Hujan turun deras di sore itu. Langit seperti sedang menggumamkan keluh kesah rakyat kecil yang tak sampai-sampai ke kuping wakil rakyat. Di bawah emper rumah berdinding separuh batako, seorang lelaki duduk menyandar, memandangi rintik hujan yang jatuh seperti nasibnya: samar, rapuh, dan belum tahu kapan reda.
Namanya Bima. Umurnya baru 31. Sudah punya satu anak, baru satu, karena… ya, penghasilan belum cukup buat dua. Ia lulusan universitas negeri. IPK-nya nyaris cumlaude. Dulu sempat jadi kebanggaan kampung. Tapi sekarang, dia bahkan malu kalau pulang ke acara keluarga. Bukan karena ia jahat, bukan karena ia malas, tapi karena satu pertanyaan yang selalu muncul:
“Kerja di mana sekarang, Ma?”
Kerja. Kata yang makin sulit didefinisikan.
Ia pernah jadi admin kontrak di kantor BUMD—kontraknya diputus.
Ia pernah jadi guru honorer di SD pinggiran—gajinya kalah sama tukang parkir Indomaret.
Ia pernah jadi operator warnet, jadi penulis lepas, pernah juga jadi “asisten tim sukses” seorang caleg—yang akhirnya tak terpilih, dan tak membayar sisa janjinya.
Tapi dari semua pekerjaan itu, yang paling menyakitkan justru yang tidak pernah datang: kerja tetap.
**
Hari itu, Bima baru pulang dari job fair. Bukan job fair beneran. Lebih mirip bazar janji politik. Para caleg muda dengan sepatu mengkilap, dasi sempit, dan senyum lebar.
“Anak muda jangan patah semangat!” katanya dari atas panggung.
“Lapangan kerja terbuka lebar bagi generasi milenial!” katanya dengan tangan mengepal.
Bima ikut daftar. Ikut briefing. Ikut pelatihan.
Hasilnya? Kosong.
Yang lolos adalah anak-anak yang bahkan tak ikut pelatihan. Tapi mereka punya sesuatu yang lebih berharga: bapaknya teman ketua partai.
Satu dari mereka bahkan pernah jadi junior Bima di kampus. IPK-nya 2 koma sekian. Pernah dua kali ketahuan nyontek. Tapi sekarang… dia dapat posisi strategis di kantor pemerintah.
“Titipan,” kata orang dalam.
“Takdir,” kata ibunya di status Facebook.
Bima hanya menatap hujan. Dinginnya hujan tidak seberapa dibanding dinginnya hati para pemegang kuasa yang tega menjadikan masa depan anak muda sebagai bahan kampanye semata.
**
Dari dapur, istrinya keluar. Membawa sepiring pisang goreng dan teh hangat. Wajahnya teduh. Wajah perempuan muda yang belum lama dinikahi, dan belum pernah mengeluh meski dapur kadang lebih sering berasap karena lilin ketimbang kompor.
“Istirahat, Mas. Nanti masuk angin.”
“Iya, Mbak.”
Ia menyebut istrinya ‘Mbak’—bukan karena formalitas, tapi karena rasa hormat.
Karena ia sadar, istrinya punya banyak pilihan. Masih muda, masih cantik, punya ijazah juga. Tapi dia memilih tinggal, di rumah kontrakan mungil, makan seadanya, dan tetap menggenggam tangan Bima meski hidup belum jelas arahnya.
Sore itu, Bima ingin menangis. Tapi ia tahan. Bukan karena malu, tapi karena sudah terlalu sering. Bahkan air mata pun kini pilih-pilih momentum.
“Maaf ya, Mbak. Aku belum bisa ngasih banyak.”
Istrinya tersenyum. “Tapi Mas sudah kasih aku cukup: kesetiaan.”
Dari kata itu saja, Bima tahu, bahwa kekayaan tidak selalu harus dicetak. Kadang cukup dirawat.
**
Namun tetap saja, hatinya sakit.
Sakit bukan karena miskin. Tapi karena dibohongi terlalu lama.
Dibohongi sistem pendidikan yang katanya jaminan masa depan.
Dibohongi para politisi yang bilang “kami berpihak pada generasi muda.”
Dibohongi tokoh agama yang bilang, “yang penting niat baik.”
Padahal yang tembus kerja sekarang bukan yang niat baik, tapi yang kenal baik.
Ia kadang ingin marah. Tapi marah kepada siapa? Tuhan? Negeri? Sistem?
Semua jawaban terasa kosong.
Dan kalaupun marah, ia harus tetap bekerja besok. Harus tetap bantu tetangga panen. Harus tetap isi bensin motor walau harga naik. Harus tetap beli susu anak. Harus tetap bayar kontrakan yang sudah dua bulan ditagih tapi pura-pura lupa.
**
Malam tiba. Hujan reda.
Bima masih duduk di kursi plastik yang kakinya pincang.
Di depannya, teh hangat tinggal separuh. Pisang goreng sudah dingin.
Tapi di sampingnya, istrinya duduk menyender.
Anaknya tertidur di dalam.
Dan dunia, entah kenapa, terasa lebih damai.
Mungkin negara masih belum menjawab.
Tapi setidaknya… ia masih punya cinta.
Dan mungkin, cinta itu cukup—untuk bertahan seminggu lagi.
Atau setidaknya… sampai lowongan CPNS dibuka kembali.
(_Semoga tahun ini tidak dibatalkan_.)
Catatan akhir:
Di negeri ini, nasib bisa kalah sama koneksi.
IPK kalah sama IPL (Ikatan Perut dan Lobi).
Dan janji politik… ya, tetap janji.
Tapi bagi para Bima di luar sana, jangan menyerah.
Negara boleh lupa, tapi kita tidak. Kita masih punya hujan, teh hangat, dan cinta yang tak masuk anggaran.
Cilongok 6 Agustus 2025
Penulis : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, Kepala SMPN 1 Ciilongok