Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada hakikatnya tidak sekadar dimaksudkan untuk menambah wawasan kognitif peserta didik tentang ajaran Islam. Lebih dari itu, PAI memiliki misi besar untuk membentuk pribadi yang beriman, bertakwa, serta berakhlak mulia sesuai tuntunan agama. Keberhasilan pembelajaran PAI semestinya tercermin dalam sikap nyata siswa dalam keseharian, bukan hanya dalam nilai ujian atau kemampuan menghafal ayat dan hadis. Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih adanya kesenjangan yang cukup lebar antara pemahaman kognitif dan pengamalan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini dapat dengan mudah ditemui dalam berbagai aktivitas di sekolah. Masih ada siswa yang bersikap kurang sopan kepada guru, bercanda berlebihan di kelas hingga mengganggu proses belajar, tidak menjaga kebersihan lingkungan, bahkan lalai menjalankan kewajiban shalat tepat waktu. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, sebab pendidikan agama seharusnya menjadi benteng utama dalam membentuk karakter. Apabila siswa hanya pandai menjawab soal tetapi gagal menampilkan akhlak Islami dalam tindakan nyata, maka esensi pembelajaran PAI belumlah tercapai sepenuhnya.
Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat sejumlah faktor penyebab permasalahan karakter peserta didik di tingkat SMP. Pertama adalah derasnya pengaruh lingkungan digital. Kehadiran media sosial dan game daring membuat sebagian besar waktu remaja tersita, sehingga perhatian mereka terhadap nilai adab dan akhlak berkurang. Informasi yang serba cepat dan hiburan instan sering kali menyingkirkan kesadaran untuk berperilaku sopan, disiplin, dan taat beribadah. Kedua, rendahnya minat belajar terhadap PAI juga menjadi kendala. Bagi sebagian siswa, mata pelajaran ini hanya dianggap sebagai teori yang harus dihafal, bukan pedoman hidup yang harus diamalkan. Akibatnya, meskipun mereka hafal dalil atau hadis, perilaku sehari-hari tetap jauh dari tuntunan agama.
Faktor ketiga yang tak kalah penting adalah pengaruh keluarga. Siswa yang tumbuh dalam keluarga dengan tingkat religiusitas rendah, atau yang tidak terbiasa membangun budaya adab Islami di rumah, akan mengalami kesulitan dalam menginternalisasi nilai-nilai tersebut di sekolah. Misalnya, siswa yang di rumah jarang diajak shalat berjamaah, cenderung kesulitan membiasakan shalat tepat waktu di sekolah. Keempat, metode pembelajaran yang monoton juga berkontribusi terhadap lemahnya penerapan adab. Jika pembelajaran PAI masih sebatas ceramah satu arah, siswa akan mudah bosan dan kurang terdorong untuk mempraktikkan nilai yang dipelajari.
Menghadapi permasalahan tersebut, guru PAI dituntut untuk mengubah paradigma pembelajaran. Ceramah memang masih relevan, tetapi tidak bisa lagi menjadi satu-satunya strategi. Diperlukan langkah konkret yang mampu menyentuh ranah afektif siswa dan membentuk kebiasaan positif. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah pembiasaan. Melalui kebiasaan berdoa sebelum dan sesudah belajar, mengucapkan salam saat masuk kelas, serta menjaga sikap sopan dalam interaksi, siswa secara perlahan akan terlatih untuk menjadikan adab sebagai bagian dari keseharian. Konsistensi pembiasaan akan membuat nilai-nilai tersebut melekat, bukan hanya sekadar pengetahuan.
Selain pembiasaan, pendekatan uswah hasanah atau keteladanan memiliki peran yang amat penting. Guru PAI harus mampu menjadi cermin akhlak yang baik, sebab siswa SMP cenderung meniru perilaku nyata yang mereka lihat. Guru yang ramah, sabar, disiplin, dan konsisten dalam ucapan serta tindakan akan lebih mudah menginspirasi siswa untuk bersikap serupa. Sebaliknya, guru yang sering marah tanpa alasan jelas atau tidak konsisten dengan ajarannya akan melemahkan pesan moral yang ingin ditanamkan.
Strategi pembelajaran berbasis proyek atau project-based learning juga dapat dijadikan inovasi untuk memperkuat karakter Islami siswa. Misalnya, guru mengajak siswa membuat proyek kepedulian sosial berupa penggalangan donasi bagi teman yang sakit, kegiatan bersih-bersih masjid sekolah, atau pembuatan video pendek tentang adab Islami sehari-hari. Melalui pengalaman langsung ini, siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga merasakan makna nyata dari praktik ajaran Islam. Pengalaman tersebut akan lebih mudah membekas dalam hati dibanding sekadar mendengar nasihat.
Pemanfaatan teknologi juga dapat diarahkan untuk mendukung pembelajaran karakter. Jika biasanya gawai membuat siswa lalai, guru bisa memanfaatkannya untuk hal positif. Misalnya dengan membuat kuis interaktif menggunakan aplikasi pembelajaran, jurnal digital refleksi adab harian, atau forum online untuk berbagi pengalaman tentang penerapan akhlak. Dengan demikian, teknologi yang sering menjadi tantangan justru beralih fungsi menjadi media penguat pendidikan karakter.
Di luar sekolah, peran keluarga tidak kalah penting. Sinergi antara guru dan orang tua harus dibangun agar pembiasaan di rumah sejalan dengan pembelajaran di sekolah. Orang tua diharapkan dapat membiasakan anak shalat berjamaah, mengontrol penggunaan gawai, serta menegaskan pentingnya sopan santun di lingkungan rumah. Tanpa dukungan keluarga, usaha sekolah akan sulit membuahkan hasil maksimal.
Dampak dari penerapan strategi-strategi tersebut mulai terlihat ketika dilakukan secara konsisten. Siswa yang sebelumnya acuh terhadap adab mulai menunjukkan perubahan positif. Mereka terbiasa memberi salam, lebih menghormati guru, dan mampu menjaga sikap di kelas. Suasana belajar menjadi kondusif karena siswa tidak lagi bercanda berlebihan, melainkan fokus dan disiplin. Di luar kelas, siswa mulai terbiasa melaksanakan shalat berjamaah di masjid sekolah tanpa harus selalu diingatkan. Walaupun perubahan ini tidak instan, langkah demi langkah menunjukkan hasil yang menggembirakan.
Hasil positif tersebut menjadi bukti bahwa pembelajaran PAI tidak boleh berhenti pada ranah kognitif. Penguatan aspek afektif dan psikomotor justru menjadi kunci dalam menumbuhkan akhlak Islami. Jika siswa hanya diuji melalui hafalan, maka pembelajaran akan terasa hampa. Namun, ketika mereka terlibat dalam pembiasaan, keteladanan, proyek sosial, dan refleksi adab, maka nilai-nilai Islam akan tertanam dalam perilaku nyata.
Dengan demikian, jelaslah bahwa permasalahan karakter dalam pembelajaran PAI di SMP bukanlah hal yang tidak bisa diatasi. Kuncinya adalah keberanian guru untuk berinovasi, memanfaatkan berbagai metode pembelajaran, serta membangun sinergi dengan orang tua. Dengan upaya yang terintegrasi, pembelajaran PAI akan benar-benar membentuk peserta didik yang beradab mulia.
Tujuan akhir pendidikan agama Islam bukan hanya mencetak siswa pandai, tetapi melahirkan generasi yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Inilah tantangan sekaligus peluang bagi setiap guru PAI untuk menjadikan ruang kelas sebagai ladang pembentukan karakter, sehingga Islam tidak hanya dipahami, melainkan juga dijalani sebagai pedoman hidup sehari-hari.
Penulis : Dewi Rani E, Guru Pendidikan Agama Islam SMP Negeri 3 Pekuncen