Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses pendewasaan manusia, baik secara lahir maupun batin. Proses pendewasaan ini bukan hanya bertujuan agar manusia dapat menguasai pengetahuan, melainkan agar mampu mengembangkan kebebasan berpikir, merasa, bertindak, dan berbicara secara bijaksana. Pendidikan juga membentuk rasa percaya diri yang selalu dilandasi oleh tanggung jawab moral dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pendidikan tidak boleh dipahami sebatas transfer ilmu pengetahuan dari pendidik kepada peserta didik, melainkan juga sebagai usaha membentuk manusia yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral sesuai dengan nilai luhur bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal. Ketiga jalur ini memiliki fungsi yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lain dalam upaya membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan formal diwujudkan dalam lembaga sekolah, pendidikan nonformal terwujud melalui kursus, pelatihan, maupun komunitas, sedangkan pendidikan informal berlangsung dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dari ketiga jalur pendidikan tersebut, pendidikan informal memegang peranan yang sangat penting, karena pusat pendidikan utama bagi anak sesungguhnya terletak di rumah tangga, bersama ibu dan ayah sebagai pendidik pertama dan utama. Pendidikan informal adalah fondasi yang kokoh dalam pembentukan karakter seorang anak, sebab dari keluargalah seorang anak pertama kali belajar tentang nilai, norma, dan etika. Orang tua memiliki peran yang amat besar dalam menanamkan nilai-nilai dasar bagi bangunan budi pekerti, moralitas, serta kepribadian anak. Nilai, norma, dan budaya yang hidup dalam suatu masyarakat biasanya dijadikan pedoman oleh orang tua untuk mendidik anak-anak mereka. Nilai-nilai inilah yang kemudian berkembang menjadi sebuah kearifan lokal, yaitu pengetahuan, sikap, dan praktik yang khas dari suatu daerah atau kelompok masyarakat, yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kearifan lokal sendiri lahir dari proses adaptasi yang panjang dan turun-temurun terhadap lingkungan sosial maupun alam tempat masyarakat itu tinggal. Karena terbentuk melalui pengalaman sejarah yang lama, kearifan lokal menjadi tata nilai kehidupan yang memiliki makna mendalam. Kearifan lokal dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible). Kearifan lokal yang tangible mencakup benda-benda, karya seni, cagar budaya, tekstual, serta bangunan atau arsitektur tradisional yang dapat dilihat secara langsung. Sebaliknya, kearifan lokal intangible berupa sesuatu yang tak kasat mata, seperti petuah yang disampaikan secara verbal, nyanyian rakyat, pantun, tradisi lisan, serta cerita-cerita yang sarat dengan nilai ajaran tradisional. Walaupun tidak berwujud secara fisik, kearifan lokal intangible justru sering kali memiliki kedalaman nilai yang lebih kuat, karena melekat pada kehidupan sehari-hari masyarakat dan diwariskan melalui interaksi sosial.
Sayangnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal, terutama yang bersifat intangible, semakin lama semakin tergerus oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi. Wardhani (2013) misalnya, mengulas bagaimana budaya lokal Indonesia mengalami pelunturan karena masyarakat lebih banyak mengadopsi budaya modern tanpa ada formulasi dan program yang tepat untuk menanamkan nilai kebudayaan melalui pendidikan informal. Generasi muda kini banyak yang tidak mengenal petuah leluhur, nyanyian tradisional, pantun, maupun cerita rakyat yang sejatinya sarat akan nilai karakter bangsa. Mereka lebih akrab dengan budaya populer luar negeri yang kerap kali tidak sejalan dengan identitas kebangsaan Indonesia. Senada dengan itu, Saryono (2019) menyatakan bahwa abad ke-21 yang sarat pengetahuan dan kreativitas mendorong runtuhnya tatanan lama dan membentuk suatu tatanan baru yang penuh paradoks, tantangan, serta masalah yang kompleks.
Dalam kondisi demikian, penguatan karakter bangsa menjadi sangat penting. Globalisasi memang tidak bisa dihindari, tetapi bangsa ini harus memiliki filter berupa karakter kuat agar tidak kehilangan jati dirinya. Pendidikan informal, terutama melalui keluarga, seharusnya menjadi media yang paling tepat untuk melakukan proses internalisasi kearifan lokal intangible. Melalui pendidikan informal, nilai-nilai luhur bangsa yang terdapat dalam kearifan lokal dapat ditanamkan sejak dini secara konsisten dan penuh keteladanan. Namun kenyataannya, banyak keluarga kini tidak mampu menunaikan peran tersebut. Waktu interaksi orang tua dan anak semakin berkurang karena kesibukan pekerjaan, sehingga nilai-nilai luhur yang seharusnya diwariskan melalui interaksi sehari-hari tidak lagi dapat ditransfer secara maksimal.
Proses internalisasi kearifan lokal intangible melalui pendidikan informal sejatinya adalah proses pembelajaran di lingkungan keluarga mengenai nilai-nilai luhur sebuah masyarakat yang tersimpan dalam tradisi lisan. Petuah-petuah yang disampaikan orang tua kepada anak, nyanyian pengantar tidur, pantun yang berisi nasihat, hingga dongeng tradisional yang sarat dengan pesan moral adalah media efektif untuk memperkuat karakter anak. Tujuan akhirnya adalah terbentuknya pribadi anak yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia. Karakter itu mencakup religius, jujur, toleran, disiplin, pekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, memiliki rasa ingin tahu, menjunjung tinggi semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, serta bertanggung jawab.
Internaslisasi kearifan lokal intangible dapat dilakukan dalam berbagai aktivitas keseharian keluarga. Membacakan cerita rakyat sebelum tidur, menyanyikan lagu tradisional pengantar tidur, makan bersama sambil mendengarkan petuah bijak, hingga membiasakan penggunaan bahasa daerah yang santun seperti Jawa krama adalah beberapa contoh yang sederhana namun penuh makna. Aktivitas sehari-hari semacam itu, bila dilakukan secara konsisten, akan menanamkan nilai luhur dalam jiwa anak sehingga mereka tumbuh sebagai generasi yang berkarakter Indonesia. Proses ini memang terlihat sederhana, tetapi sesungguhnya merupakan pondasi penting dalam pembangunan karakter bangsa.
Namun dalam praktiknya, terdapat berbagai hambatan yang membuat proses internalisasi kearifan lokal intangible tidak berjalan optimal. Salah satu hambatan utama adalah minimnya waktu interaksi antara orang tua dan anak. Banyak orang tua yang sibuk bekerja, sehingga tidak lagi memiliki kesempatan membacakan dongeng, menyanyikan lagu tradisional, atau sekadar duduk bersama makan malam sambil memberikan nasihat. Hambatan lain adalah kurangnya keteladanan dari orang tua. Banyak orang tua hanya memberi nasihat secara lisan, tetapi tidak menghadirkan teladan nyata dalam perilaku sehari-hari. Padahal, anak-anak cenderung lebih mudah meniru perilaku dibanding sekadar mendengarkan nasihat. Akibatnya, pendidikan informal kehilangan kekuatannya, dan anak-anak pun lebih banyak menyerap nilai dari luar keluarga, yang sering kali justru berasal dari budaya asing yang tidak sejalan dengan identitas bangsa.
Oleh karena itu, orang tua seharusnya memegang peran kunci dalam proses internalisasi nilai-nilai luhur bangsa. Keteladanan adalah faktor yang paling menentukan. Anak-anak yang terbiasa melihat orang tuanya bersikap jujur, disiplin, dan peduli pada lingkungan akan tumbuh dengan karakter yang sama tanpa harus terlalu banyak dinasihati. Dalam konteks ini, kearifan lokal intangible dapat menjadi media yang efektif bila disampaikan melalui kebiasaan sehari-hari yang konsisten. Tradisi membacakan cerita rakyat sebelum tidur, penggunaan bahasa daerah dalam percakapan rumah, serta penghargaan terhadap nyanyian atau pantun tradisional bisa menjadi bentuk nyata keteladanan yang sarat nilai.
Dengan demikian, proses internalisasi kearifan lokal intangible melalui pendidikan informal sesungguhnya bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan strategi nyata untuk memperkuat karakter bangsa di tengah derasnya arus globalisasi. Keluarga menjadi pusat utama pendidikan karakter, sementara orang tua adalah aktor kunci yang harus sadar akan tanggung jawab besar mereka. Apabila proses ini berjalan dengan baik, maka generasi muda tidak akan tercerabut dari akarnya, melainkan tumbuh sebagai individu yang modern tetapi tetap berakar pada nilai luhur bangsa. Mereka akan mampu bersaing di kancah global tanpa kehilangan identitas Indonesia.
Pendidikan formal dan nonformal memang tetap penting, namun pendidikan informal yang menginternalisasikan kearifan lokal intangible memiliki peran strategis yang tidak tergantikan. Melalui nyanyian, petuah, cerita, dan pantun tradisional, anak-anak dibentuk menjadi pribadi yang religius, berintegritas, cinta tanah air, dan peduli terhadap sesama. Semua itu adalah karakter utama yang dibutuhkan Indonesia untuk menghadapi masa depan. Karena itu, sudah seharusnya setiap keluarga menyadari pentingnya peran mereka, agar kearifan lokal intangible tidak hilang ditelan zaman, melainkan terus hidup sebagai sumber kekuatan bangsa.
Penulis : Lilis Sumantri, S.Sos., Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Mojolaban Sukoharjo