Minggu, 19-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Mengatasi Kecanduan HP pada Anak untuk Orang Tua

Diterbitkan :

Fenomena anak yang terus-menerus menatap layar ponsel seolah tak kenal waktu sudah menjadi pemandangan umum di banyak rumah. Di meja makan, di mobil, bahkan saat berkumpul bersama keluarga—HP tak pernah lepas dari genggaman mereka. Anda mungkin merasa frustrasi, lelah, bahkan marah. Berkali-kali ditegur, diingatkan, atau bahkan diancam, namun tak ada perubahan yang berarti. Jika Anda merasakan hal ini, percayalah, Anda tidak sendirian.

Kecanduan HP pada anak bukanlah tanda kegagalan orang tua. Ini adalah tantangan nyata yang hadir seiring berkembangnya zaman. Di era digital ini, teknologi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, termasuk bagi anak-anak. Mereka tumbuh dalam dunia yang berbeda dari generasi sebelumnya—dunia yang selalu terhubung, serba cepat, dan penuh stimulus visual. Maka, bukan hal aneh jika HP menjadi “teman akrab” mereka.

Namun, kita sebagai orang tua tidak bisa hanya mengeluh atau menyalahkan. Yang dibutuhkan adalah pemahaman mendalam tentang akar masalah ini serta solusi yang realistis dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Artikel ini bertujuan memberikan panduan praktis berbasis pendekatan psikologi perkembangan anak, agar kita bisa bersama-sama menghadapi tantangan ini dengan cara yang lebih bijak dan membangun.

Untuk bisa mengatasi kecanduan HP pada anak, kita harus terlebih dahulu memahami penyebabnya. Seperti gejala demam pada tubuh, kecanduan HP hanyalah “sinyal” dari hal yang lebih dalam.

Salah satu penyebab utamanya adalah dorongan dopamin—zat kimia dalam otak yang memberikan rasa senang dan puas. Aplikasi seperti TikTok, YouTube, dan berbagai game dirancang untuk memicu pelepasan dopamin ini. Saat anak mendapat “like”, komentar, atau naik level dalam game, otak mereka memberi sinyal bahagia. Sensasi ini membuat mereka ingin mengulanginya terus menerus, menciptakan lingkaran ketagihan yang sulit diputus.

Di sisi lain, banyak anak yang kecanduan HP karena tidak memiliki alternatif yang cukup menarik. Jika dunia nyata terasa membosankan, sementara dunia digital menawarkan hiburan tanpa henti, tentu anak akan memilih yang kedua. Ketika tak ada aktivitas luar rumah, minim kegiatan keluarga, dan terbatasnya kesempatan berekspresi, maka HP menjadi pelarian utama.

Pola asuh yang tidak konsisten juga menjadi faktor penting. Ketika aturan penggunaan HP tidak jelas, atau berubah-ubah tergantung suasana hati orang tua, anak menjadi bingung dan akhirnya membentuk kebiasaan tanpa kontrol. Misalnya, hari ini boleh bermain HP selama dua jam, besok tiba-tiba dilarang total—hal ini justru memperburuk keadaan.

Banyak anak juga menggunakan media sosial sebagai tempat mencari pengakuan diri. Dalam masa perkembangan psikososial, mereka butuh validasi, butuh merasa diterima. Ketika mereka merasa kurang didengar atau diapresiasi di rumah atau sekolah, media sosial bisa menjadi ruang pelarian yang memberi mereka “suara”.

Stres dan tekanan emosional tak kalah berperan. Tugas sekolah yang menumpuk, konflik dalam keluarga, atau kesulitan dalam pertemanan bisa membuat anak mencari kenyamanan melalui HP. Di layar kecil itu, mereka bisa melarikan diri dari realitas yang menekan.

Maka, penting disadari bahwa kecanduan HP bukanlah penyakit utama. Ia adalah gejala. Mengobatinya bukan hanya soal melarang, tapi memahami dan menyentuh akar masalahnya.

Langkah pertama dalam mencari solusi adalah menetapkan aturan waktu yang jelas, bukan larangan total. Anak-anak tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari teknologi, tapi kita bisa membantu mereka menggunakannya secara sehat. Buatlah jadwal layar terbatas. Misalnya, HP hanya boleh digunakan setelah tugas sekolah selesai, setelah sholat, atau setelah membantu orang tua. Sesuaikan durasi harian dengan usia mereka: 30–60 menit per hari untuk usia 6–12 tahun, dan 1–2 jam untuk usia di atas 13 tahun.

Langkah kedua adalah mengganti HP dengan aktivitas yang lebih menyenangkan. Jangan hanya mengambil HP tanpa memberi alternatif. Ajak anak memilih kegiatan yang mereka sukai, seperti bermain di luar, olahraga ringan, membaca buku, melukis, memainkan alat musik, atau ikut kegiatan ekstrakurikuler. Libatkan anak dalam proses pemilihan agar mereka merasa punya kendali dan pilihan atas hidupnya.

Komunikasi empatik juga sangat penting. Banyak orang tua yang tergoda untuk marah, merampas HP, atau memberi label seperti “pemalas” atau “kecanduan”. Padahal, cara ini justru akan menutup pintu dialog. Cobalah mulai dengan pertanyaan seperti, “Aku perhatikan kamu main HP sampai malam, apakah kamu merasa lebih nyaman di sana?” Tanyakan dengan tulus, bukan menghakimi. Temukan apa yang sebenarnya mereka cari di balik layar: apakah itu hiburan, pelarian, atau validasi?

Orang tua juga harus menjadi contoh. Jika orang tua sibuk dengan HP saat makan malam atau lebih memilih scrolling media sosial daripada berbincang dengan anak, maka anak akan meniru. Buatlah kebiasaan seperti mematikan HP saat makan bersama, menyediakan waktu bebas gadget di rumah, atau melakukan kegiatan keluarga tanpa melibatkan layar. Tunjukkan bahwa hidup bisa menyenangkan tanpa tergantung pada HP.

Jangan lupa memberikan edukasi tentang dampak negatif penggunaan HP secara berlebihan. Jelaskan dengan bahasa yang sesuai usia mereka. Misalnya, “Kalau kamu main HP terus, matamu bisa cepat lelah, malamnya susah tidur. Lagipula, ada banyak konten negatif yang bisa memengaruhi pikiran kamu.” Sampaikan secara dialog, bukan ceramah panjang yang membuat mereka bosan.

Yang tak kalah penting adalah membangun rasa percaya diri dan kemandirian anak. Banyak anak yang tenggelam dalam dunia digital karena merasa tidak dipahami, tidak punya ruang untuk mengekspresikan diri, atau tidak merasa dihargai. Beri mereka tanggung jawab sederhana, puji usahanya bukan hanya hasilnya, dan libatkan mereka dalam pengambilan keputusan keluarga. Hal-hal ini membuat anak merasa berarti dan memiliki tempat di dunia nyata, bukan hanya di dunia maya.

Perlu diingat bahwa semua proses ini tidak instan. Ini bukan perang satu malam, melainkan perjalanan yang membutuhkan konsistensi dan kesabaran. Ada kalanya anak tampak berubah, lalu kembali lagi ke kebiasaan lama. Itu wajar. Jangan patah semangat. Yang penting adalah menjaga hubungan yang hangat, terbuka, dan penuh kepercayaan antara orang tua dan anak.

Kecanduan HP bukanlah akhir segalanya. Dengan pemahaman yang tepat, komunikasi yang baik, dan pendekatan yang penuh cinta, anak-anak kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang sehat secara digital maupun emosional. Mari hadapi tantangan ini bersama-sama—bukan sebagai musuh teknologi, tapi sebagai pembimbing bagi generasi yang tumbuh di tengah derasnya arus digital.

Penulis : Sukartiningsih, Guru Matematika SMP Negeri 1 Ungaran