Kebersihan merupakan salah satu aspek mendasar dalam kehidupan sehari-hari yang sering kali terabaikan, padahal sesungguhnya memiliki peran penting dalam pembentukan karakter. Di sekolah, kebersihan bukan hanya sekadar menjaga ruangan tetap rapi dan bebas sampah, tetapi juga mencerminkan nilai kedisiplinan, tanggung jawab, dan kepedulian terhadap lingkungan. Lingkungan sekolah yang bersih akan memberi kenyamanan bagi proses belajar-mengajar, menumbuhkan kebiasaan positif, sekaligus menjadi cerminan kualitas pendidikan itu sendiri. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa budaya kebersihan adalah bagian integral dari pendidikan karakter, karena melalui kebersihan, siswa belajar tentang keteraturan, ketekunan, serta rasa hormat terhadap ruang publik yang digunakan bersama.
Namun, dalam praktiknya, menjaga kebersihan lingkungan sekolah bukanlah hal yang sederhana. Banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari keterbatasan fasilitas, lemahnya kesadaran warga sekolah, hingga koordinasi yang belum optimal antar pihak terkait. Hal ini membuat upaya mewujudkan sekolah yang bersih dan sehat sering kali tidak berjalan sesuai harapan. Padahal, kebersihan yang terjaga dapat menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif, mengurangi risiko penyakit, dan meningkatkan rasa nyaman bagi seluruh warga sekolah.
Tulisan ini berupaya mengidentifikasi permasalahan utama kebersihan di sekolah, menjelaskan langkah-langkah solusi yang dapat diterapkan, serta menunjukkan dampak positif yang diharapkan. Dengan begitu, diharapkan muncul kesadaran bersama bahwa kebersihan bukanlah tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh warga sekolah.
Salah satu masalah utama yang sering dijumpai adalah kurangnya alat dan bahan penunjang kebersihan. Banyak sekolah yang masih bergantung pada alat kebersihan seadanya, seperti sapu yang sudah rusak, pel yang tidak layak pakai, atau tempat sampah yang jumlahnya tidak memadai. Padahal, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebenarnya mengalokasikan anggaran khusus untuk pembelian alat dan bahan kebersihan. Hanya saja, dalam praktiknya, prioritas penggunaan dana ini kerap lebih difokuskan pada hal-hal lain yang dianggap lebih mendesak. Akibatnya, kebutuhan dasar untuk menjaga kebersihan justru terabaikan.
Masalah lain adalah tim kebersihan yang kurang kompak. Di banyak sekolah, koordinasi antar petugas kebersihan belum berjalan maksimal. Tugas pokok dan fungsi, atau yang lebih dikenal dengan istilah Tupoksi, sering kali tidak dipahami secara jelas. Ada petugas yang merasa beban kerjanya lebih berat dibanding yang lain, sementara ada pula yang bekerja tanpa arahan yang terstruktur. Kurangnya pembinaan menyebabkan semangat kerja tidak tumbuh dengan baik, dan hasil kebersihan pun tidak optimal. Padahal, dengan kerja sama yang solid dan pembagian tugas yang jelas, pekerjaan akan lebih ringan dan hasilnya pun lebih memuaskan.
Luasnya area sekolah juga menjadi tantangan tersendiri. Sekolah dengan halaman yang luas, ruang kelas yang banyak, serta fasilitas tambahan seperti laboratorium, perpustakaan, dan bengkel praktik membutuhkan strategi khusus dalam menjaga kebersihan. Tanpa sistem pembagian tugas yang jelas, petugas kebersihan akan kewalahan, sementara siswa dan guru belum tentu terlibat secara aktif. Akibatnya, beberapa area sekolah terabaikan, menjadi kotor, dan menciptakan kesan kurang terurus.
Selain itu, fasilitas pemilahan sampah yang belum tersedia juga menjadi masalah nyata. Banyak sekolah masih menggunakan tempat sampah tunggal, sehingga semua jenis sampah dicampur menjadi satu. Hal ini tentu menyulitkan upaya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Padahal, pemisahan sampah organik, anorganik, dan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) merupakan langkah awal penting untuk mendidik siswa tentang tanggung jawab ekologis. Rendahnya kesadaran warga sekolah dalam memisahkan sampah diperparah dengan minimnya keteladanan dari guru. Jika guru tidak memberi contoh membuang sampah pada tempatnya atau masih membiarkan siswa berperilaku sembarangan, maka sulit mengharapkan perubahan yang signifikan. Lebih parah lagi, tidak adanya konsekuensi yang jelas bagi siswa yang membuang sampah sembarangan membuat aturan kebersihan seolah hanya formalitas tanpa makna.
Menghadapi berbagai permasalahan tersebut, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah pengadaan alat dan bahan kebersihan yang memadai. Optimalisasi penggunaan dana BOS perlu menjadi perhatian serius. Sekolah harus memastikan bahwa kebutuhan dasar seperti sapu, pel, sikat, tempat sampah, hingga cairan pembersih selalu tersedia dalam kondisi baik. Dengan alat yang memadai, pekerjaan menjaga kebersihan akan lebih efektif dan efisien.
Selain itu, pembinaan terhadap tim kebersihan menjadi langkah penting. Sekolah perlu mengadakan pelatihan rutin yang membahas Tupoksi serta etika kerja. Melalui pembinaan, tim kebersihan akan memahami peran masing-masing, sekaligus termotivasi untuk bekerja dengan lebih profesional. Tidak kalah penting adalah membangun semangat kerja sama, sehingga setiap anggota tim merasa memiliki tanggung jawab bersama dalam menciptakan lingkungan yang bersih.
Untuk mengatasi masalah area sekolah yang luas, pembagian zona kebersihan bisa menjadi solusi. Sekolah dapat membuat jadwal dan sistem pembagian tugas yang melibatkan semua pihak, mulai dari petugas kebersihan, guru, hingga siswa. Dengan adanya zona tertentu yang menjadi tanggung jawab kelompok tertentu, setiap bagian sekolah dapat terjaga kebersihannya. Misalnya, siswa kelas tertentu bertanggung jawab atas area taman, sementara guru dan karyawan mengawasi ruang kelas atau fasilitas umum. Sistem ini tidak hanya membuat kebersihan lebih terjaga, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki terhadap lingkungan sekolah.
Langkah selanjutnya adalah penyediaan tempat sampah terpisah sesuai jenis sampah. Tempat sampah berlabel warna hijau untuk sampah organik, biru untuk sampah anorganik, dan merah untuk sampah B3 dapat ditempatkan di berbagai sudut strategis sekolah. Namun, penyediaan tempat sampah saja tidak cukup. Sosialisasi intensif harus dilakukan kepada seluruh warga sekolah agar mereka memahami perbedaan jenis sampah dan cara membuangnya dengan benar. Guru juga diberi peran aktif untuk menegakkan aturan ini. Dengan menjadi teladan dan mengingatkan siswa secara konsisten, guru dapat membangun kebiasaan positif yang lama kelamaan menjadi budaya. Agar aturan berjalan lebih tegas, sekolah juga perlu menerapkan konsekuensi yang jelas bagi pelanggaran kebersihan. Konsekuensi ini bukan sekadar hukuman, tetapi lebih sebagai bentuk pendidikan karakter agar siswa belajar bertanggung jawab atas tindakannya.
Hasil dari penerapan langkah-langkah tersebut tentu diharapkan membawa perubahan positif. Lingkungan sekolah akan menjadi lebih bersih, rapi, dan sehat. Suasana belajar pun otomatis menjadi lebih nyaman dan produktif. Siswa akan lebih sadar dan peduli terhadap kebersihan, karena mereka terlibat langsung dalam proses menjaga lingkungan. Budaya kebersihan yang tumbuh di sekolah juga akan terbawa ke kehidupan sehari-hari, menjadikan kebiasaan positif ini bagian dari karakter siswa.
Efisiensi kerja tim kebersihan pun meningkat. Dengan alat yang memadai, pembagian tugas yang jelas, serta semangat kerja sama yang kuat, pekerjaan mereka akan lebih ringan dan hasilnya lebih maksimal. Sekolah juga akan lebih siap menuju predikat Sekolah Adiwiyata, yakni sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan. Predikat ini bukan hanya sebuah penghargaan, tetapi juga pengakuan atas komitmen sekolah dalam mewujudkan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, kebersihan bukan hanya tanggung jawab petugas kebersihan, tetapi seluruh warga sekolah. Perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil, termasuk kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya, membersihkan ruang kelas, atau menjaga fasilitas umum agar tetap rapi. Dengan komitmen bersama, budaya kebersihan dapat tumbuh kuat dan menjadi bagian dari jati diri sekolah.
Harapan ke depan, sekolah-sekolah di Indonesia dapat menjadi contoh dalam penerapan budaya kebersihan yang berkelanjutan. Tidak hanya menghasilkan lulusan yang cerdas secara akademis, tetapi juga berkarakter, disiplin, dan peduli terhadap lingkungannya. Dengan begitu, pendidikan benar-benar mampu melahirkan generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijak dalam menjaga bumi tempat mereka hidup.
Penulis : Supriyadi, Penjaga Sekolah SMP Negeri 3 Pekuncen