Sabtu, 18-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

“Ini Wadahku, Mana Wadahmu” Sebagai Transformasi Menuju Sekolah Adiwiyata Nasional

Diterbitkan :

Sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat transfer pengetahuan, melainkan juga ruang pembentukan karakter dan lingkungan hidup yang menumbuhkan kebiasaan baik. Dalam keseharian, sekolah menjadi rumah kedua bagi murid, tempat mereka belajar bukan hanya tentang pelajaran akademik, tetapi juga tentang hidup bersih, sehat, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Lingkungan sekolah yang sehat akan melahirkan generasi yang sehat, sementara kebiasaan sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya dapat membentuk kepribadian yang peduli terhadap kebersihan dan keberlanjutan.

Namun, mewujudkan sekolah yang bersih dan sehat bukanlah perkara mudah. Tantangan nyata di lapangan menunjukkan bahwa kesadaran murid terhadap kebersihan lingkungan masih sering diabaikan. Banyak sekolah menghadapi persoalan sampah yang seolah tidak ada habisnya. Meskipun berbagai peraturan dan imbauan sudah disampaikan, kebiasaan buruk masih berulang. Di sinilah pentingnya sekolah sebagai agen perubahan budaya, tempat murid belajar disiplin dalam tindakan nyata menjaga lingkungan.

Konteks ini sangat relevan dengan perjalanan SMP Negeri 1 Kedungbanteng, Banyumas, yang kini sedang memantapkan langkah menuju predikat Sekolah Adiwiyata tingkat nasional. Gelar tersebut bukan sekadar penghargaan simbolis, melainkan pengakuan bahwa sekolah berhasil menanamkan nilai kepedulian lingkungan ke dalam kehidupan sehari-hari warganya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan terobosan yang tidak hanya bersifat instruktif, tetapi juga membentuk kebiasaan positif yang melekat kuat dalam diri murid.

Masalah lingkungan yang dihadapi sekolah ini cukup kompleks. Murid masih sering membuang sampah sembarangan. Pemandangan sampah yang menumpuk di depan kelas menjadi hal yang mengganggu, belum lagi gelas plastik dari kantin berserakan di taman, merusak keindahan dan menimbulkan kesan jorok. Pedagang kantin pun turut mengeluhkan kebiasaan murid yang tidak mengembalikan wadah makanan. Situasi semakin diperburuk dengan masih digunakannya wadah sekali pakai seperti kertas minyak atau styrofoam yang jelas menambah volume sampah. Di sisi lain, fasilitas pemilahan sampah masih minim, dan sekolah belum memiliki gerobak pengangkut yang memadai untuk mendukung pengelolaan sampah secara berkelanjutan.

Persoalan itu menuntut solusi yang inovatif sekaligus membumi. Maka lahirlah sebuah program unik dengan nama sederhana namun penuh makna: “Ini Wadahku, Mana Wadahmu.” Program ini digagas melalui kolaborasi Tim Adiwiyata dan Tim K8 sebagai jawaban atas masalah nyata yang dihadapi sekolah. Ide dasarnya sederhana: setiap murid dibiasakan membawa wadah makan dan minum sendiri dari rumah. Dengan cara ini, penggunaan wadah sekali pakai dapat ditekan, kebersihan lingkungan lebih terjaga, dan pada saat yang sama murid belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Program ini tidak lahir begitu saja. Perumusannya melibatkan koordinasi intensif dengan kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan. Kepala sekolah memahami bahwa sebuah kebijakan baru hanya akan berhasil jika dilaksanakan dengan dukungan penuh dari seluruh warga sekolah. Oleh karena itu, langkah awal yang ditempuh adalah membangun komitmen bersama. Selain itu, kemitraan dengan puskesmas setempat juga dijalin untuk memberikan edukasi mengenai pentingnya makanan sehat dan lingkungan sehat. Kehadiran pihak medis ini memperkuat argumen bahwa kebersihan bukan sekadar estetika, tetapi juga berkaitan erat dengan kesehatan fisik dan mental murid.

Strategi implementasi program disusun secara terperinci. Pertama, sekolah mengirimkan surat pemberitahuan kepada orang tua murid. Surat ini tidak hanya berisi imbauan, tetapi juga ajakan agar orang tua mendampingi anaknya membawa wadah makan dan minum sendiri. Dengan begitu, kebiasaan ini tidak hanya terbangun di sekolah, tetapi juga mendapat dukungan dari keluarga.

Kedua, sekolah membuat kesepakatan dengan pedagang kantin. Mereka tidak lagi menyediakan wadah sekali pakai, baik itu kertas minyak maupun styrofoam. Aturan ini diperkuat dengan ketentuan bahwa pedagang tidak akan melayani murid yang tidak membawa wadah sendiri. Awalnya memang muncul protes kecil dari sebagian murid, namun dengan sosialisasi yang intensif, mereka mulai memahami dan terbiasa.

Ketiga, sosialisasi program dilakukan secara rutin dalam setiap upacara bendera maupun saat pembinaan di kelas oleh wali kelas. Pesan mengenai pentingnya kebersihan lingkungan dan kebiasaan membawa wadah disampaikan berulang-ulang agar menancap kuat dalam kesadaran murid. Tidak hanya itu, wali kelas juga diberi tugas melakukan pemantauan harian untuk memastikan setiap murid benar-benar membawa wadah sendiri. Langkah ini sederhana, tetapi konsistensi dalam pelaksanaannya menjadi kunci keberhasilan.

Hasil dari program “Ini Wadahku, Mana Wadahmu” mulai terlihat dalam waktu relatif singkat. Volume sampah di lingkungan sekolah menurun secara signifikan. Area depan kelas yang dulu sering dipenuhi sampah kini terlihat jauh lebih bersih. Taman sekolah pun lebih rapi karena tidak lagi dipenuhi gelas plastik sekali pakai. Pedagang kantin pun merasa terbantu karena tidak lagi harus menyediakan wadah tambahan, sementara murid terbiasa menjaga dan mengembalikan wadah yang digunakan.

Lebih dari sekadar mengurangi sampah, program ini berhasil menumbuhkan kesadaran murid tentang pentingnya kebersihan dan tanggung jawab pribadi. Membawa wadah sendiri bukan lagi dianggap sebagai kewajiban yang memberatkan, tetapi telah berubah menjadi budaya positif. Murid merasa bangga ketika membawa wadah yang bersih dan menarik, bahkan sebagian menjadikannya ajang kreativitas dengan menghias wadah masing-masing. Dari kebiasaan sederhana itu, lahir karakter disiplin, tanggung jawab, dan kepedulian yang akan berguna sepanjang hidup mereka.

Lingkungan sekolah pun berubah drastis. Suasana belajar menjadi lebih sehat, bersih, dan menyenangkan. Tidak ada lagi aroma tidak sedap dari tumpukan sampah. Murid lebih betah berada di sekolah karena ruang belajar dan area sekitar terasa lebih tertata. Guru pun merasakan dampak positifnya, karena suasana kelas yang bersih turut mendukung proses pembelajaran yang lebih nyaman.

Refleksi dari program ini menunjukkan bahwa perubahan budaya di sekolah hanya bisa terwujud melalui konsistensi dan kolaborasi. Tanpa dukungan dari semua pihak, mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, murid, orang tua, hingga pedagang kantin, program ini tidak mungkin berjalan. Keberhasilan “Ini Wadahku, Mana Wadahmu” menunjukkan bahwa sekolah mampu menjadi motor penggerak perubahan lingkungan jika semua komponen bersatu.

Lebih jauh, program ini layak dijadikan model praktik baik bagi sekolah lain. Masalah sampah adalah persoalan universal, dan solusi berbasis perubahan kebiasaan memiliki potensi besar untuk ditiru di berbagai tempat. Dengan gerakan sederhana namun konsisten, sekolah-sekolah lain bisa menekan volume sampah sekaligus membentuk karakter murid yang peduli lingkungan.

Jika kebiasaan membawa wadah sendiri tertanam sejak SMP, maka ketika mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, budaya itu sudah mendarah daging. Dengan demikian, sekolah bukan hanya mencetak generasi cerdas, tetapi juga generasi yang berkarakter kuat, peduli, dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan lingkungan.

Pada akhirnya, sekolah yang bersih dan sehat bukan hanya tentang prestasi Adiwiyata atau penghargaan semata, melainkan tentang warisan karakter yang diberikan kepada generasi mendatang. Program “Ini Wadahku, Mana Wadahmu” adalah bukti nyata bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil. Dari wadah sederhana yang dibawa setiap hari, lahirlah generasi yang siap menjaga bumi dengan kesadaran dan tanggung jawab.

Penulis : Titi Kurniati, S.Pd.,M.Pd., Guru SMPN 1 Kedungbanteng, Banyumas/Tim Adiwiyata Sekolah