Pendidikan Pancasila memiliki posisi yang begitu penting dalam membentuk karakter dan nilai kebangsaan generasi muda Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bukan sekadar doktrin yang harus dihafalkan, melainkan sebuah panduan hidup yang seharusnya dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam keseharian. Di dalamnya terkandung ajaran tentang keadilan, kebersamaan, toleransi, penghormatan terhadap kemanusiaan, serta tanggung jawab sebagai warga negara. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran Pendidikan Pancasila masih sering berjalan secara formalitas, sebatas transfer pengetahuan dari guru kepada siswa, tanpa memberi ruang yang cukup bagi siswa untuk mengeksplorasi, bertanya, dan berpikir kritis. Padahal, dalam konteks pendidikan abad ke-21 yang menuntut critical thinking, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi, metode yang statis semacam itu sudah tidak relevan lagi.
Tantangan bagi para pendidik tentu tidak sederhana. Guru kerap menghadapi siswa yang pasif, enggan bertanya, bahkan menunjukkan minat yang rendah terhadap mata pelajaran ini. Bagi sebagian besar siswa, Pendidikan Pancasila dianggap membosankan, penuh hafalan, dan jauh dari realitas hidup mereka sehari-hari. Padahal, esensi dari pembelajaran ini justru untuk menjembatani nilai-nilai luhur bangsa dengan praktik kehidupan nyata, agar siswa memiliki arah moral dan etika yang kokoh dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Melalui artikel ini, kita akan menelaah masalah-masalah yang kerap muncul dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila, lalu mengurai langkah-langkah solutif yang bisa ditempuh guru untuk menghidupkan kelas melalui pendekatan yang berpusat pada siswa. Pembahasan ini juga akan menyingkap hasil-hasil yang tampak nyata ketika siswa diberikan ruang untuk aktif, bertanya, dan terlibat penuh dalam proses belajar.
Salah satu masalah paling mendasar adalah kesulitan siswa dalam kemampuan bertanya. Budaya di ruang kelas kita sering kali masih menempatkan guru sebagai sumber kebenaran yang absolut. Akibatnya, siswa merasa tidak perlu mengajukan pertanyaan karena jawaban sudah tersedia dari guru. Bahkan, jika ada pertanyaan yang muncul, siswa sering kali ragu menyampaikannya karena khawatir dianggap salah atau dianggap “tidak pintar.” Rasa takut untuk salah ini tumbuh menjadi penghambat yang serius, menjadikan mereka semakin pasif.
Selain itu, banyak siswa yang cenderung kurang percaya diri. Mereka merasa suaranya tidak penting, pendapatnya tidak bernilai, atau idenya tidak akan diterima. Situasi ini semakin diperparah dengan minimnya ruang eksplorasi dalam pembelajaran. Padahal, Pendidikan Pancasila seharusnya menjadi wadah bagi siswa untuk berdiskusi tentang isu-isu moral, sosial, dan kebangsaan, di mana setiap suara seharusnya mendapat tempat. Tanpa ruang itu, siswa hanya menjadi penerima informasi pasif, bukan subjek yang aktif membangun makna.
Masalah lain yang kerap muncul adalah rendahnya minat belajar. Tidak sedikit siswa yang menganggap mata pelajaran ini sebagai pelengkap semata, bukan sesuatu yang menantang atau menyenangkan. Model pembelajaran yang monoton, berupa ceramah panjang dan hafalan, memperkuat anggapan tersebut. Guru terlalu dominan dalam menyampaikan materi, sementara siswa hanya diminta mendengarkan dan mencatat. Orientasi pembelajaran masih berpusat pada guru, bukan pada siswa, sehingga interaksi yang tercipta pun terbatas.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan ini, guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah menggunakan pertanyaan pemantik. Guru dapat memulai pembelajaran dengan pertanyaan terbuka yang relevan dengan tema yang akan dibahas. Pertanyaan seperti “Mengapa nilai gotong royong semakin sulit ditemukan di lingkungan sekitar kita?” atau “Apa jadinya jika masyarakat tidak lagi menjunjung tinggi keadilan?” dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya mengarahkan perhatian mereka, tetapi juga memberi ruang untuk berpikir reflektif sekaligus kritis.
Langkah berikutnya adalah memberi kesempatan kepada siswa untuk menulis pertanyaan. Guru dapat menyediakan selembar kertas atau media digital, lalu meminta siswa menuliskan hal-hal yang ingin mereka ketahui sebelum diskusi dimulai. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian dibacakan dan dijadikan pemicu dialog kelas. Dengan cara ini, siswa merasa memiliki peran dalam menentukan arah pembelajaran, sekaligus melatih keberanian mereka untuk menyampaikan rasa ingin tahunya.
Selain memantik pertanyaan, guru juga perlu menerapkan model pembelajaran variatif. Diskusi kelompok, presentasi, role play, atau metode problem-based learning bisa menjadi alternatif yang membuat suasana kelas lebih hidup. Aktivitas kolaboratif semacam ini memungkinkan siswa untuk saling bertukar ide, menghargai pendapat orang lain, dan belajar menyampaikan argumen dengan percaya diri. Suasana belajar yang dinamis membuat mereka merasa bahwa Pendidikan Pancasila bukan lagi pelajaran yang membosankan, melainkan ruang untuk bereksperimen dan menemukan makna.
Dalam pendekatan ini, guru berperan bukan lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan sebagai fasilitator. Guru bertugas membimbing jalannya diskusi, memberikan refleksi atas pendapat siswa, dan menciptakan ruang yang aman bagi mereka untuk bertanya. Keberadaan guru sebagai fasilitator juga berarti memberi kepercayaan lebih kepada siswa untuk mengeksplorasi pemahamannya sendiri. Dengan demikian, pembelajaran benar-benar berorientasi pada siswa, bukan sekadar guru.
Hasil dari pendekatan yang berpusat pada siswa ini cukup signifikan. Siswa yang sebelumnya enggan berbicara mulai berani menyampaikan pendapat. Mereka yang awalnya takut salah justru terdorong untuk mencoba bertanya, meski sederhana. Proses ini menumbuhkan rasa percaya diri yang perlahan-lahan memperkuat karakter mereka. Pendidikan Pancasila, pada akhirnya, tidak hanya menjadi ruang untuk memahami teori, tetapi juga latihan nyata untuk membangun keberanian bersuara.
Aktivitas belajar pun meningkat. Diskusi kelas yang sebelumnya sepi kini lebih hidup dengan interaksi yang dinamis. Siswa berpartisipasi aktif dalam presentasi kelompok, saling menanggapi pendapat, bahkan berdebat dengan sehat. Aktivitas semacam ini bukan hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga mengasah kemampuan komunikasi, kerja sama, dan kepemimpinan. Mereka belajar bahwa nilai-nilai Pancasila tidak hanya berhenti pada teks, melainkan harus dihidupkan melalui sikap dan tindakan nyata dalam proses belajar.
Tidak kalah penting, suasana kelas menjadi lebih menyenangkan. Guru tidak lagi memandang dirinya sebagai pusat, melainkan sebagai mitra belajar. Siswa merasa dihargai dan didengarkan, sehingga muncul motivasi intrinsik untuk terlibat lebih jauh. Pembelajaran yang semula terasa monoton berubah menjadi pengalaman yang ditunggu-tunggu. Tujuan pembelajaran pun tercapai dengan lebih baik karena lahir dari interaksi yang penuh makna.
Semua hasil ini menunjukkan betapa pentingnya inovasi dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila. Inovasi bukan sekadar variasi metode, tetapi lebih pada bagaimana guru mampu membuka ruang kebebasan berpikir, memantik pertanyaan, dan mendorong siswa untuk menjadi subjek yang aktif. Pendidikan Pancasila yang diajarkan dengan cara ini akan benar-benar menjadi alat pembentuk karakter, bukan sekadar formalitas kurikulum.
Ke depan, pendekatan semacam ini perlu diterapkan lebih luas di berbagai sekolah. Pancasila adalah identitas bangsa, dan mengajarkannya dengan cara yang membangkitkan partisipasi siswa berarti menjaga agar nilai-nilai luhur itu tetap hidup. Guru memiliki peran sentral dalam menyalakan api keinginan untuk belajar, api yang akan terus menyala jika diberi ruang untuk tumbuh.
Akhirnya, mari kita refleksikan kembali bahwa pendidikan sejati adalah tentang mendengarkan suara siswa. Guru perlu terus berinovasi, mencoba metode baru, dan berani keluar dari zona nyaman ceramah panjang. Ajakan ini bukan hanya untuk menghidupkan pembelajaran Pendidikan Pancasila, tetapi juga untuk menumbuhkan generasi yang kritis, percaya diri, dan berkarakter. Sebab, hanya dengan cara inilah kita bisa memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila tidak hanya diajarkan, tetapi benar-benar hidup dalam diri setiap anak bangsa.
Penulis : Toto Eriyanto, SH, Guru PPKn SMP Negeri 3 Pekuncen