Bagi banyak siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), memilih jalur karier ibarat meniti jalan bercabang dalam kabut. Mereka dihadapkan pada keputusan penting yang berdampak jangka panjang, namun kerap kali dengan bekal informasi dan bimbingan yang minim. Dunia kerja yang terus berubah, tekanan sosial, dan ekspektasi orang tua menjadi tantangan tersendiri dalam proses menentukan masa depan. Dalam situasi seperti itu, tidak mengherankan jika banyak lulusan SMK merasa tersesat, bahkan akhirnya menjadi bagian dari statistik pengangguran terbuka yang cukup tinggi di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), lulusan SMK selama bertahun-tahun tercatat memiliki tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan lulusan jenjang pendidikan lainnya. Pada triwulan II tahun 2023, misalnya, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan SMK mencapai 9,42%, jauh di atas lulusan SMA dan bahkan sarjana. Ironisnya, SMK yang dirancang untuk mencetak tenaga kerja siap pakai justru belum mampu menjawab kebutuhan pasar secara optimal. Hal ini menjadi isyarat bahwa persiapan teknis saja tidak cukup; dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dalam membimbing siswa SMK, terutama sejak dini.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi siswa SMK dalam memilih karier adalah kurangnya informasi yang akurat dan terkini mengenai pasar kerja. Banyak siswa tidak mengetahui secara jelas prospek kerja dari jurusan yang mereka ambil. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan baru menyadari ketidaksesuaian itu saat sudah lulus dan mulai mencari pekerjaan. Perubahan yang cepat di dunia industri, seperti otomasi, digitalisasi, dan munculnya pekerjaan baru yang belum dikenal sebelumnya, membuat informasi yang statis menjadi cepat usang. Akibatnya, siswa kerap tertinggal dalam memahami arah dunia kerja yang dinamis.
Di sisi lain, minimnya pemahaman terhadap potensi dan minat diri sendiri juga menjadi hambatan besar. Tak sedikit siswa yang memilih jurusan hanya karena ikut-ikutan teman, mengikuti tren, atau bahkan karena tekanan dari orang tua yang menginginkan jalur tertentu bagi anaknya. Pilihan semacam ini membuat proses belajar di SMK menjadi kurang bermakna dan karier yang ditempuh kemudian hari terasa dipaksakan. Ketidaksesuaian antara minat dan jurusan dapat berdampak pada rendahnya motivasi belajar, prestasi akademik yang tidak optimal, hingga kesulitan dalam menemukan karier yang cocok setelah lulus.
Aspek lain yang tidak kalah penting adalah lemahnya penguasaan soft skills dan life skills di kalangan siswa SMK. Dunia kerja tidak hanya menuntut kecakapan teknis, tetapi juga kemampuan berkomunikasi, kerja sama tim, manajemen waktu, kepemimpinan, serta pemecahan masalah. Sayangnya, banyak lulusan SMK belum siap menghadapi tantangan non-teknis tersebut. Hal ini membuat mereka kalah bersaing dengan pelamar dari latar belakang pendidikan lain yang memiliki kesiapan mental dan sosial lebih baik.
Sementara itu, peran layanan Bimbingan dan Konseling (BK) di SMK masih belum optimal. Dalam praktiknya, layanan BK lebih sering terfokus pada urusan administrasi atau penanganan masalah kedisiplinan siswa, ketimbang pendampingan karier secara komprehensif. Padahal, BK seharusnya menjadi ujung tombak dalam membantu siswa mengenali potensi diri, memahami dunia kerja, dan menyusun rencana karier yang realistis dan bermakna.
Mengatasi beragam tantangan tersebut tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Salah satu langkah strategis yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan informasi pasar kerja yang komprehensif dan selalu diperbarui. Sekolah harus membangun kolaborasi erat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) untuk mendapatkan data langsung tentang kebutuhan tenaga kerja, jenis keterampilan yang dicari, serta tren masa depan. Penggunaan platform digital seperti portal karier, webinar, dan aplikasi pencarian kerja juga dapat membantu siswa memperoleh informasi secara real-time dan interaktif.
Selain itu, pengembangan soft skills dan life skills harus menjadi bagian integral dari proses pendidikan di SMK. Kurikulum harus dirancang untuk tidak hanya mengejar target kompetensi teknis, tetapi juga membangun karakter dan kecakapan sosial siswa. Ekstrakurikuler, kegiatan OSIS, simulasi kerja tim, dan pelatihan kepemimpinan adalah beberapa cara untuk menanamkan nilai-nilai tersebut. Program magang pun perlu disusun agar mencakup pembinaan sikap kerja dan etika profesional, tidak sekadar pelatihan teknis semata.
Penguatan layanan BK juga mutlak diperlukan. Guru BK perlu mendapatkan pelatihan khusus dalam konseling karier, termasuk teknik asesmen minat dan bakat, penggunaan instrumen psikologis, serta pemanfaatan teknologi dalam pemetaan potensi siswa. BK harus menjadi pusat informasi karier di sekolah, tempat siswa merasa nyaman berkonsultasi dan mendapatkan arahan yang berbasis data serta tren industri. Tools online seperti tes Holland Code, MBTI, atau platform karier berbasis AI bisa digunakan untuk memperkaya wawasan siswa tentang pilihan profesi yang sesuai dengan karakter dan potensi mereka.
Jika strategi-strategi ini dijalankan dengan konsisten, dampaknya akan sangat signifikan. Pertama, angka pengangguran lulusan SMK dapat ditekan karena siswa sudah memiliki gambaran yang realistis tentang dunia kerja dan telah dipersiapkan secara holistik. Kedua, lulusan SMK akan tampil lebih siap dan kompetitif, baik dalam proses seleksi kerja maupun saat beradaptasi di lingkungan profesional. Mereka tidak hanya piawai di bengkel atau laboratorium, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tekanan kerja, mampu berkomunikasi efektif, dan mudah berkolaborasi dalam tim. Ketiga, siswa akan lebih memahami siapa diri mereka, apa yang mereka minati, dan jalur karier apa yang paling sesuai untuk mereka tempuh.
Beberapa sekolah SMK telah membuktikan keberhasilan pendekatan ini. Sebut saja sebuah SMK Negeri 3 Jepara melaksanakan program pemagangan terstruktur serta menerapkan sistem asesmen karier berbasis online sejak kelas X. Hasilnya, lebih dari 80% lulusannya langsung terserap di dunia kerja, dan sebagian kecil lainnya melanjutkan studi.
Keberhasilan seperti ini tidak bisa dicapai hanya oleh sekolah sendirian. Diperlukan sinergi kuat antara berbagai pemangku kepentingan: pemerintah sebagai penyedia regulasi dan anggaran, sekolah sebagai fasilitator pendidikan dan pelatihan, orang tua sebagai pendamping utama dalam pembentukan karakter, serta industri sebagai pengguna tenaga kerja yang turut serta dalam pembinaan. Bersama-sama, mereka dapat membentuk ekosistem pendidikan vokasi yang adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman.
Pada akhirnya, memilih karier bukan sekadar soal mencari uang atau mengejar gengsi. Ini adalah soal menggali potensi terbaik dalam diri, memupuk passion, dan merancang masa depan yang berkelanjutan. Setiap siswa SMK layak mendapatkan kesempatan untuk mengenal dirinya, memahami dunia kerja, dan membuat keputusan karier dengan percaya diri.
Apakah Anda seorang guru BK, orang tua, atau siswa SMK? Mulailah mencari informasi karier hari ini. Karena masa depan tidak datang tiba-tiba, ia dibangun dari pilihan-pilihan kecil yang dibuat dengan kesadaran dan pengetahuan.
Penulis : Citra Ayu Amelia, Guru Sejarah SMK Negeri 3 Jepara