Sabtu, 18-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Transparansi: Obat Pahit yang Kita Takut Telan

Diterbitkan :

Orang kita ini lucu. Kalau tak punya uang, bicaranya gagah. Seakan-akan sudah jadi profesor ekonomi. Berdebat soal kurs, inflasi, utang negara, bahkan menyalahkan Tuhan kenapa rezekinya seret. Tapi ketika uang itu sudah masuk ke kantongnya—tiba-tiba semua teori hilang. Bahasa yang keluar cuma satu: “Sstt… jangan sampai orang lain tahu.”

Transparansi keuangan itu aneh nasibnya. Di forum resmi, ia dielu-elukan. Kata-kata “akuntabel”, “bersih”, “terbuka” selalu jadi jargon dalam sambutan pejabat, bahan presentasi di seminar, atau tulisan indah di banner rapat kerja. Tapi begitu acara bubar, transparansi dikebiri hidup-hidup. Orang lebih suka hidup di ruang gelap, atau setidaknya remang-remang, agar bisa menambah, mengurangi, atau menyelipkan angka sesuka hati. Di ruang gelap, kita bisa jadi kaya tanpa perlu tampak pintar.

Dari Dapur Sampai Negara

Di level keluarga saja, transparansi sudah bikin ribut. Betapa sering seorang suami mengeluh istrinya terlalu boros, padahal ia sendiri punya catatan utang di warung yang disembunyikan. Atau sebaliknya, istri menuduh suami pelit, padahal ada “rekening rahasia” yang tak pernah dicatat di buku belanja rumah tangga. Kalau dalam rumah tangga kecil saja keuangan bisa jadi medan perang, bagaimana di organisasi besar atau negara?

Di organisasi, entah itu sekolah, masjid, partai, atau koperasi, uang kas sering kali lebih sakti daripada AD/ART. Laporan keuangan bisa disulap seperti pertunjukan sulap di pasar malam. Angka bisa menghilang, berubah wujud, atau digandakan. Bahkan ada istilah klasik: “asal ada kwitansi, semua bisa beres.”

Dan di level negara? Ah, kita semua sudah tahu. APBN yang triliunan itu seringkali nasibnya tak lebih mulia daripada amplop kondangan. Disebut transparan, tapi rakyat hanya boleh tahu judulnya, bukan isinya. Anggaran pendidikan besar, tapi sekolah masih kekurangan buku. Anggaran kesehatan naik, tapi antrean pasien tetap panjang. Uang bansos turun, tapi entah kenapa foto wajah pejabat ikut menempel di karung beras. Kalau uang bisa bicara, mungkin ia sudah teriak: “Tolong bebaskan aku dari tangan-tangan yang suka ngaku-ngaku dermawan!”

Transparansi yang Menyakitkan

Masalahnya, transparansi itu tidak ramah pada kenyamanan orang-orang yang hobi main angka. Ia seperti cermin: menampilkan wajah asli kita, termasuk jerawat dan bopengnya. Dan siapa yang suka bercermin ketika wajahnya berantakan? Maka, orang-orang yang mencoba bicara terang-terangan soal keuangan sering kali dilabeli “provokator”, “pembuat gaduh”, atau yang lebih halus: “tidak kooperatif.” Singkatnya: orang jujur dianggap penyakit.

Kita ini bangsa yang kadang lebih suka reputasi palsu daripada kenyataan pahit. Lebih bangga laporan keuangan rapi daripada kenyataan sekolah masih bocor. Lebih suka audit penuh tanda tangan daripada realita rakyat masih lapar. Transparansi dianggap musuh, padahal sebetulnya dialah kawan paling setia yang bisa menyelamatkan kita dari bangkrut, dari korupsi, dari aib yang lebih besar.

Mengubah Cara Pandang

Lalu, apakah transparansi keuangan harus terus kita singkirkan, seperti orang yang malu punya sahabat miskin? Ataukah kita berani mengubah cara pandang, menerima kenyataan bahwa kejujuran memang menyakitkan, tapi justru dari sakit itu ada kesembuhan?

Kita bisa mulai dari hal kecil. Seorang bapak yang berani jujur pada keluarganya berapa gaji dan cicilan yang ia punya. Seorang bendahara masjid yang berani menempel laporan keuangan di papan pengumuman setiap Jumat. Seorang kepala sekolah yang berani membuka penggunaan dana BOS di depan orang tua murid. Kalau yang kecil sudah bisa jujur, barangkali yang besar pelan-pelan bisa ketularan.

Uang dan Iman

Pada akhirnya, transparansi keuangan bukan cuma soal angka. Ia adalah soal iman. Apakah kita lebih takut kehilangan wajah di depan manusia, atau kehilangan muka di hadapan Tuhan?

Orang bisa memalsukan laporan keuangan, tapi tidak bisa memalsukan catatan hidupnya di Lauh Mahfudz. Orang bisa sembunyikan rekening rahasia dari keluarga, tapi tidak bisa sembunyikan hatinya dari Tuhan yang Maha Tahu. Transparansi bukan soal untung rugi dunia saja, melainkan soal keselamatan jiwa.

Maka, siapa pun yang masih menganggap transparansi sebagai musuh, sebetulnya ia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dan perang paling berat dalam hidup manusia adalah melawan nafsu yang ingin serba gelap.

Jadi mari berhenti menganggap jujur itu menyakitkan. Sebab sakit karena jujur jauh lebih mulia daripada sehat karena dusta.

Ajibarang, 28 Agustus 2025

Penulis : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, Kepala SMP Negeri 1 CIlongok