“Bangsa yang besar itu bangsa yang bisa bersyukur. Tapi hati-hati, jangan sampai rasa syukurmu kebablasan jadi syukur yang bikin males berubah.” — Itu salahatu pesan sesepuh bangsa. (kalau beliau hidup di zaman medsos, mungkin beliau akan menambahkan emotikon 🙂 di ujung kalimatnya).
Indonesia ini negeri aneh, tapi justru di situlah letak indahnya. Tanahnya subur, lautnya luas, gunungnya gagah, hutannya kalau belum dibabat investor ya masih lumayan jadi paru-paru. Tapi yang paling unik bukan itu. Yang paling ajaib justru: kita masih bisa ketawa meskipun tiap hari ada alasan buat nangis. Itu kekuatan bangsa ini.
Coba lihat jalan raya kita. Macet luar biasa. Orang di kota-kota besar, seperti Jakarta sepertinya sudah fasih bilang: “Macet itu rezeki.” Bayangkan kalau jalanan kosong—itu tandanya ekonomi mati, rakyat nggak punya duit buat beli bensin, bahkan ojol pun pensiun dini. Jadi, macet kita syukuri. Meski syukur sambil ngedumel, nggak apa-apa. Bukankah Tuhan suka doa yang kreatif?
Anak-anak kita sekarang dapat makan siang gratis di sekolah. Wah, luar biasa. Dulu nenek moyang kita makan nasi aking, sekarang cucu-cucu kita makan nasi yang beneran. Negara-negara lain mungkin iri, tapi kita tetap bisa ketawa sambil komentar, “Lauknya cuma segini, Bu?” Itulah syukur gaya Indonesia: menerima nikmat sambil ngedumel biar balance.
Pegawai negeri mulai dapat gaji yang layak. Nah, ini juga lucu. Kalau dulu banyak yang malu bilang PNS karena gajinya kecil, sekarang malu kalau ketahuan malas padahal gajinya lumayan. Tapi jangan salah, tetap ada yang kreatif cari penghasilan tambahan. Ada PNS yang jadi youtuber, ada juga yang jadi “pemain anggaran.” Luar biasa talenta bangsa ini: multitalenta.
Di bidang kesehatan, katanya sekarang lebih mudah. Tapi jangan kaget kalau di rumah sakit, antrean BPJS itu lebih panjang daripada antrean konser Coldplay. Syukurnya, kalau kita sakit masih ada harapan ditolong. Dulu kalau miskin, sakit itu sama saja dengan menunggu takdir. Sekarang, sakit bisa jadi hiburan: bisa update status, “lagi opname, doain ya gaes 🙏.”
Wirausaha juga tumbuh subur. Akses kredit gampang. Anak muda dengan modal nekat dan sedikit utang bisa langsung buka kafe. Menunya kopi sachet, tapi suasana dan tata ruangnya sangat apik, Instagrammable. Itulah Indonesia: kemasan lebih penting dari isi. Kalau soal branding, kita juara dunia.
Nah, di titik ini kita harus bersyukur. Tapi jangan kebablasan. Syukur itu jangan bikin kita buta sama luka.
Masih ada guru honorer yang gajinya lebih kecil dari kuota internet muridnya. Di kelas mereka ngajari anak-anak bercita-cita jadi presiden, tapi di rumah mereka bingung besok makan apa. Lebih bingung lagi saat anaknya sendiri mulai butuh biaya kuliah : mahal karena kampus negeri pun sudah jadi badan usaha. Lucu, tapi getir. Ini bangsa yang bisa menghidupi 270 juta orang, tapi kadang lupa menghidupi orang yang paling berjasa: guru.
Masih ada sekolah dengan atap bocor, lantai lapuk, dinding nyaris roboh. Anak-anak belajar membaca huruf sekaligus membaca rasa sabar. Indonesia memang kreatif: murid belajar dua kurikulum sekaligus—kurikulum nasional dan kurikulum penderitaan.
Dan hukum? Ah, hukum kita itu seperti alat penjepit kertas. Kalau rakyat kecil salah, langsung dijepit keras-keras. Kalau pejabat salah, alat jepitnya dilonggarkan, bahkan kadang dibelikan penjepit baru. Lalu kita diajari percaya bahwa semua sama di mata hukum. Ya betul, sama-sama bisa ditonton rakyat lewat televisi atau media sosial milik konten kreator.
Di sini syukur kita diuji. Apakah syukur itu sekadar “nrimo” dan tutup mata? Ataukah syukur itu bahan bakar untuk memperbaiki keadaan? Pilihan terserah masing-masing.
Kemerdekaan itu bukan hadiah, tapi amanah. Amanah itu berat, makanya sering dijadikan bahan pidato, bukan bahan tindakan.
Tokoh bijak bangsa bilang: jangan tunggu dunia berubah, mulailah dari dirimu sendiri. Ya, mulai dari hal-hal kecil. Misalnya: jangan korupsi waktu di kantor. Jangan lempar sampah sembarangan. Jangan malas baca. Jangan malas mikir. Jangan suka ngutang dan konsumtif. Jangan suka menyalahkan orang lain padahal kita sendiri masih hobi rebahan.
Dan satu hal penting: berani melakukan kebaikan walau kelihatan aneh. Guru honorer yang tetap ngajar dengan senyum meski gajinya mirip uang jajan, itu aneh. Warga RT yang bersih-bersih selokan meski tetangga nyinyir, itu juga aneh. Orang-orang aneh seperti ini berani bilang “tidak” meski semua orang bilang “iya.”
Rendra pernah bilang: kalau semua orang takut tampak aneh, bangsa ini akan beku. Justru karena ada orang yang berani aneh, lahirlah perubahan.
Maka, mari kita syukuri Indonesia dengan cara yang paling masuk akal: bukan cuma mengucap “alhamdulillah,” tapi juga berani “astaghfirullah” ketika melihat kebobrokan. Kita boleh marah, boleh kecewa, boleh sinis dan pesimis melihat keadaan. Tapi jangan berhenti di situ. Syukur sejati itu bukan pasrah, tapi terus berjuang.
Dirgahayu Indonesiaku.
Syukuri apa yang ada hari ini: masih bisa ketawa di tengah ironi. Dan siapa tahu, dari ketawa itu lahirlah tenaga untuk memperbaiki bangsa.
Ajibarang, 18 Agustus 2025
Penulis : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, Kepala SMP Negeri 1 Cilongok