapkan pada tahun ajaran mendatang. Beberapa daerah, seperti Pekanbaru, bahkan sudah memulai sosialisasi awal. Implementasinya mengacu pada pembagian kewenangan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014, di mana pemerintah provinsi mengelola pendidikan menengah dan pendidikan khusus, sedangkan pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab atas pendidikan dasar dan PAUD.

“Pemda menjadi ujung tombak keberhasilan program ini. Mereka harus menyusun kebijakan daerah yang selaras dengan kebijakan nasional, memastikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) terpenuhi, dan mendorong partisipasi universal,” terang Prof. Rustono.

Namun, ia tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang dihadapi. Saat ini masih terdapat 321 kecamatan di 64 kabupaten/kota di 27 provinsi yang belum memiliki sekolah menengah pertama (SMP). Selain itu, 1,45 juta anak usia 13–15 tahun tercatat sebagai Anak Tidak Sekolah (ATS), sementara hasil studi internasional PISA menunjukkan bahwa 75 persen anak usia 15 tahun belum mencapai kompetensi literasi dasar.

“Data ini menunjukkan bahwa persoalan pendidikan kita bukan hanya soal akses, tapi juga kualitas. Banyak anak tidak sekolah karena faktor ekonomi, rendahnya motivasi, pengaruh lingkungan, hingga jarak sekolah yang jauh,” jelasnya sambil mengutip hasil studi meta-analisis nasional.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah menyiapkan enam strategi utama, antara lain memperluas akses pendidikan menengah, meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis literasi dan numerasi, memperkuat tata kelola, menggalakkan kampanye pentingnya pendidikan, melibatkan masyarakat, serta memanfaatkan teknologi digital.

Prof. Rustono mencontohkan beberapa praktik baik daerah yang sudah berhasil menekan angka ATS, seperti Gerakan Kembali Bersekolah (GKB) di Kabupaten Brebes, Gerakan Kudu Sekolah (KUDU) di Kabupaten Pekalongan, serta PORTAL ATS di Sulawesi Barat. “Program-program lokal ini membuktikan bahwa dengan kolaborasi lintas sektor—dinas pendidikan, pemerintah desa, TNI/Polri, ormas, hingga orang tua—anak-anak bisa kembali bersekolah,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa perencanaan penanganan ATS perlu dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pendataan, verifikasi, hingga pendampingan. “Data menjadi kunci utama. Karena itu, pemerintah menggunakan Dashboard ATS dan Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat (SIPBM) agar setiap anak yang putus sekolah dapat teridentifikasi dan dibimbing kembali ke bangku pendidikan,” paparnya.

Prof. Rustono menegaskan, Wajib Belajar 13 Tahun bukan hanya memperpanjang masa belajar, tetapi mengubah paradigma pendidikan nasional. “Program ini bukan sekadar kewajiban negara memberi sekolah gratis, melainkan komitmen kolektif membangun manusia Indonesia seutuhnya—cerdas, sehat, berkarakter, dan siap menghadapi dunia masa depan,” tegasnya.

Kegiatan Jaring Aspirasi Pendidikan di Kudus ini mendapat respons antusias dari peserta yang hadir. Para guru, kepala sekolah, dan tokoh masyarakat pendidikan menyampaikan pandangan dan usulan agar pelaksanaan program di daerah dapat berjalan efektif. Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Tengah pun menegaskan komitmennya untuk menjadi jembatan aspirasi antara masyarakat dan pemerintah.

Dengan berakhirnya sesi kedua Jaring Aspirasi, tersampaikan pesan penting bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Seperti disampaikan Prof. Rustono di akhir paparannya, “Wajib Belajar 13 Tahun adalah investasi masa depan. Kita sedang menanam benih untuk memetik buahnya pada tahun 2045—saat Indonesia mencapai masa keemasan dengan generasi yang unggul, berdaya saing, dan berakhlak mulia.”

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Peserta Jaring Aspirasi Pendidikan Dewan Pendidikan

0 Komentar

Beri Komentar

Balasan