Pernahkah Anda masuk ke kelas, lalu mendapati sebagian siswa tertidur di meja, beberapa mengutak-atik ponsel, dan sisanya hanya duduk pasif tanpa interaksi? Pemandangan itu tentu membuat hati guru manapun terenyuh. Proses belajar yang seharusnya menjadi momen berharga justru kehilangan ruhnya. Inilah yang penulis alami di suatu siang, saat pergantian jam pelajaran. Kelas yang diharapkan kondusif dan penuh semangat ternyata jauh dari harapan. Kondisi ruangan berantakan, suasana lesu, dan wajah-wajah murid tidak menunjukkan antusiasme sedikit pun.
Rasa penasaran membuat penulis mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Daripada langsung menegur, penulis memutuskan untuk melakukan survei dadakan. Setiap siswa diminta menuliskan jawaban di sticky note terkait minat dan kebutuhan belajar seperti apa yang mereka inginkan. Hasilnya sungguh mengejutkan. Mayoritas siswa mengeluhkan pembelajaran yang monoton, penuh tekanan, terlalu banyak tugas, dan minim suasana santai. Banyak dari mereka merasa kelas hanya menjadi rutinitas formal yang harus dijalani, bukan pengalaman belajar yang menyenangkan.
Temuan ini membuka mata bahwa motivasi belajar siswa berada pada titik yang memprihatinkan. Tidak mengherankan jika selama pelajaran berlangsung, sebagian siswa memilih untuk berbaring di meja, mengantuk, memainkan gawai, atau sekadar diam tanpa interaksi. Keadaan ini jelas bertolak belakang dengan tujuan pendidikan yang menekankan keaktifan, kreativitas, dan keterlibatan siswa dalam proses belajar.
Melihat tantangan tersebut, penulis sadar bahwa diperlukan langkah konkret untuk menghidupkan kembali semangat belajar. Langkah pertama adalah melakukan asesmen awal dan menyusun keyakinan kelas bersama siswa. Asesmen awal tidak hanya berfokus pada kemampuan akademik, tetapi juga pada aspek non-kognitif seperti hobi, minat belajar, dan kebiasaan belajar di rumah. Dari asesmen ini, terungkap bahwa siswa memiliki gaya belajar yang beragam: ada yang visual, ada yang audio-visual, dan ada pula yang kinestetik. Satu kesamaan yang menarik adalah banyak siswa mengaku senang bermain.
Dari titik ini, penulis memutuskan untuk mendesain modul ajar yang memadukan pembelajaran dengan permainan. Materi yang dipilih adalah teks deskriptif, dan metode yang digunakan adalah permainan daring melalui aplikasi Gimkit dengan mode permainan Snowbrawl.
Persiapan dimulai dengan menyusun rencana pembelajaran yang selaras dengan minat dan kebutuhan siswa. Soal-soal berbentuk pilihan ganda dibuat dalam jumlah lima, dengan tema “Where Are You Going?” yang mengangkat topik tempat wisata di Jawa Tengah. Setiap soal dilengkapi gambar menarik dari berbagai destinasi seperti Candi Borobudur, Karimunjawa, hingga Dieng Plateau. Gambar-gambar ini tidak hanya berfungsi sebagai ilustrasi, tetapi juga sebagai stimulus untuk memancing rasa ingin tahu siswa.
Di awal pembelajaran, penulis menyajikan beberapa pertanyaan pemantik yang bersifat terbuka. Pertanyaan ini memanfaatkan gambar tempat wisata, sehingga siswa terdorong untuk mengungkapkan pendapat dan pengetahuannya. Guru kemudian menjelaskan tujuan pembelajaran hari itu, dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai fungsi sosial, struktur teks, dan unsur kebahasaan dalam teks deskriptif.
Setelah pemahaman dasar diberikan, saatnya memasuki sesi inti: bermain sambil belajar dengan Gimkit. Siswa diminta mengakses laman Gimkit.join, memasukkan kode permainan, dan mengetik nama mereka. Mode Snowbrawl yang dipilih memungkinkan siswa bermain secara individu sambil bersaing dengan teman-teman mereka. Mekanismenya sederhana namun seru—untuk bisa “menembak” pemain lain, siswa harus mengumpulkan energi. Energi ini hanya bisa diperoleh jika mereka menjawab soal dengan benar. Setiap jawaban tepat memberi mereka kekuatan untuk melancarkan serangan ke lawan.
Suasana kelas pun berubah drastis. Sorakan, tawa, dan teriakan riuh terdengar di setiap sudut ruangan. Meski gaduh, suasana ini justru menunjukkan adanya interaksi dan keterlibatan aktif siswa. Mereka tidak hanya berlomba mendapatkan nilai tertinggi, tetapi juga saling memotivasi untuk menjawab pertanyaan dengan benar. Guru yang sebelumnya khawatir dengan kelas yang pasif, kini justru harus tersenyum melihat siswa begitu bersemangat.
Dampak dari pembelajaran ini terasa nyata. Siswa menjadi lebih fokus, karena mereka ingin tetap bertahan di permainan dan mengumpulkan poin sebanyak mungkin. Mereka secara tidak sadar mengulang kosakata, memahami struktur teks, dan mengingat detail materi hanya demi bisa “menembak” lawan. Inilah kekuatan pembelajaran berbasis permainan—materi yang biasanya terasa kaku berubah menjadi pengalaman yang mengasyikkan.
Refleksi dari pengalaman ini memberikan pelajaran berharga. Mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga bagaimana memahami minat dan kebutuhan belajar siswa. Guru yang peka terhadap kondisi kelas akan mampu menciptakan suasana belajar yang lebih menyenangkan, tanpa mengorbankan tujuan pembelajaran. Kebisingan yang muncul selama permainan tidak lagi dianggap gangguan, melainkan indikator bahwa pembelajaran sedang berlangsung dengan baik. Lebih baik kelas gaduh karena siswa aktif belajar daripada hening tanpa hasil.
Pembelajaran berbasis Gimkit bukan hanya alternatif, tetapi juga sebuah inovasi yang layak dicoba oleh guru di berbagai mata pelajaran. Aplikasi ini memadukan unsur kompetisi, kolaborasi, dan kesenangan, sehingga siswa terdorong untuk berpartisipasi penuh. Apalagi, dengan fitur-fitur interaktif seperti Snowbrawl, guru dapat mengemas materi dengan cara yang lebih segar dan relevan bagi generasi digital saat ini.
Pada akhirnya, kunci keberhasilan terletak pada kemauan guru untuk berkreasi dan beradaptasi. Dunia pendidikan terus berubah, begitu pula cara belajar siswa. Jika guru mampu memanfaatkan teknologi dan pendekatan kreatif seperti Gimkit, maka proses belajar tidak lagi menjadi rutinitas membosankan, melainkan petualangan yang dinantikan setiap minggu. Dan saat itulah, kelas yang dulu lesu akan berubah menjadi arena belajar yang hidup, penuh semangat, dan bermakna.
Penulis : Mulyati, Guru SMA Negeri 1 Wedung Kab. Demak