Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan puncak pembelajaran bagi siswa kejuruan, termasuk jurusan pemasaran. Di sinilah siswa menguji semua teori yang mereka pelajari di kelas dengan pengalaman nyata di dunia kerja. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan sisi lain yang kurang ideal. Banyak siswa merasa cemas, ragu, bahkan takut saat harus berinteraksi langsung dengan konsumen atau menghadapi situasi jual-beli yang sesungguhnya. Kondisi ini menjadi tantangan serius yang mempengaruhi keberhasilan PKL, khususnya bagi siswa jurusan pemasaran yang sejatinya dituntut memiliki kepercayaan diri tinggi dan kemampuan komunikasi yang mumpuni.
Di berbagai sekolah, fenomena rendahnya kepercayaan diri siswa saat PKL hampir menjadi cerita yang berulang. Siswa lebih banyak memilih untuk berada di belakang meja atau hanya mengerjakan tugas administrasi daripada mengambil peran aktif dalam promosi atau penjualan produk. Mereka kerap merasa takut ditolak saat menawarkan barang, malu saat harus presentasi di hadapan pelanggan, atau bingung memulai percakapan dengan calon pembeli. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih diam atau menyerah sebelum mencoba.
Mengapa kondisi ini terjadi? Ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Pertama, siswa minim pengalaman praktik langsung di luar sekolah. Kedua, lingkungan belajar yang ada di sekolah masih banyak berfokus pada teori, sementara penguatan mental dan keberanian berinteraksi belum mendapat porsi yang memadai. Ketiga, sebagian besar sekolah belum memiliki program persiapan mental yang sistematis sebelum siswa terjun ke dunia usaha dan industri.
Permasalahan ini tentu tidak bisa dibiarkan. Keberhasilan PKL bukan hanya diukur dari kehadiran siswa di tempat praktik, tetapi juga dari keberanian dan kemandirian mereka dalam menghadapi tantangan nyata di lapangan. Oleh karena itu, perlu dirancang strategi bertahap yang tidak hanya membekali siswa dengan keterampilan teknis, tetapi juga membangun kepercayaan diri mereka secara bertahap sebelum menghadapi situasi nyata di PKL.
Langkah awal untuk menanamkan jiwa wirausaha pada siswa sebenarnya bisa dimulai dari aktivitas yang sangat sederhana, namun sarat makna. Salah satunya adalah dengan melaksanakan praktik penjualan di lingkungan sekolah. Di sekolah kami, langkah ini dilakukan melalui kerja sama dengan pelaku UMKM yang menyediakan jajanan dan snack sebagai produk awal yang dijual siswa. Untuk memperkaya pengalaman mereka, kami juga menjalin kolaborasi dengan PT. Dua Kelinci untuk produk makanan, serta PT. Bina Karya Prima yang menyediakan produk non-makanan seperti sabun Zen. Meski tampak sepele, aktivitas ini menjadi pintu masuk yang efektif bagi siswa untuk menyelami dunia penjualan secara langsung.
Di sinilah siswa mulai berani melangkah keluar dari zona nyaman mereka. Mereka belajar bagaimana memulai percakapan, menawarkan produk secara langsung kepada teman sebaya, guru, atau staf sekolah. Lebih dari sekadar jual beli, momen ini menjadi ajang belajar tentang bagaimana membangun rasa percaya diri, mengatasi kegugupan, sekaligus mengasah kemampuan membaca situasi sosial. Mereka berlatih memilih kata-kata yang tepat, membangun narasi yang menarik, hingga bernegosiasi dengan pembeli yang mungkin menolak atau mengkritisi produk yang mereka tawarkan. Dari proses yang tampak sederhana ini, pelajaran penting tentang komunikasi persuasif, empati, dan kesabaran mulai tertanam dalam diri mereka.
Setelah merasa cukup percaya diri di lingkungan internal, siswa pun didorong untuk melangkah ke tahap yang lebih menantang: praktik penjualan door to door. Pada tahap ini, siswa diminta membawa produk-produk dari UMKM atau proyek Prakerin untuk dijual langsung ke rumah-rumah warga di sekitar sekolah. Suasana yang lebih nyata dan penuh dinamika membuat pengalaman ini terasa berbeda. Siswa kini dihadapkan pada situasi di mana mereka harus berbicara dengan orang asing yang sama sekali belum mereka kenal. Mereka belajar menyesuaikan gaya bicara, mengamati gestur, dan membaca tanda-tanda apakah calon pembeli tertarik atau justru enggan berinteraksi.
Di sinilah mental dan daya tahan siswa diuji. Tidak semua pintu akan terbuka ramah, tidak semua senyum akan membalas sapaan mereka. Ada yang menolak, ada yang acuh tak acuh, bahkan mungkin ada yang menyampaikan komentar yang kurang menyenangkan. Namun, justru dari tantangan-tantangan inilah siswa belajar makna sejati dari kegigihan dan pantang menyerah. Mereka belajar bahwa dalam dunia nyata, penolakan adalah bagian dari proses menuju keberhasilan. Mereka juga belajar untuk memperbaiki strategi, menyesuaikan pendekatan, dan menjaga semangat tetap menyala meskipun berkali-kali ditolak.
Pengalaman door to door ini memberikan simulasi yang begitu nyata dan mengesankan. Bukan sekadar latihan menjual barang, tetapi juga latihan membentuk karakter dan mentalitas seorang wirausaha sejati. Di sinilah keberanian, kreativitas, kesabaran, dan kemampuan membaca peluang mulai terasah dengan sendirinya. Pada akhirnya, siswa tidak hanya mendapatkan pengalaman menjual produk, tetapi juga pelajaran hidup yang kelak akan menjadi bekal berharga saat mereka terjun ke dunia kerja atau bisnis yang sesungguhnya.
Langkah ketiga yang tak kalah penting adalah mengikuti kegiatan basic mentality sebelum PKL dimulai. Kegiatan ini berupa pelatihan motivasi, pembentukan mental wirausaha, serta simulasi role-play situasi jual-beli yang realistis. Bisa diisi oleh trainer eksternal atau guru pembimbing yang berpengalaman di bidang penjualan. Melalui kegiatan ini, siswa diajak membentuk pola pikir positif, memperkuat keyakinan diri, dan membangun sikap profesional yang siap menghadapi tantangan di dunia kerja. Mereka juga belajar bagaimana mengelola emosi, menghadapi kegagalan, serta menyusun strategi yang lebih baik saat menghadapi berbagai tipe pelanggan.
Jika langkah-langkah bertahap ini diterapkan secara konsisten, diharapkan siswa akan mengalami perubahan yang signifikan. Mereka akan lebih percaya diri saat berinteraksi dengan orang asing, kemampuan komunikasi dan presentasi penjualan meningkat, serta mental dan sikap profesional mereka menjadi lebih matang. Dengan persiapan yang baik, pelaksanaan PKL akan menjadi pengalaman yang lebih bermakna dan membekas sebagai bekal penting bagi masa depan mereka.
Sebagai contoh, penulis sebagai guru pemasaran di SMK Negeri 1 Kudus telah menerapkan pendekatan bertahap ini. Sebelum PKL dimulai, siswa mengikuti program penjualan internal di lingkungan sekolah, dilanjutkan dengan praktik door to door, dan ditutup dengan pelatihan mental wirausaha yang intensif. Hasilnya cukup menggembirakan. Sebelum program, lebih dari 70% siswa mengaku takut ditolak atau malu saat menawarkan produk. Setelah program berlangsung selama tiga bulan, angka tersebut turun drastis menjadi hanya 15%. Guru pembimbing pun melihat perubahan sikap yang signifikan, di mana siswa lebih aktif, berani, dan kreatif saat menghadapi situasi jual-beli di tempat PKL. Mitra industri yang menjadi tempat PKL juga memberikan apresiasi atas kesiapan mental siswa yang dinilai jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Keberhasilan pendekatan ini tidak terlepas dari kekuatan pembelajaran yang bertahap dan berfokus pada pembentukan mental praktis. Seringkali dalam pendidikan kejuruan, kita terjebak pada pembelajaran teori yang kaku dan melupakan bahwa keberhasilan di dunia kerja juga sangat ditentukan oleh mentalitas dan soft skill siswa. Oleh karena itu, integrasi antara teori dan pengalaman nyata, ditambah penguatan mental yang sistematis, menjadi kunci penting yang tidak boleh diabaikan.
Namun demikian, pendekatan ini juga membutuhkan komitmen dan kolaborasi yang kuat antara sekolah, guru pembimbing, dunia usaha, dan UKM sekitar. Dengan kerja sama yang baik, siswa tidak hanya akan memiliki keterampilan teknis, tetapi juga kesiapan mental untuk menghadapi tantangan dunia kerja yang penuh persaingan.
Sebagai penutup, perlu ditegaskan kembali bahwa pembentukan kepercayaan diri dan mental wirausaha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesuksesan PKL bagi siswa pemasaran. Sekolah dan guru pembimbing perlu mulai menerapkan pendekatan bertahap ini sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran yang terintegrasi. Harapannya, pendidikan vokasi di masa depan tidak hanya menghasilkan lulusan yang siap kerja, tetapi juga memiliki jiwa entrepreneur yang kuat, kreatif, dan adaptif sejak dini.
Penulis : Sri Munfaati, Guru Pemasaran SMK Negeri 1 Kudus