Seni rupa merupakan salah satu cabang pembelajaran yang memiliki peran penting dalam menumbuhkan daya ekspresi, kepekaan, serta kemampuan mengamati lingkungan. Lebih dari sekadar melatih keterampilan teknis, seni rupa membantu siswa mengungkapkan perasaan dan ide yang tidak selalu bisa disampaikan lewat kata-kata. Bagi anak usia sekolah dasar, menggambar adalah media yang alami untuk berekspresi. Mereka sering membuat gambar sederhana berupa gunung, matahari, sawah, rumah, atau burung terbang yang selalu berada di posisi yang sama. Gaya menggambar simbolik semacam ini memang khas dunia anak-anak, karena mereka menggambar berdasarkan ingatan dan simbol, bukan hasil pengamatan langsung.
Namun, ketika siswa memasuki jenjang sekolah menengah pertama, tuntutan pembelajaran seni rupa mengalami perubahan. Jika di SD mereka bebas berekspresi tanpa banyak aturan teknis, di SMP mereka diperkenalkan pada pendekatan observatif: menggambar berdasarkan pengamatan nyata. Transisi inilah yang kerap menjadi tantangan besar, baik bagi siswa maupun guru. Artikel ini bertujuan berbagi pengalaman saya dalam mengelola peralihan gaya menggambar siswa kelas VII di SMP Negeri 3 Pekuncen, dari pola simbolik menuju keterampilan observatif yang lebih proporsional dan realistis.
Pengalaman awal saya bersama siswa kelas VII diawali dengan pembelajaran seni rupa pada materi flora, fauna, dan benda alam. Untuk membuka kegiatan, saya mengajak mereka berdiskusi ringan mengenai pengalaman menggambar di SD. Suasana kelas langsung riuh dengan tawa dan antusiasme. Banyak siswa yang bercerita tentang kebiasaan menggambar gunung kembar dengan matahari di tengah, sawah menghijau, jalan berliku, dan burung berbentuk huruf V di langit. Cerita-cerita itu bukan hanya menghibur, tetapi juga membuka fakta penting: sebagian besar siswa masih terbawa gaya menggambar simbolik dari jenjang sebelumnya.
Dari sudut pandang guru, fenomena ini wajar. Di SD, siswa memang lebih diarahkan pada kebebasan berekspresi ketimbang pada aspek teknis atau ketepatan visual. Akan tetapi, tantangan muncul ketika mereka di SMP mulai diminta menggambar objek nyata berdasarkan pengamatan langsung. Pada tugas pertama, saya mengajak siswa keluar kelas untuk menggambar flora dan benda alam di lingkungan sekolah. Hasilnya menunjukkan kesenjangan yang cukup besar. Banyak karya terlihat kaku, bentuknya tidak proporsional, detailnya minim, bahkan sebagian siswa lebih memilih menyalin gambar dari internet.
Kesulitan yang muncul bukan hanya dari segi teknis, tetapi juga faktor afektif. Ada siswa yang merasa malu menunjukkan hasil karyanya, ada yang mengaku tidak berbakat, dan ada pula yang kehilangan kepercayaan diri karena membandingkan hasil gambarnya dengan teman yang dianggap lebih pandai. Ekspektasi pembelajaran di SMP ternyata cukup jauh dari kebiasaan di SD, sehingga transisi ini menimbulkan tekanan tersendiri bagi siswa.
Sebagai guru seni rupa, saya menyadari pentingnya mengelola peralihan ini dengan cara yang bijak. Saya tidak bisa serta-merta mengoreksi gambar simbolik mereka, apalagi meremehkannya. Sebaliknya, saya memilih pendekatan empatik dengan mengajak siswa membandingkan gambar imajinasi mereka dengan hasil observasi. Misalnya, saya menunjukkan gambar simbolik sebuah daun, kemudian membandingkannya dengan daun asli yang ada di tangan. Dari sana, saya mengajak mereka mendiskusikan bentuk dasar, tekstur, dan detail yang tampak.
Untuk melatih keterampilan observasi, saya menyusun latihan bertahap. Awalnya, siswa saya arahkan menggambar bentuk dasar sederhana seperti oval, lingkaran, atau silinder. Bentuk ini kemudian digunakan untuk menyusun objek nyata, misalnya oval untuk daun, silinder untuk batang pohon, atau lingkaran untuk buah. Dengan latihan bertahap, mereka mulai memahami bahwa menggambar observatif tidak sesulit yang dibayangkan.
Selain pendekatan teknis, saya berusaha menciptakan suasana belajar yang aman dan positif. Saya selalu menekankan bahwa tidak ada karya yang salah, karena seni rupa adalah proses berekspresi. Setiap siswa berhak memiliki gaya masing-masing, dan tugas guru adalah mendampingi agar mereka berkembang. Untuk penilaian, saya menggunakan rubrik yang tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga proses. Aspek yang saya apresiasi antara lain keberanian mencoba, ketelitian dalam mengamati, serta upaya mengekspresikan detail meskipun belum sempurna. Dengan demikian, siswa merasa dihargai dan termotivasi untuk terus berlatih.
Perubahan mulai terlihat setelah beberapa pertemuan. Siswa yang awalnya ragu kini berani menggambar langsung dari pengamatan. Mereka mulai memperhatikan detail kecil, seperti urat pada daun, tekstur kulit batang, atau bentuk kaki ayam yang sebelumnya hanya digambar sebagai dua garis lurus. Keberanian untuk mencoba ini menunjukkan adanya peningkatan rasa percaya diri. Bahkan, siswa yang dulu enggan menggambar mulai menunjukkan minat baru. Mereka merasa lebih puas ketika karya mereka terlihat nyata dan mendapat apresiasi dari guru maupun teman.
Peningkatan kemampuan observasi juga terlihat dari cara siswa mendiskusikan karya. Ketika saya mengadakan sesi apresiasi, mereka mampu memberi komentar positif terhadap karya teman, sekaligus menunjukkan detail yang menarik. Misalnya, ada siswa yang mengapresiasi temannya karena berhasil menggambar bayangan di bawah bunga, sesuatu yang sebelumnya jarang diperhatikan. Sesi apresiasi ini sangat bermanfaat untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan mengurangi rasa minder. Semua karya ditampilkan, baik yang sederhana maupun yang detail, sehingga setiap siswa merasa karyanya memiliki nilai.
Dampak positif lainnya adalah tumbuhnya minat terhadap seni rupa. Siswa tidak lagi menganggap menggambar hanya sebagai tugas sekolah, tetapi sebagai sarana untuk mengekspresikan diri. Saya bahkan menemukan beberapa siswa yang mulai menggambar di luar jam pelajaran dan dengan bangga menunjukkan karya mereka di depan kelas. Perubahan sikap ini membuktikan bahwa dengan strategi pembelajaran yang tepat, transisi gaya menggambar dari simbolik ke observatif dapat berjalan lebih mulus.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa memahami latar belakang belajar siswa sangatlah penting. Siswa kelas VII datang dengan kebiasaan menggambar tertentu dari jenjang sebelumnya, sehingga tidak adil jika kita langsung menuntut mereka menggambar dengan gaya yang sama sekali berbeda tanpa memberikan jembatan transisi. Proses pembelajaran harus dikelola dengan empati dan strategi bertahap. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang menumbuhkan keberanian, kreativitas, dan refleksi diri siswa.
Seni rupa seharusnya dipahami bukan sekadar sebagai pelajaran tentang keindahan, tetapi sebagai ruang untuk tumbuh. Proses menggambar mengajarkan siswa tentang kesabaran, ketekunan, dan keberanian untuk mencoba hal baru. Dari selembar kertas dan pensil, mereka belajar mengamati dunia dengan lebih cermat, menemukan detail yang sering terlewat, dan mengapresiasi keunikan setiap bentuk. Nilai-nilai inilah yang jauh lebih penting daripada sekadar hasil akhir yang indah.
Sebagai penutup, pengalaman di SMP Negeri 3 Pekuncen ini menegaskan pentingnya menghargai proses dan latar belakang siswa dalam pembelajaran seni rupa. Transisi dari gaya simbolik ke observatif bukanlah perjalanan yang singkat, tetapi dengan pendekatan yang empatik, bertahap, dan apresiatif, siswa dapat melewatinya dengan baik. Saya mengajak para guru seni rupa untuk menjadikan kelas sebagai ruang yang inklusif, di mana setiap siswa merasa aman untuk bereksperimen dan dihargai atas usaha mereka.
Harapan saya, pembelajaran seni rupa di sekolah tidak hanya menghasilkan gambar yang indah, tetapi juga membentuk pribadi yang percaya diri, peka, dan kreatif. Sebab, seni bukan hanya tentang apa yang tampak di atas kertas, melainkan tentang bagaimana siswa berani mengekspresikan diri dan melihat dunia dengan mata yang lebih jernih. Seperti kata Paul Klee, “Art does not reproduce what we see; rather, it makes us see.” Melalui seni rupa, kita tidak hanya mengajarkan cara menggambar, tetapi juga cara melihat dan memahami kehidupan.
Penulis : Muhammad Arya Hidayat, S.Pd, Guru SMPN 3 Pekuncen