Di era yang penuh tantangan seperti saat ini, dunia pendidikan dituntut untuk mampu mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan emosional. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (PAI BP) memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai moral, spiritual, dan sosial kepada peserta didik. Namun, pembelajaran agama sering kali masih bersifat hafalan, verbalistik, dan kurang menyentuh makna mendalam dari nilai-nilai yang diajarkan. Oleh karena itu, penting untuk menghadirkan pendekatan pembelajaran yang lebih menyentuh esensi pembelajaran mendalam atau deep learning.
Langkah pertama dan paling mendasar dalam pembelajaran mendalam adalah menghadirkan kondisi internal siswa dalam keadaan sadar bahwa mereka memang butuh untuk belajar. Seringkali kita mendapati siswa hadir secara fisik di kelas, tetapi secara mental mereka tidak benar-benar terlibat. Maka, sebagai pendidik, kita perlu menciptakan iklim belajar yang menumbuhkan kesadaran ini. Sebelum pembelajaran dimulai, guru dapat melakukan kegiatan mindful awareness sederhana. Misalnya, mengajak siswa untuk duduk tenang sejenak, mengambil napas perlahan, dan kemudian bertanya pada diri sendiri: “Apa yang akan saya pelajari hari ini dan mengapa itu penting bagi saya?” Pertanyaan reflektif ini sangat sederhana namun bisa menjadi pembuka kesadaran bahwa waktu belajar adalah waktu penting dan berharga yang tidak bisa diulang kembali. Guru kemudian memperkuat suasana ini dengan memberikan pengantar bahwa ilmu yang akan dipelajari bukan hanya untuk menjawab soal ujian, tetapi untuk menjawab pertanyaan hidup yang akan mereka hadapi di masa depan. Sebagai contoh:
“Anak-anak, kalian hidup di zaman yang penuh pilihan. Tapi apakah semua pilihan itu baik? Bagaimana kalian akan menentukan pilihan yang benar jika kalian tidak memiliki pengetahuan dan nilai yang membimbing? Di sinilah peran agama hadir, agar kalian tidak tersesat dalam banyaknya pilihan hidup.” Dengan kalimat seperti ini, guru membangun koneksi emosional antara siswa dengan tujuan belajar mereka. Setelah kesadaran dibangun, tahap berikutnya dalam pembelajaran mendalam adalah menghadirkan pertanyaan pemantik. Tujuannya adalah menggugah keingintahuan siswa dan mengaitkan materi dengan realitas hidup yang mereka hadapi. Misalnya, dalam materi tentang rezeki yang halal dan thayyib, guru bisa memulai dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak serta merta dijawab langsung oleh guru, tetapi dilemparkan untuk direnungkan oleh siswa. Guru bisa memberikan waktu satu atau dua menit untuk siswa menuliskan jawaban mereka di kertas kecil atau di buku catatan. Lalu, beberapa siswa diminta membagikan pandangannya di depan kelas. Diskusi seperti ini membangun keterlibatan kognitif dan afektif siswa sejak awal pembelajaran.
Di sinilah deep learning mulai bekerja, siswa tidak hanya mengetahui bahwa berbagi itu baik karena diberi tahu, tetapi mereka mulai mencari makna dan membentuk kesimpulan sendiri berdasarkan pemahaman dan perasaan mereka. Agar nilai-nilai yang diajarkan dalam PAI BP tidak berhenti di kepala, melainkan meresap ke dalam hati dan membentuk sikap, guru perlu menghadirkan pengalaman nyata dalam pembelajaran. Salah satu metode yang efektif adalah simulasi sederhana. Contoh konkret yang pernah saya dilakukan adalah dalam pembelajaran tentang konsep rezeki dan pentingnya berbagi. Guru memulai dengan membagikan lima permen kepada setiap siswa. Lalu, guru memberikan instruksi sederhana:
“Sekarang, kalian semua berdiri dan berjalan keliling kelas. Selama 3 menit ke depan, kalian harus memberikan permen kalian kepada teman sebanyak mungkin, tanpa meminta kembali. Kalian boleh menerima dari siapa saja. Lakukan dengan senyum dan salam.”
Siswa pun melaksanakan kegiatan ini dengan riang. Mereka bergerak, tertawa, menyapa teman, dan saling memberi. Setelah waktu habis, semua kembali ke tempat duduk. Kemudian, guru memberikan pertanyaan reflektif:
Dari diskusi ini, banyak siswa menyimpulkan sendiri bahwa:
Inilah esensi dari deep learning dalam PAI BP pembelajaran yang menyentuh hati, menggugah kesadaran, dan menumbuhkan perubahan sikap dari dalam diri siswa, bukan karena disuruh atau diminta, tapi karena mereka sendiri menemukan maknanya. Bagian penting dari pembelajaran mendalam adalah tahap refleksi. Setelah kegiatan dan diskusi berlangsung, guru mengajak siswa merenungkan proses belajar yang telah dilalui. Refleksi ini bisa dilakukan dalam bentuk tulisan singkat, diskusi kelompok, atau jurnal pribadi. Sebagai contoh, guru bisa meminta siswa menuliskan:
“Tuliskan satu hal baru yang kamu sadari hari ini dan bagaimana kamu akan menerapkannya dalam hidupmu.”
Jawaban siswa sering kali sangat menyentuh dan menggambarkan pemahaman mendalam mereka. Ada siswa yang menulis bahwa ia ingin lebih sering membantu adiknya di rumah, ada pula yang mengatakan bahwa ia ingin belajar lebih bersyukur atas apa yang dimilikinya. Selain itu, penilaian dalam pembelajaran mendalam tidak hanya berdasarkan ulangan atau tes pilihan ganda. Guru perlu menggunakan penilaian autentik, seperti portofolio, penilaian sikap, atau observasi terhadap partisipasi siswa dalam kegiatan. Meskipun pembelajaran mendalam sangat ideal, guru juga menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Beberapa di antaranya:
Namun, tantangan-tantangan ini bisa diatasi dengan strategi yang bijak, seperti:
Pada akhirnya, tujuan utama dari Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti adalah membentuk insan yang berakhlak mulia, beriman, dan memiliki kesadaran moral yang kuat dalam kehidupan. Pembelajaran deep learning adalah salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan luhur tersebut. Dengan menghadirkan pembelajaran yang dimulai dari kesadaran siswa, diperkuat dengan pertanyaan pemantik yang menggugah, dan ditutup dengan simulasi pengalaman yang menyentuh hati, maka pelajaran agama tidak lagi menjadi mata pelajaran yang membosankan, tetapi menjadi ruang penyadaran, pembentukan nilai, dan pembelajaran hidup yang sesungguhnya. Sebagai guru, kita tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menyalakan api kesadaran dalam diri siswa. Dan ketika siswa menemukan makna dalam apa yang mereka pelajari, maka itulah saat ketika pendidikan benar-benar hidup.
Penulis: Ajeng Virga Sawitri Maro.S.Pd.,M.Pd – Guru PAI SMKN 1 Pringapus