Pendidikan vokasi hadir dengan semangat besar untuk menjawab kebutuhan dunia kerja yang semakin kompleks. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) didirikan dengan misi mulia, yakni mencetak tenaga kerja terampil yang siap bersaing di industri maupun dunia usaha. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah harapan. Banyak lulusan SMK yang masih menghadapi tantangan berat setelah menerima ijazah. Data yang kerap muncul menunjukkan bahwa jumlah pengangguran dari lulusan SMK tergolong tinggi. Hal ini tidak terlepas dari persoalan mendasar: penyaluran lulusan yang belum terarah, minimnya koordinasi di lingkungan sekolah, serta lemahnya informasi yang diterima siswa mengenai masa depan mereka.
Di banyak sekolah, termasuk yang memiliki Bursa Kerja Khusus (BKK), lowongan kerja yang masuk sering kali sepi peminat. Siswa tampak kurang tertarik atau bahkan tidak tahu bahwa peluang tersebut tersedia. Padahal, jika dikelola dengan baik, BKK bisa menjadi pintu emas yang menghubungkan sekolah dengan dunia industri. Sayangnya, dalam beberapa kasus, program kerja Waka Humas, Bimbingan Konseling (BK), dan BKK berjalan sendiri-sendiri tanpa ada sinergi. Akibatnya, siswa yang seharusnya mendapat bimbingan untuk melangkah ke dunia kerja justru kebingungan menentukan arah. Tidak sedikit lulusan SMK yang akhirnya menganggur, terjebak pada pekerjaan serabutan, atau bahkan merasa kompetensi yang mereka miliki tidak terpakai.
Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya peran sekolah dalam mengarahkan masa depan siswa. Tugas sekolah tidak berhenti pada proses pembelajaran di kelas, tetapi juga memastikan bahwa lulusannya benar-benar memiliki arah yang jelas, apakah itu bekerja, melanjutkan studi, atau merintis wirausaha. Tantangan ini semakin mendesak di era persaingan global, di mana dunia industri menuntut tenaga kerja yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki sikap profesional dan kejelasan tujuan.
Salah satu masalah yang kerap dihadapi sekolah adalah minimnya koordinasi antarunit kerja. Waka Humas sibuk dengan agenda publikasi dan kerja sama, BK lebih banyak fokus pada konseling individu dan kelompok, sementara BKK berjalan dengan rutinitas administratif tanpa inovasi berarti. Tidak adanya komunikasi intensif membuat program-program yang semestinya saling melengkapi justru berjalan parsial. Akibatnya, siswa hanya mendapat potongan informasi yang tidak utuh, bahkan terkadang sama sekali tidak terjangkau oleh program sekolah.
Selain itu, sekolah sering kali tidak memiliki sistem informasi yang rapi dan mudah diakses mengenai peluang kerja, beasiswa, maupun pelatihan wirausaha. Banyak siswa merasa bahwa mereka harus mencari sendiri jalan mereka setelah lulus, tanpa arahan yang memadai. Kondisi ini diperburuk dengan ketiadaan peta jalan yang jelas bagi lulusan. Apakah mereka akan diarahkan untuk bekerja di industri, melanjutkan kuliah, atau didorong berwirausaha? Semua berjalan mengalir tanpa strategi yang terstruktur.
Melihat kompleksitas masalah ini, diperlukan langkah solutif yang nyata dan terukur. Salah satunya adalah membangun kolaborasi strategis di internal sekolah. Sebuah terobosan sederhana namun efektif bisa dimulai dengan membentuk grup WhatsApp koordinasi. Anggota grup ini meliputi Kepala Sekolah, Waka Humas, BK, dan BKK. Tujuannya sederhana: menciptakan komunikasi cepat, koordinasi program yang lebih terintegrasi, dan pemantauan progres yang bisa dilakukan secara langsung. Dengan pola komunikasi ini, tidak ada lagi program yang berjalan sendiri-sendiri. Semua unit kerja bisa mengetahui perkembangan terbaru, saling melengkapi, dan bersama-sama memantau hasilnya.
Kolaborasi ini perlu diperdalam melalui koordinasi rutin yang bersifat kolaboratif. Setiap unit menyusun program kerja masing-masing, kemudian menyatukan visi besar bahwa lulusan SMK harus punya arah dan pilihan. BK, misalnya, bisa membantu mengidentifikasi minat dan bakat siswa sejak dini, sementara BKK menyediakan informasi nyata tentang peluang kerja dan pelatihan. Waka Humas berperan menjalin kemitraan dengan dunia usaha dan dunia industri agar siswa memiliki akses lebih luas. Kepala Sekolah memegang kendali untuk memastikan semua langkah ini selaras dengan visi besar sekolah.
Dalam praktiknya, sekolah dapat menyediakan beragam informasi, mulai dari lowongan kerja terbaru, beasiswa untuk melanjutkan kuliah, hingga peluang pelatihan wirausaha. Informasi ini bisa dikemas dalam bentuk buletin digital, grup komunikasi resmi, atau papan pengumuman khusus di sekolah. Yang terpenting, siswa tidak lagi berjalan sendirian. Mereka merasa didampingi, diarahkan, dan diberi motivasi untuk menentukan pilihan masa depan dengan percaya diri.
Dampak positif dari langkah ini sudah bisa terlihat dalam waktu relatif singkat. Jumlah lulusan yang tersalurkan meningkat signifikan. Ada siswa yang berhasil diterima bekerja di industri sesuai kompetensinya, ada pula yang melanjutkan kuliah berbekal beasiswa, bahkan tidak sedikit yang mencoba membuka usaha kecil-kecilan dengan keterampilan yang dimiliki. Data alumni yang terkelola dengan baik menjadi bukti nyata bahwa program ini berhasil.
Keberhasilan tersebut turut berdampak pada citra sekolah di mata masyarakat. Sekolah yang aktif memikirkan masa depan siswanya akan mendapat apresiasi lebih tinggi. Kepercayaan orang tua meningkat karena mereka yakin anak-anaknya tidak akan dibiarkan bingung setelah lulus. Dunia industri pun lebih terbuka bekerja sama dengan sekolah yang memiliki sistem penyaluran lulusan yang jelas.
Refleksi dari semua ini adalah bahwa kolaborasi antarunit kerja di sekolah bukan lagi pilihan, tetapi keharusan. Tidak ada unit yang bisa bekerja sendiri-sendiri jika ingin menyiapkan lulusan yang benar-benar siap menghadapi dunia. Perlu sistem pendataan dan pendampingan alumni yang berkelanjutan, sehingga sekolah bisa terus memantau dan mendukung perjalanan karier para lulusannya. Sistem ini juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi adik-adik kelas yang masih belajar.
Bagi sekolah lain, pengalaman ini bisa menjadi rekomendasi berharga. Membangun sinergi internal tidak membutuhkan biaya besar, melainkan komitmen, komunikasi, dan konsistensi. Dengan berkolaborasi, sekolah bisa menciptakan program yang lebih efektif, terarah, dan berdampak langsung pada siswa. Inilah cara sederhana namun bermakna untuk benar-benar mewujudkan visi pendidikan vokasi: mencetak lulusan yang siap kerja, siap kuliah, dan siap wirausaha.
Pada akhirnya, semua upaya ini bermuara pada satu tujuan: membangun jalan masa depan bagi lulusan SMK. Pesan inspiratif yang bisa kita pegang bersama adalah bahwa lulusan SMK bukan hanya harus siap kerja, tetapi juga siap hidup mandiri. Semua berawal dari koordinasi yang baik dan kepedulian nyata dari pihak sekolah.
Inilah saatnya seluruh elemen sekolah berinovasi dan berkolaborasi. Tidak ada alasan untuk membiarkan siswa melangkah tanpa arah setelah lulus. Dengan sinergi yang kuat, sekolah tidak hanya mencetak lulusan, tetapi juga mencetak masa depan yang lebih baik.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd, Guru SMK Muhammadiyah 2 Cepu