Bahasa adalah cerminan budaya dan jati diri suatu masyarakat. Di Jawa, bahasa tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga mengandung nilai-nilai kesopanan, etika, dan tata krama yang diwariskan turun-temurun. Bahasa Jawa memiliki kekayaan struktur yang unik, terutama pada sistem tingkat tutur atau undha usuk basa, yang membedakan penggunaan bahasa sesuai dengan lawan bicara, situasi, dan hubungan sosial. Sayangnya, di era modern ini, keterampilan berbahasa Jawa sesuai tingkat tutur semakin jarang dikuasai generasi muda. Padahal, jika hilang, bukan hanya kosakatanya yang punah, tetapi juga filosofi hidup yang terkandung di dalamnya.
Pelestarian bahasa Jawa menjadi tugas bersama, salah satunya melalui pendidikan formal di sekolah. Namun, pelaksanaan pembelajaran bahasa Jawa, khususnya pada materi tingkat tutur, sering menghadapi berbagai tantangan. Banyak siswa tidak memahami perbedaan antara ngoko, krama lugu, dan krama alus. Tidak jarang, mereka mencampuradukkan kosakata dari berbagai tingkat tutur dalam satu kalimat, tanpa memperhatikan konteks. Lebih memprihatinkan lagi, krama alus hampir tak pernah digunakan dalam percakapan sehari-hari, sehingga siswa kesulitan mengingat bahkan kosakata dasarnya.
Artikel ini akan membahas permasalahan yang dihadapi guru dalam mengajarkan tingkat tutur bahasa Jawa, strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasinya, serta hasil nyata dari intervensi pembelajaran yang dilakukan. Harapannya, tulisan ini dapat menjadi panduan praktis bagi pendidik lain untuk turut menjaga kelestarian bahasa Jawa.
Masalah utama yang sering muncul dalam pembelajaran tingkat tutur adalah minimnya pengetahuan awal siswa. Banyak dari mereka yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan campuran dengan bahasa asing. Akibatnya, penguasaan kosakata bahasa Jawa sangat terbatas. Mereka mungkin tahu arti kata dalam ngoko, tetapi bingung saat diminta menyebutkan padanan dalam krama lugu atau krama alus.
Kesalahan penggunaan juga menjadi masalah yang cukup serius. Siswa sering kali mencampur kata ngoko dan krama alus dalam satu kalimat. Misalnya, mereka mengatakan “Aku bade tindak” yang seharusnya tidak mungkin digunakan karena “aku” adalah ngoko, sedangkan “bade” adalah krama alus. Campur aduk seperti ini membuat pesan terdengar janggal dan menunjukkan bahwa siswa belum memahami konsep tingkat tutur secara utuh.
Selain itu, kurangnya praktik dalam kehidupan sehari-hari membuat kemampuan siswa semakin menurun. Di rumah, sebagian besar keluarga tidak lagi menggunakan krama alus untuk berbicara dengan anak-anak. Akibatnya, materi yang disampaikan di kelas cepat dilupakan karena tidak ada penguatan di luar sekolah. Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi membuat generasi muda tidak lagi memiliki keterampilan berbicara bahasa Jawa sesuai norma budaya.
Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan strategi pembelajaran yang tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga aplikatif dan menyenangkan. Tahap pertama adalah persiapan. Guru menyusun daftar 15 kosakata untuk setiap pertemuan, mencakup ngoko, krama lugu, dan krama alus. Pemilihan kata harus disesuaikan dengan tema yang dekat dengan kehidupan siswa, seperti aktivitas di rumah, sekolah, atau pasar. Selain itu, guru menyiapkan media pembelajaran berupa flashcard bergambar, tabel kosakata, dan video percakapan singkat. Media visual ini membantu siswa menghubungkan kata dengan maknanya secara cepat.
Tahap pelaksanaan dimulai dengan pengenalan kosakata. Guru menunjukkan flashcard bergambar, lalu siswa secara bergantian mengucapkan kosakata tersebut dalam tiga tingkat tutur. Setelah itu, dilakukan latihan identifikasi tingkat tutur, di mana siswa membaca kalimat yang disiapkan guru dan menentukan apakah kalimat tersebut menggunakan ngoko, krama lugu, atau krama alus.
Latihan mendengarkan juga menjadi bagian penting. Guru membacakan beberapa kalimat, lalu siswa diminta mengidentifikasi tingkat tutur yang digunakan. Cara ini melatih kepekaan mereka terhadap ragam bahasa Jawa dalam konteks nyata.
Untuk memperkuat ingatan kosakata, digunakan permainan bahasa. Salah satunya adalah permainan “rantai kosakata”, di mana seorang siswa menyebutkan kata dalam ngoko, lalu siswa lain menjawab padanannya dalam krama lugu dan krama alus. Ada pula memory game yang menggunakan kartu kosakata untuk melatih daya ingat sambil menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Hasil dari penerapan strategi ini cukup signifikan. Skor penguasaan kosakata siswa meningkat dari rata-rata 58 menjadi 84 setelah enam minggu pembelajaran. Kesalahan penggunaan tingkat tutur pun menurun drastis, dari 70% menjadi hanya 20%. Lebih menggembirakan lagi, permainan kosakata membuat hampir seluruh siswa aktif berpartisipasi, bahkan mereka yang sebelumnya pasif mulai berani mencoba berbicara menggunakan krama alus.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa Jawa, khususnya tingkat tutur, akan lebih efektif jika menggunakan media visual, latihan interaktif, dan permainan yang relevan. Guru yang konsisten dan kreatif mampu menciptakan suasana belajar yang tidak membosankan, sekaligus menanamkan nilai-nilai budaya.
Pelestarian bahasa Jawa bukan sekadar mempertahankan kata dan kalimat, tetapi juga menjaga filosofi hidup masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan, penghormatan, dan harmoni. Oleh karena itu, metode pembelajaran seperti ini layak diterapkan di sekolah-sekolah lain. Dengan kolaborasi antara guru, siswa, dan keluarga, bahasa Jawa akan tetap hidup dan berkembang, menjadi warisan budaya yang tidak lekang oleh waktu.
Penulis : Laili Murfingah,S.Pd, Guru Basa Jawa SMPN 3 Pekuncen