Pembelajaran akuntansi di sekolah menengah kejuruan sering kali dianggap sebagai mata pelajaran yang rumit dan penuh angka. Tidak sedikit siswa merasa kesulitan karena konsep yang dipelajari bersifat abstrak, seperti pencatatan kas atau penyusunan laporan keuangan sederhana. Kondisi ini membuat pembelajaran akuntansi sering terjebak dalam metode konvensional: guru menjelaskan, siswa mencatat, kemudian mengerjakan soal. Pola yang monoton ini tentu berisiko menurunkan minat belajar siswa, bahkan dapat membuat akuntansi dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan.
Di sinilah pentingnya pendekatan pembelajaran aktif dan kontekstual. Guru tidak hanya bertugas menyampaikan materi, tetapi juga perlu menciptakan suasana kelas yang mendorong siswa berpikir, berlatih, dan merasakan pengalaman belajar secara nyata. Kepala sekolah pun berperan penting dengan mendukung terciptanya inovasi pembelajaran di kelas melalui kebijakan, fasilitas, maupun dukungan moral bagi guru. Pendidikan tidak cukup berhenti pada transfer informasi, melainkan harus mampu melahirkan pemahaman yang bermakna dan relevan dengan dunia nyata.
Salah satu tantangan terbesar dalam pembelajaran akuntansi adalah kesulitan siswa memahami konsep abstrak, khususnya dalam pencatatan transaksi kas. Bagi sebagian siswa, istilah debit dan kredit hanyalah rangkaian kata yang membingungkan tanpa makna nyata. Guru sering kali menemui hambatan ketika harus menjelaskan alur masuk dan keluarnya kas, terutama jika hanya menggunakan buku teks atau contoh soal di papan tulis. Sementara itu, dari perspektif kepala sekolah, kurangnya inovasi dalam metode pembelajaran membuat akuntansi tidak berkembang sesuai kebutuhan zaman. Padahal, di era sekarang, pembelajaran yang menyenangkan dan aplikatif sangat dibutuhkan agar siswa siap menghadapi dunia kerja maupun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Metode konvensional yang hanya menekankan hafalan prosedur pencatatan jelas berdampak pada minat belajar siswa. Mereka mungkin bisa mengerjakan soal secara mekanis, tetapi gagal memahami makna di balik angka-angka tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan kesenjangan antara teori dan praktik. Lebih jauh lagi, siswa menjadi kurang terampil ketika dihadapkan dengan situasi nyata di dunia kerja, misalnya dalam mengelola kas perusahaan atau membuat laporan sederhana.
Untuk mengatasi masalah tersebut, metode role playing atau bermain peran dapat menjadi solusi inovatif dalam pembelajaran akuntansi, khususnya pada materi pengelolaan kas. Bermain peran merupakan salah satu bentuk pembelajaran aktif yang menempatkan siswa sebagai subjek utama. Melalui metode ini, siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi terlibat langsung dalam simulasi yang menyerupai kondisi nyata. Mereka memerankan bagian-bagian tertentu dalam organisasi, menjalankan transaksi, mencatat, hingga menyusun laporan.
Metode bermain peran sangat relevan diterapkan pada materi kas. Dengan cara ini, siswa dapat memahami bahwa setiap transaksi keuangan selalu melibatkan pihak-pihak yang berbeda, ada yang menerima, mengeluarkan, maupun mengelola kas kecil. Aktivitas yang mereka lakukan dalam simulasi akan membantu menanamkan konsep secara lebih mendalam, karena pengalaman langsung lebih mudah diingat dibanding hanya membaca teori.
Langkah-langkah implementasi metode ini dapat dirancang sederhana namun efektif. Pertama, guru membagi siswa dalam kelompok kecil, masing-masing beranggotakan tiga orang. Pembagian kelompok kecil bertujuan agar setiap siswa memperoleh peran dan kesempatan berlatih secara aktif. Kedua, guru menetapkan peran dalam setiap kelompok: satu siswa bertugas sebagai bagian penerimaan kas, satu siswa sebagai bagian pengeluaran kas, dan satu siswa sebagai bagian kas kecil. Dengan pembagian peran ini, setiap siswa akan memahami fungsi dan tanggung jawab berbeda dalam pengelolaan kas.
Langkah berikutnya adalah simulasi transaksi. Guru menyiapkan skenario transaksi keuangan sederhana, misalnya penerimaan pembayaran dari pelanggan, pembayaran gaji karyawan, atau pengeluaran untuk biaya operasional. Siswa sesuai perannya melakukan pencatatan transaksi tersebut menggunakan format buku kas yang telah ditentukan. Proses simulasi ini akan menciptakan suasana kelas yang hidup, karena setiap kelompok harus berdiskusi, mencatat dengan teliti, dan memastikan setiap transaksi tercatat dengan benar.
Setelah semua transaksi selesai, kelompok diminta menyusun laporan kas berdasarkan hasil pencatatan mereka. Inilah bagian penting karena siswa belajar menghubungkan data transaksi harian dengan bentuk laporan yang sistematis. Guru kemudian memberikan umpan balik terhadap hasil kerja kelompok, baik dalam hal ketelitian pencatatan maupun kerapian laporan.
Hasil yang diharapkan dari penerapan metode ini cukup jelas. Pertama, siswa akan lebih mudah memahami alur pengelolaan kas secara praktis, karena mereka telah mengalami prosesnya secara langsung. Kedua, kemampuan pencatatan dan penyusunan laporan keuangan sederhana akan meningkat, sejalan dengan tuntutan kompetensi dasar dalam mata pelajaran akuntansi. Ketiga, pembelajaran ini juga menumbuhkan nilai-nilai kerja sama, komunikasi, dan tanggung jawab. Dalam kelompok, setiap siswa belajar bahwa tugas masing-masing sangat berpengaruh terhadap keberhasilan laporan bersama.
Manfaat tambahan dari metode ini adalah terciptanya suasana belajar yang lebih menyenangkan. Siswa tidak lagi hanya mendengarkan ceramah panjang atau mengerjakan soal, tetapi benar-benar mengalami bagaimana akuntansi bekerja dalam praktik. Guru pun akan lebih mudah melihat perkembangan pemahaman siswa, karena mereka dapat mengamati langsung cara siswa bekerja dalam kelompok. Kepala sekolah yang mendukung penerapan metode ini juga akan merasakan dampak positif, berupa meningkatnya kualitas pembelajaran dan kepuasan siswa terhadap pengalaman belajar mereka.
Dalam refleksi, metode bermain peran bukan hanya sekadar strategi untuk membuat pembelajaran akuntansi lebih menarik. Lebih dari itu, ia merupakan jembatan yang menghubungkan teori dengan praktik, abstraksi dengan kenyataan. Dengan membiasakan siswa belajar melalui simulasi, mereka akan lebih siap menghadapi dunia nyata, baik ketika bekerja maupun saat mengelola keuangan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, penting bagi guru dan kepala sekolah untuk mulai memikirkan adopsi metode serupa, tidak hanya di mata pelajaran akuntansi tetapi juga di bidang lain. Misalnya, pada mata pelajaran pemasaran, siswa dapat bermain peran sebagai penjual dan pembeli. Dalam mata pelajaran layanan perbankan, siswa bisa mensimulasikan aktivitas teller dan nasabah. Prinsipnya sama, yaitu memberikan pengalaman belajar yang kontekstual, aktif, dan bermakna.
Akhirnya, pembelajaran adalah proses menyalakan api, bukan sekadar mengisi wadah. Api itu akan menyala jika siswa merasa terlibat, tertantang, dan berkesempatan untuk berlatih. Metode bermain peran dalam pembelajaran akuntansi kas adalah salah satu upaya nyata untuk menyalakan api tersebut. Harapannya, semakin banyak guru yang terinspirasi untuk mencoba, dan semakin banyak kepala sekolah yang mendukung inovasi serupa, agar pendidikan di Indonesia melahirkan generasi yang cerdas, terampil, dan siap menghadapi masa depan.
Penulis : Setiyamada Rukmawati, Guru Akuntansi SMK Negeri 3 Jepara.