Sabtu, 18-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Membangun Kesiapan Kerja Siswa PSPT melalui Implementasi Teaching Factory yang Inovatif

Diterbitkan :

Di tengah gempuran era digital dan ledakan konten visual, dunia pertelevisian tetap menjadi industri yang dinamis dan menjanjikan. Perkembangan teknologi penyiaran dan munculnya berbagai platform streaming memperluas panggung media massa, sekaligus menambah kebutuhan akan tenaga kerja muda yang adaptif, kreatif, dan siap pakai. Dalam konteks inilah, Program Keahlian Produksi dan Siaran Program Televisi (PSPT) di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki peran strategis untuk mencetak sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan industri.

Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak lulusan PSPT yang belum benar-benar siap terjun ke dunia kerja. Meskipun telah dibekali teori dan praktik dasar, sering kali mereka kesulitan menyesuaikan diri dengan ritme kerja profesional di industri penyiaran. Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya pengalaman langsung yang menyerupai kondisi kerja nyata. Siswa lebih banyak menghabiskan waktu dalam ruang kelas, sementara dunia industri menuntut kecakapan teknis, kedisiplinan, serta kemampuan bekerja dalam tim dengan tekanan waktu yang nyata. Untuk menjembatani kesenjangan ini, dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang lebih kontekstual dan berbasis dunia kerja, seperti implementasi Teaching Factory (TeFa).

Masalah utama yang dihadapi oleh Program Keahlian PSPT bukanlah sekadar soal kurikulum atau fasilitas, melainkan pendekatan pembelajaran yang masih dominan teoretis. Banyak siswa mengaku merasa kurang tertantang karena pembelajaran belum mencerminkan realitas industri penyiaran. Mereka belajar tentang teknik kamera, penyuntingan, manajemen produksi, dan penyiaran dalam bentuk modul atau simulasi terbatas, tetapi tidak dibiasakan untuk bekerja dalam sistem dan etos kerja yang profesional layaknya di stasiun televisi.

Minimnya pengalaman praktik langsung juga menjadi hambatan signifikan. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas produksi yang memadai, apalagi kesempatan magang yang terstruktur dan terpantau dengan baik. Akibatnya, siswa sulit memahami alur kerja yang kompleks dalam proses produksi televisi. Mereka cenderung belajar dalam ruang-ruang terpisah tanpa memahami bagaimana semua bagian—dari ide, skrip, pengambilan gambar, penyuntingan, hingga tayangan akhir—terhubung dan saling bergantung satu sama lain.

Lebih dari itu, terdapat jurang pemisah antara sekolah dan dunia usaha/dunia industri (DUDI). Banyak perusahaan media merasa bahwa lulusan SMK belum memenuhi ekspektasi mereka. Hal ini tak lepas dari minimnya komunikasi dua arah antara pihak sekolah dan industri. Sekolah sering kali menyusun program pembelajaran tanpa masukan langsung dari praktisi atau mitra industri, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara materi ajar dan keterampilan yang dibutuhkan di lapangan kerja.

Menghadapi tantangan ini, Teaching Factory hadir sebagai solusi inovatif yang menjanjikan. Teaching Factory bukan sekadar program praktik biasa, tetapi model pembelajaran berbasis produksi nyata yang meniru sistem kerja di industri profesional. Dalam lingkungan Teaching Factory, siswa terlibat dalam produksi sesungguhnya, mulai dari perencanaan hingga hasil akhir, namun tetap berada dalam bimbingan guru dan pembina. Konsep ini menciptakan ruang belajar yang menyatu dengan ruang kerja, menjadikan sekolah sebagai miniatur industri yang membentuk karakter, etos kerja, dan keterampilan teknis siswa secara menyeluruh.

Langkah awal dalam mengimplementasikan Teaching Factory adalah memperkenalkan konsep ini secara menyeluruh kepada guru dan siswa. Pelatihan diberikan untuk memastikan bahwa semua pihak memahami prinsip-prinsip dasar Teaching Factory, termasuk sistem kerja berbasis tim, pengelolaan proyek, serta tanggung jawab individu dalam proses produksi. Kurikulum disusun ulang dengan menekankan pada praktik produksi acara nyata, bukan sekadar latihan teknis terpisah. Modul pembelajaran difokuskan pada skenario industri, misalnya bagaimana menyusun rundown acara, manajemen waktu produksi, hingga evaluasi hasil tayangan.

Selanjutnya, sekolah perlu menjalin kerja sama strategis dengan pihak luar seperti stasiun televisi lokal, rumah produksi (production house), radio, dan lembaga penyiaran lainnya. Kolaborasi ini memberikan akses bagi siswa untuk bersentuhan langsung dengan dunia kerja, serta mendapatkan pembimbingan dari para praktisi yang berpengalaman. Kehadiran mentor dari industri tidak hanya memperkaya wawasan siswa, tetapi juga memastikan bahwa keterampilan yang diajarkan di sekolah relevan dengan perkembangan teknologi dan tren di lapangan.

Tak kalah penting, sekolah dapat mengadakan program outing class dan produksi variety show bersama mitra industri. Dalam outing class, siswa diajak mengunjungi studio televisi, ruang editing profesional, atau lokasi syuting nyata, agar mereka bisa merasakan langsung atmosfer kerja industri. Sementara itu, produksi variety show menjadi ajang unjuk kompetensi yang melibatkan siswa sebagai tim produksi utama. Dalam program ini, mereka menggarap satu proyek acara hiburan mulai dari perencanaan konten, penulisan naskah, pengambilan gambar, editing, hingga publikasi. Dibantu oleh mentor dari dunia industri, proses ini menjadi pengalaman belajar yang sangat kaya sekaligus mengasah kemampuan teknis, manajemen waktu, dan kerja sama tim.

Dari implementasi Teaching Factory ini, dampak positif yang paling nyata adalah meningkatnya kesiapan kerja siswa. Mereka menjadi lebih percaya diri karena telah terbiasa dengan ritme kerja industri penyiaran. Pengalaman mengerjakan proyek nyata membuat mereka paham bagaimana cara bekerja di bawah tekanan, menyelesaikan tugas tepat waktu, dan berkoordinasi dalam tim lintas fungsi. Hal ini menjadi nilai tambah ketika mereka melamar pekerjaan di dunia pertelevisian maupun media digital.

Lebih jauh lagi, Teaching Factory membantu menciptakan lulusan yang relevan dengan kebutuhan industri lokal. Sekolah-sekolah yang berhasil mengimplementasikan model ini mendapati bahwa lulusannya lebih mudah diserap oleh stasiun TV, radio, dan platform digital di daerah masing-masing. Bahkan, beberapa siswa telah memulai karier sebagai freelancer di bidang penyuntingan video, kameramen, atau content creator saat masih duduk di bangku sekolah. Ini membuktikan bahwa pembelajaran yang mendekati dunia kerja mampu membuka peluang ekonomi sejak dini bagi siswa SMK.

Tak kalah penting, keberhasilan program Teaching Factory juga turut mengangkat citra SMK di mata masyarakat. Sekolah tidak lagi dipandang sebelah mata, melainkan sebagai lembaga pendidikan vokasi yang progresif dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Orang tua mulai percaya bahwa menyekolahkan anak ke SMK, khususnya program keahlian PSPT, bukan berarti membatasi masa depan, melainkan membuka jalan karier yang nyata dan menjanjikan. Peningkatan minat peserta didik baru terhadap program keahlian ini menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat mulai melihat SMK sebagai pilihan yang rasional dan strategis.

Akhirnya, Teaching Factory bukanlah sekadar metode atau strategi pembelajaran, melainkan transformasi budaya kerja di lingkungan sekolah. Dengan menyinergikan dunia pendidikan dan industri, kita menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh secara mental, terampil secara teknis, dan siap bersaing di dunia nyata. Program keahlian PSPT memiliki potensi besar untuk menjadi garda terdepan dalam mencetak profesional muda di bidang pertelevisian dan media digital. Tentu dengan catatan, implementasi Teaching Factory dilakukan secara konsisten, kreatif, dan melibatkan sebanyak mungkin pihak dari dunia usaha.

Semoga semakin banyak SMK yang tertantang untuk mengikuti jejak ini. Karena masa depan pendidikan vokasi tidak bisa hanya mengandalkan teori, tetapi harus bertumpu pada pengalaman nyata yang membentuk karakter dan kompetensi. Dan Teaching Factory adalah jembatan menuju masa depan itu.

Penulis : Siti Salamah, Guru Bahasa Indonesia SMKN 3 Jepara