Sabtu, 18-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Mengatasi Kebingungan Siswa dalam Menulis Preposisi dan Afiksasi di-, ke- dalam Kalimat

Diterbitkan :

Bahasa Indonesia, meskipun merupakan bahasa sehari-hari, sering kali menyimpan jebakan kecil yang membuat bingung, bahkan bagi penutur aslinya. Salah satu kesalahan yang paling sering muncul dalam tulisan siswa adalah penggunaan imbuhan di- dan ke-. Dua bentuk ini terlihat sederhana, tetapi sering kali penggunaannya tertukar atau tidak tepat, padahal perbedaan cara penulisannya bisa mengubah makna kalimat secara signifikan.

Coba kita lihat contoh ini: “Buku itu dibawah meja.” Kalimat tersebut kerap muncul di catatan siswa, padahal bentuk yang benar adalah “Buku itu di bawah meja.” Kesalahan semacam ini tampak sepele, namun jika dibiarkan, bisa mengaburkan makna kalimat dan tentu saja mengurangi kualitas tulisan, terutama dalam konteks akademik.

Artikel ini bertujuan memberikan panduan praktis agar siswa tidak lagi keliru menggunakan di- dan ke-. Dengan pemahaman yang benar dan latihan yang konsisten, siapa pun bisa membedakan apakah sebuah kata membutuhkan penulisan serangkai atau dipisah. Mari kita telusuri bersama, mulai dari pengertian dasar hingga tips-tips yang memudahkan.

Untuk memahami perbedaan di- dan ke-, kita perlu membedakannya berdasarkan dua fungsi utama: sebagai preposisi (kata depan) dan sebagai afiksasi (imbuhan).

Pertama, kita bahas di- dan ke- sebagai preposisi. Fungsi utama preposisi ini adalah untuk menunjukkan tempat atau arah. Karena itu, penggunaannya ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya: di rumah, ke sekolah, di taman, ke pasar.

Salah satu cara mudah untuk menguji apakah sebuah kata menggunakan preposisi adalah dengan mengganti kata di- dengan pada atau mengganti ke- dengan menuju. Jika kalimat tersebut tetap masuk akal, maka bentuknya adalah preposisi, dan harus ditulis terpisah. Contohnya, “Buku itu ada di meja” dapat diubah menjadi “Buku itu ada pada meja” — artinya masih logis. Demikian pula, “Ayah pergi ke kantor” bisa diubah menjadi “Ayah pergi menuju kantor”.

Berikutnya adalah di- dan ke- sebagai afiksasi atau imbuhan. Pada fungsi ini, di- digunakan sebagai awalan kata kerja pasif, seperti dalam ditulis, dibaca, dikerjakan, dirapikan. Sedangkan ke- berfungsi membentuk bilangan urutan seperti ketiga, kelima, kesepuluh, atau membentuk kata benda seperti ketua, kekasih, keberanian. Semua bentuk ini harus ditulis serangkai dengan kata dasarnya karena membentuk makna baru.

Misalnya, “Surat itu ditulis oleh Andi” adalah bentuk pasif yang menggunakan imbuhan di-. Jika kita pisahkan menjadi “di tulis”, maknanya menjadi rancu. Demikian juga, “Ia duduk di kursi ketiga” menggunakan awalan ke- sebagai penanda urutan.

Agar semakin mahir dalam membedakan, berikut langkah-langkah praktis yang bisa diterapkan dalam latihan sehari-hari.

Langkah pertama adalah identifikasi fungsi kata. Saat menemukan kata yang mengandung di- atau ke-, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini menunjukkan tempat atau arah? Jika ya, maka kemungkinan besar itu adalah preposisi dan harus ditulis terpisah. Sebaliknya, jika kata tersebut menunjukkan tindakan pasif atau bilangan urutan, kemungkinan itu adalah imbuhan dan harus ditulis serangkai.

Langkah kedua, latihan membuat kalimat. Dengan membuat contoh sendiri, siswa akan lebih mudah memahami perbedaan fungsi dan bentuk. Misalnya, kalimat: “Adik bermain di taman” (preposisi) dan “Mainan itu ditemukan di taman” (afiksasi). Pada kalimat pertama, di menunjukkan tempat, sedangkan pada kalimat kedua, di- adalah imbuhan pasif dari kata kerja temukan.

Berikut beberapa contoh lain yang dapat digunakan sebagai latihan:

Preposisi: “Ibu pergi ke pasar.” → Bisa diganti: “Ibu pergi menuju pasar.”

Preposisi: “Buku itu ada di meja.” → Bisa diganti: “Buku itu ada pada meja.”

Afiksasi: “Pintu itu ditutup oleh petugas.” → Kata kerja pasif.

Afiksasi: “Ia duduk di baris kelima.” → Bentuk bilangan urutan.

Sebagai tips tambahan, guru bisa menggunakan warna atau simbol khusus dalam latihan tulis. Misalnya, preposisi diberi warna biru dan afiksasi diberi warna merah. Dengan visualisasi ini, siswa lebih mudah mengenali pola dan membiasakan diri menulis dengan tepat. Guru juga bisa mengingatkan agar siswa tidak menulis “dibawah”, “diluar”, “didalam” secara serangkai, karena semua itu adalah bentuk preposisi dan seharusnya ditulis terpisah: di bawah, di luar, di dalam.

Melalui pembelajaran ini, siswa diharapkan mampu membedakan di- dan ke- dengan benar, baik sebagai preposisi maupun sebagai afiksasi. Mereka juga diharapkan mampu menulis kalimat dengan preposisi di- dan ke- secara tepat, serta mampu menggunakan imbuhan di- dan ke- dalam bentuk kata kerja pasif, kata benda, maupun numeral. Dengan demikian, tulisan siswa menjadi lebih jelas, logis, dan sesuai kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Mungkin awalnya terasa rumit, tetapi semakin sering latihan, semakin mudah menguasai. Latihan adalah kunci. Guru, siswa, dan orang tua dapat bekerja sama menciptakan budaya berbahasa yang benar, baik dalam tulisan maupun dalam percakapan sehari-hari.

Bagi siswa yang ingin menggali lebih dalam, banyak sumber belajar yang dapat dijadikan rujukan. Buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia” (PUEBI) dari Badan Bahasa adalah referensi utama yang wajib dimiliki. Selain itu, situs seperti KBBI daring (https://kbbi.kemdikbud.go.id) dan puebi.readthedocs.io menyajikan aturan bahasa dengan jelas dan akurat.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kalimat ini: “Sudah bisakah kamu bedakan ‘di rumah’ dan ‘dibangun’?” Dua bentuk yang mirip, tetapi maknanya bisa jauh berbeda jika tidak digunakan dengan tepat. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin ketelitian dan kecermatan berpikir. Menguasai hal-hal kecil seperti ini akan membuat kita semakin percaya diri dalam menulis dan menyampaikan ide.

Penulis : Siti Salamah, Guru Bahasa Indonesia SMKN 3 Jepara