Bullying atau perundungan merupakan salah satu bentuk permasalahan sosial yang sering muncul di lingkungan sekolah. Fenomena ini tidak hanya mengganggu suasana belajar, tetapi juga berdampak negatif terhadap perkembangan psikologis, sosial, dan akademik siswa. Tidak jarang korban bullying mengalami tekanan mental, kehilangan kepercayaan diri, bahkan enggan datang ke sekolah karena takut dan malu. Sayangnya, sebagian siswa masih menganggap perundungan sebagai hal yang biasa atau bahkan sebagai bentuk lelucon di antara teman sebaya. Inilah yang menjadikan bullying sebagai masalah sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, terutama pendidik. Dalam konteks ini, mata pelajaran Sosiologi memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai sosial, moral, dan empati kepada peserta didik agar mereka memahami bahwa bullying adalah perilaku yang harus ditolak bersama.
Sebagai ilmu yang mempelajari hubungan sosial, struktur sosial, dan perilaku manusia dalam masyarakat, Sosiologi memberi ruang bagi siswa untuk memahami realitas sosial yang terjadi di sekitar mereka. Salah satu materi yang sangat relevan untuk mengangkat isu perundungan adalah “Permasalahan Sosial.” Melalui materi ini, guru dapat menjelaskan bahwa bullying bukan hanya tindakan individu yang salah, melainkan sebuah bentuk penyimpangan sosial yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kurangnya pengawasan, rendahnya empati, serta budaya sekolah yang tidak inklusif. Dengan memahami hal tersebut, siswa diharapkan tidak hanya mampu mengenali bentuk-bentuk bullying, tetapi juga berperan aktif dalam mencegahnya. Namun, mengajarkan topik seperti ini tidak cukup hanya dengan ceramah atau penjelasan teoritis. Guru perlu menghadirkan pendekatan yang menyenangkan, interaktif, dan bermakna, agar pesan yang disampaikan dapat benar-benar dipahami dan dihayati oleh siswa.
Pendekatan pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) menjadi pilihan yang tepat dalam membahas isu bullying di kelas. Joyful learning menekankan pentingnya suasana belajar yang gembira, aktif, dan bebas tekanan, sehingga siswa dapat belajar dengan perasaan positif. Dalam pembelajaran yang menyenangkan, siswa tidak hanya menjadi pendengar pasif, tetapi juga terlibat langsung dalam kegiatan yang menstimulasi rasa ingin tahu, kreativitas, serta interaksi sosial. Pendekatan ini sangat cocok diterapkan di jam-jam pelajaran terakhir, ketika siswa mulai lelah dan kehilangan fokus. Guru Sosiologi dapat merancang berbagai aktivitas permainan edukatif, simulasi sosial, atau diskusi interaktif yang dikaitkan dengan tema perundungan. Dengan demikian, siswa tidak merasa sedang “diceramahi,” melainkan terlibat dalam pengalaman belajar yang menyenangkan sekaligus bermakna.
Langkah awal yang dapat dilakukan guru adalah melakukan kegiatan pemantik reflektif. Misalnya, guru memulai pelajaran dengan menayangkan video pendek tentang kasus perundungan di sekolah, lalu mengajukan pertanyaan sederhana seperti, “Apa yang kalian rasakan saat melihat adegan tersebut?” atau “Mengapa seseorang bisa tega merundung temannya sendiri?” Pertanyaan-pertanyaan ini membantu siswa berpikir kritis dan menumbuhkan empati. Setelah itu, guru menjelaskan konsep dasar tentang permasalahan sosial dan mengaitkannya dengan perilaku bullying sebagai bentuk penyimpangan sosial. Guru tidak menakut-nakuti, melainkan mengajak siswa untuk memahami akar masalahnya dan mendorong mereka mencari solusi yang realistis di lingkungan sekolah mereka sendiri.
Agar suasana belajar lebih hidup, guru dapat menerapkan model game-based learning atau pembelajaran berbasis permainan. Misalnya, dengan membuat “Teka-Teki Sosiologi” yang berisi istilah dan konsep terkait permasalahan sosial, seperti “penyimpangan sosial”, “kontrol sosial”, “empati”, atau “norma.” Setiap kelompok siswa harus menjawab dengan cepat dan benar untuk mendapatkan poin. Permainan seperti ini tidak hanya menumbuhkan semangat kompetisi yang sehat, tetapi juga memperkuat pemahaman siswa terhadap materi. Selain itu, guru bisa membuat simulasi peran (role play) dengan membagi siswa menjadi beberapa peran, seperti pelaku, korban, saksi, dan penolong dalam kasus bullying. Setelah bermain peran, setiap kelompok diminta menceritakan bagaimana perasaan mereka selama simulasi berlangsung. Aktivitas semacam ini membantu siswa menyadari dampak emosional dari perundungan, sekaligus menumbuhkan empati dan kepekaan sosial.
Pendekatan lain yang bisa diterapkan adalah kegiatan proyek mini (mini project). Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil untuk membuat kampanye anti-bullying di sekolah. Mereka bisa membuat poster, video pendek, atau slogan yang berisi ajakan untuk menghentikan perundungan. Karya-karya ini kemudian dipajang di ruang kelas atau media sosial sekolah. Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar konsep permasalahan sosial, tetapi juga menjadi agen perubahan di lingkungannya. Mereka belajar bahwa mencegah bullying bukan hanya tugas guru, tetapi tanggung jawab bersama seluruh warga sekolah. Selain itu, kegiatan proyek seperti ini dapat menumbuhkan rasa bangga dan kepemilikan terhadap nilai-nilai positif yang mereka hasilkan.
Setelah berbagai kegiatan berlangsung, guru perlu mengajak siswa melakukan refleksi diri. Refleksi bisa dilakukan dengan menulis jurnal pribadi atau berdiskusi dalam kelompok kecil tentang hal-hal yang mereka pelajari dari pembelajaran hari itu. Guru dapat memandu dengan pertanyaan seperti, “Apa yang kalian rasakan ketika memerankan korban bullying?” atau “Apa hal sederhana yang bisa kalian lakukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang lebih ramah?” Melalui refleksi ini, siswa belajar memahami diri dan lingkungan sosialnya secara lebih mendalam. Mereka menyadari bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak terhadap orang lain.
Penerapan pembelajaran Sosiologi dengan pendekatan yang menyenangkan ini terbukti membawa banyak perubahan positif di kelas. Siswa yang sebelumnya pasif dan mudah bosan menjadi lebih antusias dan aktif dalam setiap kegiatan. Suasana kelas menjadi lebih kondusif, penuh semangat, dan saling menghargai. Mereka mulai berani berbicara, berpendapat, dan mendengarkan teman dengan penuh perhatian. Guru juga merasakan suasana pembelajaran yang lebih dinamis dan bermakna, karena setiap siswa terlibat secara emosional maupun intelektual. Hasil observasi menunjukkan bahwa setelah beberapa kali pertemuan dengan model seperti ini, frekuensi perilaku mengejek dan memperolok di kelas berkurang. Siswa menjadi lebih peka terhadap perasaan temannya, dan mulai berinisiatif menegur jika melihat tindakan yang mengarah pada perundungan.
Dari sisi teori pendidikan, pendekatan ini selaras dengan konsep Deep Learning, yang mencakup tiga pilar utama: Meaningful Learning (pembelajaran bermakna), Mindful Learning (pembelajaran berkesadaran), dan Joyful Learning (pembelajaran menyenangkan). Ketiganya saling melengkapi dan menjadi fondasi dalam menciptakan pengalaman belajar yang utuh. Dalam konteks penanaman nilai anti-bullying, Meaningful Learning terjadi ketika siswa memahami bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi sosial. Mindful Learning muncul ketika mereka menyadari perasaan orang lain dan tanggung jawab pribadi dalam menjaga keharmonisan sosial. Sedangkan Joyful Learning memastikan bahwa proses pembelajaran berlangsung dengan rasa senang, tanpa tekanan, dan penuh kehangatan. Kombinasi ketiganya membantu siswa bukan hanya mengetahui bahwa bullying itu salah, tetapi juga memilih untuk tidak melakukannya karena mereka paham maknanya.
Dalam pelaksanaannya, peran guru sangatlah penting. Guru tidak hanya berfungsi sebagai penyampai materi, tetapi juga sebagai teladan sosial (role model). Sikap guru dalam berinteraksi dengan siswa, dalam menanggapi konflik kecil di kelas, bahkan dalam memberikan apresiasi dan teguran, semuanya menjadi contoh nyata bagi siswa. Guru yang bijak, empatik, dan adil akan menginspirasi siswa untuk bersikap serupa terhadap teman-temannya. Selain itu, guru perlu bekerja sama dengan pihak lain seperti wali kelas, konselor sekolah, dan orang tua untuk membangun budaya sekolah anti-bullying yang berkelanjutan. Budaya ini tidak bisa dibentuk dalam satu hari, tetapi melalui pembiasaan dan keteladanan yang konsisten.
Melalui pembelajaran Sosiologi yang menyenangkan, siswa diajak untuk tidak hanya mempelajari teori tentang permasalahan sosial, tetapi juga mengalaminya sebagai bagian dari kehidupan sosial mereka sendiri. Mereka belajar bahwa setiap tindakan kecil, seperti menolong teman yang dirundung, menegur dengan sopan, atau mengajak bermain siswa yang dikucilkan, merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sosial yang dipelajari dalam Sosiologi. Dengan pendekatan yang kreatif dan menyenangkan, pelajaran Sosiologi tidak lagi dianggap membosankan, melainkan menjadi wadah untuk belajar hidup bersama secara harmonis.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa penanaman larangan bullying di sekolah melalui pembelajaran Sosiologi dengan pendekatan yang menyenangkan merupakan strategi efektif untuk membentuk karakter siswa yang empatik, bertanggung jawab, dan peduli terhadap sesama. Pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan mampu mengubah cara pandang siswa terhadap permasalahan sosial di sekitar mereka. Mereka tidak hanya memahami bahwa bullying adalah tindakan salah, tetapi juga memiliki kesadaran moral untuk mencegahnya. Dengan dukungan guru yang kreatif dan lingkungan sekolah yang mendukung, pembelajaran Sosiologi dapat menjadi gerakan nyata menuju terciptanya sekolah yang ramah, inklusif, dan bebas perundungan.
Penulis : Lilis Sumantri, S.Sos., Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Mojolaban Sukoharjo