Sabtu, 18-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Dari Pronoun ke Pro-Skill, Mengasah Bahasa Inggris Lewat Pronoun dan Kisah Atlet Hebat

Diterbitkan :

Belajar bahasa selalu menjadi perjalanan yang penuh tantangan, apalagi ketika berbicara tentang detail tata bahasa yang sering dianggap rumit. Salah satunya adalah penggunaan pronoun atau kata ganti. Di era digital yang serba cepat, penggunaan pronoun yang tepat sangat penting, terutama ketika siswa diminta menulis teks deskriptif tentang tokoh atau idola mereka. Pronoun bukan sekadar detail teknis, melainkan kunci yang menentukan apakah tulisan menjadi jelas atau membingungkan.

Namun, realita di kelas sering kali berbeda dari harapan. Banyak siswa yang masih kebingungan membedakan pronoun sebagai subjek, objek, maupun kepemilikan. Ketika diminta menulis tentang atlet favorit, misalnya Lionel Messi atau Serena Williams, mereka kerap berhenti lama hanya untuk memastikan apakah harus menulis he, him, atau his. Kebingungan ini berdampak langsung pada kepercayaan diri. Alih-alih mengalir lancar, tulisan mereka terasa tersendat, dan semangat belajar pun ikut menurun.

Dalam konteks pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah menengah, kesalahan kecil semacam ini bisa menimbulkan efek berantai. Siswa yang ragu menggunakan pronoun akhirnya enggan mencoba menulis lebih panjang. Mereka takut salah, takut ditertawakan, atau sekadar malas karena merasa bahasa itu terlalu rumit. Maka tidak heran jika banyak yang hanya menulis satu atau dua kalimat seadanya ketika diberikan tugas menulis deskripsi.

Untuk itulah guru memiliki peran penting dalam mengubah kebingungan menjadi peluang belajar yang bermakna. Tujuan utama pembelajaran bukan hanya agar siswa hafal daftar pronoun, melainkan agar mereka mampu menggunakannya secara tepat dalam konteks nyata. Dalam teks deskriptif, misalnya, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi fungsi sosial dan unsur kebahasaan, sehingga mereka bisa menulis deskripsi yang jelas, padat, namun tetap menarik dibaca.

Jika tujuan ini tercapai, maka hasil pembelajaran bukan sekadar kumpulan kalimat, tetapi karya tulis yang merefleksikan pemahaman siswa. Bayangkan seorang siswa menulis tentang Greysia Polii: She is a great badminton player. Her achievement makes Indonesia proud. I like her because she is strong and humble. Kalimat sederhana ini bukan hanya benar secara tata bahasa, tetapi juga menunjukkan rasa bangga dan koneksi emosional siswa terhadap atlet idolanya.

Agar tujuan tersebut tercapai, guru bisa menggunakan strategi deep learning, sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam, keterkaitan dengan konteks nyata, serta refleksi yang berkesinambungan. Alih-alih sekadar memberikan daftar pronoun untuk dihafalkan, guru mengajak siswa masuk dalam proses belajar yang penuh makna.

Strategi deep learning dalam pembelajaran pronoun dapat dilakukan melalui tiga tahap utama: memahami, menerapkan, dan merefleksi. Pada tahap memahami, guru bisa menampilkan gambar atlet dunia yang sudah dikenal luas, seperti Lionel Messi, Serena Williams, atau Greysia Polii. Melalui diskusi ringan, siswa diajak mengenal kembali siapa mereka, apa prestasinya, dan bagaimana menuliskannya dalam bentuk deskripsi sederhana. Guru kemudian menyelipkan contoh penggunaan pronoun yang tepat, misalnya membedakan antara he is a football player dengan his jersey is number ten. Dengan cara ini, siswa langsung melihat fungsi pronoun dalam konteks yang dekat dengan kehidupan mereka.

Tahap kedua adalah menerapkan. Siswa diberi kesempatan menulis deskripsi tentang atlet favorit masing-masing dengan menggunakan pronoun yang tepat. Di sinilah mereka masuk ke dalam proses eksploratif: mencoba menulis, menemukan kesalahan, lalu memperbaikinya. Guru berperan sebagai fasilitator, memberikan arahan ketika siswa kebingungan, sekaligus mendorong mereka untuk berani mencoba. Salah dianggap bagian dari proses, bukan sesuatu yang harus ditakuti.

Setelah itu, pembelajaran dilanjutkan ke tahap refleksi. Karya siswa dibacakan atau ditampilkan di kelas, lalu bersama-sama dianalisis. Misalnya, seorang siswa menulis: He is Lionel Messi. Him play in Inter Miami. Guru dan teman-teman lain bisa membantu menunjukkan bahwa kata him tidak bisa digunakan sebagai subjek. Dari sini, siswa belajar memperbaiki kalimat menjadi He plays in Inter Miami. Refleksi semacam ini tidak hanya memperkuat pemahaman, tetapi juga membangun suasana kolaboratif di kelas. Siswa merasa bahwa belajar bahasa adalah perjalanan bersama, bukan perlombaan individu.

Dampak positif dari pembelajaran semacam ini dirasakan baik oleh guru maupun siswa. Bagi guru, pembelajaran menjadi lebih interaktif dan kontekstual. Guru tidak lagi harus mengulang-ulang aturan tata bahasa yang kaku, melainkan bisa melihat langsung pemahaman siswa melalui karya nyata. Hal ini memudahkan evaluasi sekaligus memberikan gambaran jelas tentang kemajuan kelas.

Sementara bagi siswa, manfaatnya jauh lebih besar. Mereka bukan hanya mampu menggunakan pronoun dengan tepat, tetapi juga merasa percaya diri menulis dalam Bahasa Inggris. Kosakata mereka bertambah, pemahaman struktur kalimat semakin kuat, dan yang terpenting, mereka merasakan bahwa belajar bahasa bisa menyenangkan. Tidak lagi ada rasa takut salah yang mengekang, melainkan keberanian untuk mencoba.

Efek jangka panjangnya pun signifikan. Kemampuan menggunakan pronoun secara benar tidak hanya berguna dalam teks deskriptif, tetapi juga dalam berbagai jenis teks lain, seperti narasi, laporan, hingga percakapan sehari-hari. Dengan penguasaan dasar yang kuat, siswa memiliki fondasi kokoh untuk melangkah lebih jauh dalam keterampilan berbahasa.

Pada akhirnya, belajar pronoun bukan sekadar soal hafalan. Ia adalah soal kemampuan menyampaikan cerita dengan jelas, efektif, dan penuh makna. Guru perlu memanfaatkan visual, relevansi konteks, dan kerja sama kelas untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih dalam. Seperti halnya seorang atlet yang terus berlatih untuk mencapai performa terbaik, siswa pun membutuhkan latihan berulang dengan bimbingan yang tepat agar terampil dalam menggunakan bahasa.

Belajar bahasa adalah tentang membangun jembatan komunikasi. Setiap kata, setiap kalimat, adalah bagian dari jembatan itu. Dengan pendekatan yang tepat, setiap siswa bisa belajar menyusun kata dengan percaya diri, sehingga cerita mereka—tentang idola, pengalaman, atau mimpi—dapat tersampaikan dengan jelas.

Maka, pesan inspiratif yang patut kita renungkan bersama adalah: “Dengan pendekatan yang tepat, setiap kata bisa menjadi jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam.” Guru memiliki peran kunci dalam membuka jalan ini, dan siswa adalah penjelajah yang akan menempuhnya. Dengan semangat kolaborasi, kreativitas, dan kesabaran, tantangan belajar pronoun bisa diubah menjadi pengalaman belajar yang menyenangkan sekaligus bermakna.

Penulis : Mulyati, Guru Bahasa Inggris SMA Negeri 1 Wedung Demak