Di setiap rumah tangga, hampir pasti ada alat listrik atau elektronik yang sudah tidak berfungsi. Mulai dari setrika yang mati total, kipas angin yang baling-balingnya macet, hingga televisi yang tidak lagi menampilkan gambar. Sayangnya, banyak dari barang-barang ini hanya dibiarkan menumpuk di sudut rumah, menambah sesak ruangan, atau akhirnya berakhir di tempat pembuangan sampah. Kondisi ini tentu tidak hanya merugikan dari sisi kebersihan rumah tangga, tetapi juga menciptakan persoalan lingkungan karena barang elektronik bekas membutuhkan waktu lama untuk terurai. Di sisi lain, sekolah kejuruan atau sekolah dengan jurusan listrik-elektronika menghadapi tantangan besar terkait pengadaan alat praktik. Dengan keterbatasan anggaran yang ada, sulit bagi sekolah untuk memenuhi kebutuhan media praktik siswa. Padahal, praktik langsung jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar mempelajari teori dari buku teks atau tayangan video.
Situasi inilah yang memunculkan sebuah gagasan kreatif: bagaimana jika barang-barang elektronik rusak di rumah disulap menjadi media pembelajaran di sekolah? Sebuah ide sederhana, tetapi memiliki potensi besar dalam menjawab dua persoalan sekaligus, yakni masalah sampah elektronik di rumah dan keterbatasan alat praktik di sekolah. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan solusi praktis, tetapi juga membuka ruang bagi siswa untuk berlatih keterampilan teknis sekaligus mengasah nilai kepedulian sosial dan keberlanjutan.
Masalah yang dihadapi sebenarnya cukup kompleks. Pertama, alat elektronik rusak sering kali menumpuk di rumah-rumah masyarakat. Bukan karena enggan dibuang, melainkan karena tidak ada tempat atau mekanisme yang tepat untuk menyalurkannya. Sebagian besar keluarga tidak memiliki gudang penyimpanan, sehingga barang-barang rusak ini hanya memenuhi sudut rumah dan menciptakan kesan berantakan. Akhirnya, mereka pun membuang barang tersebut begitu saja ke tempat sampah, meskipun sebenarnya masih ada komponen yang bisa digunakan kembali.
Kedua, sekolah, khususnya SMK yang memiliki jurusan listrik dan elektronika, menghadapi kenyataan bahwa anggaran pengadaan alat praktik sangat terbatas. Setiap tahun, kebutuhan akan peralatan dan komponen baru terus meningkat seiring jumlah siswa yang semakin banyak. Namun, kenyataannya dana sekolah tidak selalu mampu mengimbangi kebutuhan tersebut. Akibatnya, siswa sering kali belajar teori tanpa didukung pengalaman langsung yang memadai. Padahal, dalam bidang keterampilan, pengalaman praktik adalah kunci utama keberhasilan pembelajaran.
Melihat kondisi ini, muncul sebuah solusi kreatif berupa inisiatif donasi alat elektronik bekas. Sekolah bisa mengambil langkah sederhana dengan mengajak guru, staf, orang tua, serta siswa sendiri untuk menyumbangkan alat listrik atau elektronik yang sudah tidak terpakai dari rumah. Barang-barang tersebut tidak harus masih berfungsi. Justru yang dibutuhkan adalah barang yang sudah rusak, karena akan dijadikan media praktik bagi siswa untuk membongkar, mempelajari, dan memperbaiki.
Jenis barang yang bisa disumbangkan pun beragam. Mulai dari barang kecil seperti charger, setrika, dan blender, hingga barang yang lebih besar seperti kipas angin, radio, televisi, atau bahkan komputer tua. Semua barang ini menyimpan banyak komponen yang bisa dimanfaatkan sebagai media belajar. Misalnya, kipas angin rusak dapat digunakan siswa untuk mempelajari dinamo, kabel, atau rangkaian saklar. Sementara televisi bekas bisa menjadi sarana pembelajaran mengenai rangkaian kompleks yang lebih menantang.
Tujuan utama dari inisiatif ini bukanlah memperbaiki semua barang agar kembali berfungsi, melainkan menjadikan barang bekas sebagai media praktik bongkar-pasang, identifikasi komponen, serta simulasi perbaikan sederhana. Dengan begitu, siswa memperoleh pengalaman langsung dalam mengenali berbagai jenis komponen elektronik, memahami cara kerjanya, dan melatih keterampilan tangan dalam proses pembongkaran serta perakitan.
Dampak dari program donasi alat elektronik bekas ini terasa nyata. Pertama, sekolah bisa menghemat anggaran. Mereka tidak perlu membeli semua alat praktik dari nol. Banyak komponen dari barang bekas yang masih layak pakai dan bisa dijadikan cadangan untuk praktik siswa. Hal ini tentu membantu sekolah dalam mengalokasikan dana ke kebutuhan lain yang lebih mendesak, tanpa mengorbankan kualitas pembelajaran.
Kedua, program ini menumbuhkan rasa memiliki dan empati di kalangan guru, staf, dan warga sekolah. Ketika guru atau staf ikut menyumbangkan barang bekas dari rumahnya, ada rasa keterlibatan langsung terhadap kemajuan sekolah. Mereka tidak hanya hadir sebagai tenaga pendidik atau pegawai, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem pembelajaran yang peduli dan berkontribusi nyata. Ikatan emosional ini semakin memperkuat solidaritas dalam komunitas sekolah.
Selain itu, ada pula dampak penting dalam hal pendidikan karakter bagi siswa. Melalui program ini, siswa tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi juga mendapatkan teladan tentang berbagi dan kepedulian sosial. Mereka menyaksikan bahwa barang-barang yang dianggap sampah pun bisa memberi manfaat besar jika dikelola dengan bijak. Dari sini, nilai gotong royong, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap lingkungan tertanam dalam diri siswa.
Program donasi alat elektronik bekas juga memperkuat citra sekolah sebagai pusat inovasi dan kolaborasi warga. Sekolah tidak lagi hanya dipandang sebagai tempat belajar akademis, tetapi juga sebagai wadah kreatif yang mampu mengubah masalah menjadi peluang. Dengan inisiatif sederhana ini, sekolah membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berinovasi. Justru dari keterbatasan itulah lahir ide-ide cemerlang yang berdampak luas.
Akhirnya, dari semua paparan di atas, kita bisa melihat bahwa inisiatif sederhana ini mampu membawa dampak besar bagi pembelajaran di sekolah. Barang-barang elektronik rusak yang selama ini dianggap tidak berguna, ternyata bisa menjadi media pembelajaran yang efektif dan bermakna. Sekolah dapat menghemat anggaran, siswa mendapatkan pengalaman praktik langsung, dan warga sekolah ikut merasakan kebersamaan dalam mendukung proses pendidikan.
Inisiatif ini patut menjadi inspirasi bagi sekolah lain. Tidak ada salahnya mengadopsi pendekatan serupa, mengajak seluruh warga sekolah untuk bersama-sama menyumbangkan barang bekas dari rumah mereka. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga berkontribusi pada pengelolaan sampah elektronik yang lebih bijak. Harapannya, sekolah-sekolah semakin berani menjadi pusat kreativitas dan keberlanjutan, tempat di mana keterbatasan justru memunculkan solusi inovatif demi pendidikan yang lebih baik dan berkelanjutan.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd, Guru SMK Muhammadiyah 2 Cepu