Dalam setiap denyut kehidupan masyarakat Jawa, tersimpan nilai-nilai luhur yang membentuk identitas dan kepribadian bangsa. Salah satu nilai yang menjadi inti dari tata pergaulan adalah unggah-ungguh—sebuah konsep yang tidak sekadar mengatur sopan santun dalam bertutur dan bertindak, tetapi juga mencerminkan kesadaran akan posisi diri, penghormatan terhadap orang lain, dan keseimbangan dalam hubungan sosial. Dalam bahasa sederhana, unggah-ungguh adalah wujud nyata dari rasa hormat dan etika yang menjadi pondasi dalam interaksi manusia.
Bagi masyarakat Jawa, unggah-ungguh ibarat napas yang menghidupkan tatanan sosial. Ia bukan hanya sekadar aturan perilaku, melainkan cermin dari kehalusan budi dan kematangan jiwa. Di dalamnya terkandung filosofi mendalam tentang bagaimana seseorang menempatkan diri di hadapan orang lain, bagaimana ia menjaga tutur kata, dan bagaimana ia mengekspresikan sikap hormat tanpa kehilangan jati diri. Nilai ini membentuk sistem moral yang menekankan keseimbangan, tenggang rasa, dan keselarasan hidup.
Namun, di tengah arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu cepat, unggah-ungguh mulai kehilangan tempatnya di hati generasi muda. Anak-anak dan remaja masa kini tumbuh dalam lingkungan digital yang serba instan, egaliter, dan cenderung bebas nilai. Interaksi mereka lebih banyak terjadi melalui layar gawai dibandingkan tatap muka, sehingga nilai-nilai kesopanan, penghormatan, dan kepekaan sosial perlahan memudar. Di sekolah, di rumah, bahkan di ruang publik, kita sering menjumpai fenomena yang menunjukkan betapa unggah-ungguh mulai dianggap kuno dan tidak relevan dengan zaman. Padahal, di sanalah letak tantangan besar pendidikan karakter hari ini: bagaimana mengembalikan unggah-ungguh sebagai bagian dari kepribadian generasi muda yang modern namun tetap berakar pada budaya.
Permasalahan yang dihadapi saat ini tidak hanya sekadar hilangnya kebiasaan, tetapi juga pergeseran nilai dalam perilaku sehari-hari. Siswa semakin jarang memberi salam ketika bertemu guru, menggunakan bahasa yang sopan, atau menunjukkan sikap hormat terhadap orang yang lebih tua. Perilaku sederhana seperti menundukkan kepala saat menyapa, berbicara dengan intonasi lembut, atau mendengarkan dengan penuh perhatian, perlahan hilang dari keseharian mereka. Unggah-ungguh yang dulu menjadi cermin budi pekerti kini sering tergantikan oleh gaya komunikasi yang spontan dan santai, tanpa batas hierarki sosial.
Salah satu penyebab utamanya adalah minimnya pengalaman langsung dalam praktik kehidupan yang mencerminkan unggah-ungguh. Di banyak keluarga, nilai-nilai sopan santun tidak lagi ditanamkan secara konsisten. Anak-anak lebih banyak belajar dari media sosial daripada dari interaksi dengan orang tua atau tokoh masyarakat. Di sisi lain, pendidikan formal di sekolah juga belum memberikan ruang yang cukup untuk memperkenalkan nilai-nilai budaya lokal secara kontekstual. Pelajaran budi pekerti sering kali berhenti pada teori tanpa memberi pengalaman nyata. Guru mungkin menjelaskan tentang sopan santun, tetapi lingkungan sekolah sendiri tidak selalu menjadi contoh yang hidup bagi para siswa.
Selain itu, kurangnya teladan juga menjadi faktor penting. Ketika orang dewasa di sekitar anak tidak menunjukkan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai unggah-ungguh, maka pesan moral yang ingin disampaikan menjadi kehilangan makna. Di era digital culture ini, gaya komunikasi masyarakat—terutama anak muda—lebih mengarah pada kesetaraan dan keakraban yang tanpa batas, bahkan terhadap orang yang lebih tua. Budaya egalitarian memang membawa nilai positif berupa keterbukaan, tetapi tanpa pengendalian, ia juga bisa mengikis rasa hormat dan tata krama yang telah diwariskan turun-temurun.
Dalam situasi seperti ini, sekolah memiliki peran yang sangat strategis. Ia bukan sekadar tempat untuk menimba ilmu pengetahuan, tetapi juga wahana pembentukan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah berbagai tantangan modernisasi, sekolah dapat menjadi benteng terakhir untuk menanamkan kembali semangat unggah-ungguh kepada peserta didik. Harapan minimalnya adalah agar setiap siswa mampu menerapkan sopan santun dalam interaksi sehari-hari di lingkungan sekolah—baik dengan guru, staf, maupun sesama teman. Dari kebiasaan kecil itulah kesadaran budaya akan tumbuh dan mengakar.
Strategi untuk menanamkan kembali nilai unggah-ungguh tidak bisa dilakukan secara konvensional. Diperlukan pendekatan yang kreatif, kontekstual, dan menyenangkan agar siswa dapat menginternalisasi nilai-nilai tersebut tanpa merasa digurui. Salah satu cara efektif adalah melalui pembelajaran berbasis cerita rakyat dan kisah inspiratif. Cerita seperti Timun Mas, Ande-Ande Lumut, atau legenda Rara Jonggrang bukan hanya mengandung unsur hiburan, tetapi juga menyimpan pesan moral tentang kejujuran, penghormatan, dan kebijaksanaan. Melalui diskusi nilai dari kisah-kisah ini, siswa belajar memahami makna unggah-ungguh secara lebih konkret.
Metode interaktif juga dapat menjadi jembatan yang efektif. Kegiatan seperti role playing, permainan card game berisi nilai sopan santun, teka-teki silang, atau video animasi edukatif bisa membantu siswa memahami situasi sosial dan cara bersikap dengan tepat. Misalnya, dalam kegiatan role playing, siswa berlatih menjadi tokoh-tokoh dalam situasi tertentu—menyapa guru, meminta izin, atau berkomunikasi dengan teman. Dari latihan seperti ini, mereka belajar bukan hanya tentang apa yang benar, tetapi juga bagaimana menerapkannya secara alami.
Selain pembelajaran, keteladanan guru dan staf sekolah menjadi kunci keberhasilan. Seorang guru yang selalu mengucapkan salam, mendengarkan dengan sabar, dan menegur dengan cara yang santun akan menjadi contoh hidup bagi siswanya. Konsistensi perilaku inilah yang perlahan menanamkan pemahaman bahwa unggah-ungguh bukan aturan yang mengekang, melainkan bentuk penghormatan terhadap martabat manusia. Di sisi lain, budaya komunikasi positif perlu diciptakan di sekolah. Siswa didorong untuk berani menyapa, berterima kasih, atau meminta maaf dengan cara yang sopan. Sekolah yang hangat dan penuh rasa hormat akan menjadi ruang belajar karakter yang lebih efektif daripada seribu nasihat.
Kegiatan budaya Jawa juga dapat menjadi sarana yang kuat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai unggah-ungguh. Melalui kegiatan seperti wayang kulit, karawitan, atau latihan gamelan, siswa tidak hanya mengenal kesenian tradisional, tetapi juga mempelajari filosofi di baliknya. Dalam wayang kulit, misalnya, tokoh-tokohnya selalu menampilkan dialog penuh makna tentang etika dan tata krama. Sementara dalam latihan gamelan, siswa belajar tentang harmoni, kebersamaan, dan kesabaran—semua nilai yang sejatinya merupakan bagian dari unggah-ungguh.
Tak kalah penting, sekolah juga dapat membangun sistem penghargaan untuk menumbuhkan motivasi intrinsik siswa. Apresiasi sederhana seperti ucapan terima kasih di depan kelas, piagam penghargaan, atau sekadar pujian dari guru dapat menjadi dorongan besar bagi anak-anak untuk terus menampilkan perilaku sopan. Ketika siswa merasa dihargai karena sikapnya yang santun, ia akan memahami bahwa unggah-ungguh adalah sesuatu yang bernilai, bukan sekadar kewajiban.
Namun, keberhasilan pendidikan karakter tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah. Kolaborasi dengan orang tua menjadi kunci agar nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah mendapat penguatan di rumah. Edukasi kepada orang tua tentang pentingnya konsistensi perilaku, bahasa yang digunakan di rumah, dan cara memberi teladan kepada anak perlu terus dilakukan. Ketika nilai sopan santun dipraktikkan secara berkesinambungan antara rumah dan sekolah, maka akan terbentuk ekosistem pendidikan karakter yang kuat dan berkelanjutan.
Dampaknya akan terasa seiring waktu. Siswa yang terbiasa berperilaku sopan akan tumbuh menjadi pribadi yang sadar akan nilai-nilai moral dan budaya. Mereka akan memiliki kemampuan sosial yang lebih baik, empati yang tinggi, serta kepekaan dalam menghormati perbedaan. Lebih dari itu, unggah-ungguh akan menjadi identitas diri yang membedakan mereka di tengah masyarakat modern yang cenderung serba cepat dan individualistis.
Perubahan ini tidak akan terjadi secara instan, tetapi ketika sekolah, guru, orang tua, dan lingkungan bekerja bersama, unggah-ungguh tidak lagi menjadi teori usang. Ia hidup kembali dalam praktik sehari-hari: dalam senyum yang tulus, dalam ucapan salam, dalam cara berbicara, bahkan dalam tindakan kecil seperti menolong teman tanpa pamrih. Semua itu adalah wujud nyata dari karakter bangsa yang beradab dan berakar kuat pada nilai budaya.
Pada akhirnya, unggah-ungguh bukan hanya warisan budaya Jawa, tetapi juga refleksi universal tentang bagaimana manusia saling menghormati. Dalam dunia yang semakin terbuka dan dinamis, nilai ini justru menjadi semakin relevan. Sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar warisan luhur ini tidak terkikis zaman, melainkan tumbuh dan berkembang dalam konteks kekinian. Dengan pendekatan yang kreatif, kolaboratif, dan penuh keteladanan, unggah-ungguh dapat menjadi fondasi karakter yang kuat bagi generasi penerus bangsa—generasi yang modern, cerdas, dan tetap beradab.
Penulis : Wulandari, Guru Basa Jawa SMA Islam Sultan Agung 1 Semarang