Pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah proses yang menuntut guru untuk senantiasa adaptif terhadap dinamika perkembangan peserta didik. Setiap anak lahir dengan keunikan latar belakang, minat, kemampuan, dan gaya belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembelajaran tidak mungkin lagi dipaksakan secara seragam, sebab penyeragaman justru berpotensi mengabaikan potensi dan kebutuhan individu. Dalam konteks inilah strategi diferensiasi pembelajaran hadir sebagai sebuah pendekatan yang berupaya menghadirkan ruang belajar yang inklusif, bermakna, dan berpihak pada siswa. Artikel ini akan mengulas implementasi diferensiasi pembelajaran pada mata pelajaran Sosiologi kelas XII SMA, khususnya pada materi Permasalahan Sosial, dengan menggunakan model Project Based Learning (PjBL) sebagai wadah pembelajaran yang menekankan pada pengalaman belajar kontekstual.
Diferensiasi pembelajaran pada dasarnya adalah strategi yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan kesiapan, minat, serta profil belajarnya. Prinsip utama dari diferensiasi adalah pengakuan bahwa setiap siswa memiliki potensi yang dapat berkembang optimal apabila diberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Dalam mata pelajaran Sosiologi, pendekatan ini sangat relevan karena Sosiologi bukan hanya sekadar disiplin ilmu yang bersifat konseptual, melainkan juga erat kaitannya dengan realitas sosial sehari-hari yang dihadapi siswa. Fenomena sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, dan kriminalitas adalah contoh nyata dari permasalahan sosial yang bisa dijadikan bahan kajian dalam pembelajaran.
Dalam praktik diferensiasi, guru tidak lagi sekadar berperan sebagai penyampai informasi, melainkan lebih sebagai fasilitator yang menyiapkan lingkungan belajar agar siswa dapat mengeksplorasi pengetahuan, mengasah keterampilan berpikir kritis, sekaligus menghasilkan karya pembelajaran yang kontekstual. Materi permasalahan sosial dipilih karena bersifat aktual, dekat dengan kehidupan siswa, serta kaya akan fenomena yang bisa dikaji dengan berbagai pendekatan. Dengan demikian, proses belajar tidak hanya menekankan hafalan konsep, tetapi juga menumbuhkan kepedulian, empati, serta keterampilan menganalisis.
Rencana pembelajaran pada materi permasalahan sosial ini disusun dengan mengacu pada tujuan pembelajaran yang menekankan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi berbagai bentuk permasalahan sosial di masyarakat, melakukan pengamatan, serta mengkaji faktor penyebab dan dampaknya. Lebih jauh lagi, siswa juga diharapkan dapat menyajikan hasil kajiannya dalam berbagai bentuk produk sesuai dengan minat serta gaya belajarnya, misalnya video, poster, laporan tertulis, atau presentasi digital. Dengan demikian, tujuan pembelajaran bukan hanya berorientasi pada pemahaman konsep, tetapi juga pada keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills atau HOTS), keterampilan kolaborasi, dan kreativitas siswa.
Implementasi diferensiasi dalam pembelajaran ini dijalankan melalui tiga aspek utama, yakni konten, proses, dan produk. Diferensiasi konten diwujudkan dengan menyajikan materi dalam berbagai format agar sesuai dengan beragam gaya belajar siswa. Guru menghadirkan materi berupa audio seperti rekaman suara, visual berupa PowerPoint yang dilengkapi gambar dan video, serta media cetak seperti poster yang dipasang di dinding kelas. Siswa dengan gaya belajar auditori, visual, maupun kinestetik dapat terfasilitasi melalui variasi konten ini. Pada aspek diferensiasi proses, guru memberikan ruang kepada siswa untuk menempuh langkah belajar sesuai dengan kesiapan dan kebutuhannya. Proses pengerjaan proyek dilakukan dengan bimbingan yang fleksibel, baik secara personal maupun kelompok. Bahkan, kolaborasi ditumbuhkan melalui peran tutor sebaya, di mana siswa yang lebih paham membantu teman-temannya yang masih kesulitan. Guru tidak menuntut keseragaman langkah, melainkan mendukung keberagaman cara belajar. Sementara pada aspek diferensiasi produk, hasil pembelajaran diwujudkan dalam proyek yang beragam sesuai minat siswa. Ada yang membuat video dokumenter tentang kenakalan remaja, ada pula yang merancang poster kampanye anti-narkoba, menulis laporan analisis kemiskinan, atau membuat presentasi digital tentang kriminalitas. Kebebasan ini memberi ruang bagi siswa untuk menyalurkan kreativitas sekaligus mendalami isu yang mereka minati.
Model pembelajaran yang dipilih dalam praktik ini adalah Project Based Learning (PjBL). Pemilihan model ini sangat tepat karena selaras dengan karakter mata pelajaran Sosiologi yang menuntut keterlibatan aktif siswa dalam mengamati, menganalisis, dan mencari solusi atas fenomena sosial di sekitarnya. PjBL sendiri memiliki tahapan pembelajaran yang sistematis, dimulai dari pemberian pertanyaan mendasar, perencanaan proyek, penyusunan jadwal, monitoring, uji coba produk, hingga evaluasi. Pada tahap pemberian pertanyaan mendasar, guru mengawali pembelajaran dengan memunculkan isu sosial yang dekat dengan kehidupan siswa, misalnya kenakalan remaja, pengangguran, kemiskinan, atau kriminalitas. Isu-isu tersebut menjadi titik awal bagi siswa untuk berpikir kritis dan merumuskan pertanyaan penelitian sederhana. Pada tahap perencanaan proyek, siswa diberi kebebasan memilih isu yang mereka minati, kemudian menyusun rencana kerja sesuai dengan kesiapan masing-masing. Tahap berikutnya adalah penyusunan jadwal, di mana guru dan siswa bersama-sama menyepakati tenggat waktu pengerjaan proyek agar pengelolaan waktu tetap terarah. Pada tahap monitoring, guru mendampingi perkembangan proyek, memberikan umpan balik, serta mendorong siswa untuk saling membantu melalui mekanisme tutor sebaya. Pada tahap uji coba produk, siswa mengunggah hasil karya mereka, misalnya melalui grup WhatsApp kelas, sehingga guru dan teman-teman sekelas dapat memberikan apresiasi sekaligus masukan. Terakhir, pada tahap evaluasi, proyek dinilai berdasarkan sistematisasi isi, keakuratan data, penggunaan bahasa yang sesuai kaidah, serta ketepatan waktu pengumpulan.
Penilaian dalam pembelajaran ini mencakup tiga aspek, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian sikap dilakukan melalui observasi selama proses pembelajaran, dengan indikator seperti kerja sama, kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Penilaian pengetahuan diukur melalui kuis dengan soal esai analitis yang menuntut siswa menjelaskan faktor penyebab serta dampak dari permasalahan sosial. Sementara itu, penilaian keterampilan difokuskan pada kualitas produk proyek yang dihasilkan, mencakup aspek sistematisasi isi, akurasi data, ketepatan penggunaan bahasa, serta kedisiplinan dalam menyerahkan tugas. Dengan demikian, penilaian tidak hanya berfungsi sebagai instrumen pengukur hasil belajar, melainkan juga sebagai bagian dari proses pembelajaran itu sendiri, sesuai dengan prinsip assessment as learning.
Refleksi dari pelaksanaan pembelajaran dengan strategi ini menunjukkan dampak yang positif. Siswa mendapatkan pengalaman belajar yang lebih bermakna karena mereka tidak hanya memahami konsep permasalahan sosial secara teoritis, tetapi juga mampu menghubungkannya dengan realitas kehidupan di sekitar mereka. Melalui proyek yang sesuai dengan minat dan gaya belajar masing-masing, siswa menjadi lebih termotivasi, aktif, dan kreatif. Dari sisi guru, strategi ini membantu mengakomodasi keberagaman kelas. Siswa yang biasanya pasif justru terdorong untuk berani menyampaikan ide karena diberi ruang untuk mengekspresikan diri dengan cara yang mereka sukai. Interaksi melalui tutor sebaya juga memperkuat rasa empati, meningkatkan kolaborasi, serta menumbuhkan solidaritas sosial.
Pada akhirnya, implementasi diferensiasi dalam pembelajaran Sosiologi dengan model Project Based Learning memperlihatkan bahwa strategi ini mampu menciptakan suasana belajar yang inklusif, menyenangkan, dan kontekstual. Siswa tidak hanya belajar memahami permasalahan sosial dari sudut pandang konseptual, tetapi juga dilatih untuk berpikir kritis, bekerja sama, serta menghasilkan karya yang kreatif dan relevan dengan kehidupan nyata. Keberhasilan strategi ini terletak pada kemampuan guru untuk memetakan kebutuhan, minat, serta kesiapan siswa, kemudian menyesuaikannya dengan konten, proses, dan produk pembelajaran. Dengan demikian, diferensiasi pembelajaran bukan sekadar strategi teknis, melainkan jalan menuju pendidikan yang berpihak pada murid sekaligus membekali mereka dengan keterampilan hidup abad ke-21.
Penulis : Lilis Sumantri, S.Sos., Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Mojolaban Sukoharjo