Pembelajaran di jam-jam terakhir sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi guru di sekolah. Siswa cenderung tampak kelelahan, tidak fokus, dan kurang bersemangat mengikuti pelajaran. Hal ini menjadi masalah klasik yang dihadapi hampir di semua jenjang pendidikan, termasuk di kelas XI ketika mata pelajaran Sosiologi berlangsung. Banyak siswa merasa bahwa pelajaran Sosiologi identik dengan teori dan konsep yang sulit dipahami, apalagi jika disampaikan dengan metode konvensional seperti ceramah. Kondisi tersebut membuat suasana kelas menjadi pasif, membosankan, bahkan kadang tidak kondusif. Guru berbicara di depan, sementara sebagian siswa hanya diam, menatap jam, atau bahkan mengantuk. Padahal, materi Sosiologi, khususnya tentang permasalahan sosial, sangat dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari dan seharusnya bisa menjadi jembatan untuk membangkitkan kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Permasalahan ini muncul bukan semata karena siswa tidak tertarik pada pelajaran, melainkan karena metode pembelajaran yang kurang melibatkan mereka secara aktif. Pada jam terakhir, daya konsentrasi siswa sudah menurun, energi mereka terkuras setelah belajar beberapa mata pelajaran sebelumnya. Suasana kelas yang statis dan kegiatan belajar yang monoton menambah kejenuhan. Jika pembelajaran Sosiologi masih dilakukan dengan cara yang sama yaitu guru menjelaskan, siswa mencatat, lalu mengerjakan soal. Maka wajar apabila antusiasme mereka menurun. Padahal, kunci keberhasilan pembelajaran terletak pada sejauh mana guru mampu menghidupkan interaksi dua arah dan membuat siswa merasa bahwa belajar itu menyenangkan serta bermakna. Oleh karena itu, diperlukan inovasi pembelajaran yang dapat menciptakan suasana kelas lebih hidup, interaktif, dan membuat siswa terlibat secara emosional maupun intelektual.
Untuk mengatasi hal tersebut, penulis sebagai guru Sosiologi mencoba menerapkan model pembelajaran berbasis permainan (game-based learning). Ide ini muncul dari kesadaran bahwa permainan memiliki daya tarik universal bagi siswa. Bermain memberikan rasa senang, tantangan, serta kesempatan untuk berkompetisi dan bekerja sama. Dalam konteks pendidikan, permainan bukan hanya hiburan, melainkan alat yang efektif untuk memotivasi dan memperkuat pemahaman konsep. Guru kemudian merancang kegiatan belajar yang mengintegrasikan unsur permainan dengan materi “Permasalahan Sosial.” Tujuannya sederhana yaitu agar siswa tetap antusias belajar meskipun di jam terakhir, tanpa kehilangan esensi dari tujuan pembelajaran itu sendiri.
Langkah pertama yang dilakukan guru adalah melakukan perencanaan dengan matang. Guru menyiapkan berbagai alat bantu seperti kartu pertanyaan, papan permainan, dan kuis interaktif yang berisi topik-topik tentang permasalahan sosial di lingkungan sekitar. Misalnya, pada kartu permainan tertulis pertanyaan seperti “Apa penyebab utama kemiskinan di daerah perkotaan?” atau “Bagaimana cara remaja berperan mengurangi sampah plastik di sekolah?” Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menguji pengetahuan teoretis, tetapi juga mengajak siswa berpikir kritis dan kreatif. Guru juga menyiapkan sistem poin dan hadiah simbolis, seperti pujian atau stiker, untuk menambah semangat kompetisi yang sehat.
Pada tahap berikutnya, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil beranggotakan empat sampai lima orang. Setiap kelompok diberi nama unik agar suasana lebih hidup, seperti “Tim Sosiolog Muda”, “Generasi Peduli”, atau “Aksi Sosial XI IPS.” Guru menjelaskan aturan permainan dengan bahasa yang sederhana dan menarik, menekankan bahwa tujuan utamanya adalah belajar sambil bermain. Setiap kelompok mendapat giliran menjawab pertanyaan, memecahkan teka-teki sosial, atau berdiskusi mengenai kasus nyata yang disajikan guru. Bagi kelompok yang menjawab dengan benar, poin diberikan. Dalam beberapa sesi, permainan dikemas seperti “Teka-Teki Sosiologi Raksasa” atau “Debat Cepat Permasalahan Sosial.” Siswa tampak antusias, saling memberi ide, berdiskusi hangat, bahkan tertawa ketika jawaban mereka mendekati benar tetapi belum tepat. Suasana yang sebelumnya lesu berubah menjadi ramai, penuh semangat, dan produktif.
Selama permainan berlangsung, guru tidak lagi menjadi pusat perhatian utama, melainkan berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan mengontrol jalannya kegiatan. Guru memotivasi siswa untuk berpikir, mendorong kelompok yang pasif untuk ikut berbicara, serta memberikan apresiasi atas setiap usaha yang dilakukan. Guru juga mencatat perilaku dan interaksi siswa selama permainan untuk keperluan penilaian nonakademik, seperti keaktifan, kerja sama, dan kemampuan berkomunikasi. Pada akhir kegiatan, guru mengajak siswa untuk melakukan refleksi. Siswa diminta menuliskan apa yang mereka pelajari dari permainan hari itu dan bagaimana kaitannya dengan kehidupan nyata di sekitar mereka. Beberapa siswa menulis bahwa mereka baru menyadari bahwa masalah sosial tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah saja, melainkan perlu partisipasi masyarakat. Ada juga yang mengaku lebih memahami makna solidaritas setelah bermain secara berkelompok.
Dari hasil penerapan model pembelajaran ini, terlihat perubahan nyata dalam suasana kelas. Siswa yang biasanya pasif kini tampak lebih hidup dan terlibat aktif dalam setiap sesi. Mereka berani bertanya, berpendapat, dan menanggapi jawaban kelompok lain. Tidak ada lagi wajah-wajah bosan yang menatap jam atau menguap berkali-kali. Suara tawa dan sorakan terdengar ketika satu kelompok berhasil menjawab dengan benar. Guru pun merasakan perbedaan atmosfer yang signifikan. Kelas menjadi lebih kondusif, penuh energi positif, dan fokus pada tujuan belajar. Lebih penting lagi, pemahaman siswa terhadap materi “Permasalahan Sosial” meningkat karena mereka belajar melalui pengalaman langsung dan konteks nyata, bukan sekadar menghafal definisi dari buku.
Model pembelajaran berbasis permainan ini sejalan dengan pendekatan Joyful Learning, yaitu pembelajaran yang berlandaskan rasa senang dan gembira. Suasana yang menyenangkan membuat otak siswa lebih terbuka terhadap informasi baru, sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif. Selain itu, permainan juga mengandung unsur Meaningful Learning, karena setiap aktivitas memiliki makna dan relevansi dengan kehidupan sehari-hari. Siswa tidak sekadar menjawab pertanyaan, tetapi juga diajak memahami mengapa fenomena sosial tertentu terjadi dan bagaimana dampaknya bagi masyarakat. Tidak kalah penting, pendekatan ini juga mencerminkan Mindful Learning, karena selama bermain siswa dilatih untuk sadar terhadap perannya, mendengarkan teman, dan merefleksikan apa yang mereka pelajari. Ketiga pilar joyful, meaningful, dan mindful menjadi fondasi penting dalam mewujudkan pembelajaran yang mendalam (deep learning).
Selain itu, permainan dalam pembelajaran juga mendukung teori konstruktivisme, di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya melalui pengalaman. Saat bermain, mereka tidak hanya menerima informasi dari guru, tetapi menemukan makna melalui interaksi, diskusi, dan refleksi. Hal ini menjadikan proses belajar lebih personal dan berkesan. Siswa merasa menjadi bagian dari proses, bukan sekadar objek yang menerima informasi. Guru yang kreatif mampu mengubah ruang kelas menjadi laboratorium sosial yang dinamis, di mana setiap siswa aktif membangun pemahaman tentang dunia sosialnya.
Efektivitas model pembelajaran berbasis permainan tidak hanya terlihat dari peningkatan antusiasme, tetapi juga dari tumbuhnya nilai-nilai sosial di antara siswa. Melalui kegiatan berkelompok, mereka belajar untuk bekerja sama, menghargai pendapat orang lain, dan mengendalikan emosi dalam situasi kompetitif. Permainan menjadi media untuk menanamkan nilai empati, solidaritas, dan tanggung jawab sosial tanpa harus melalui ceramah panjang. Inilah esensi pendidikan Sosiologi yang sebenarnya bukan sekadar memahami teori, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sosial dan rasa kemanusiaan.
Hasil evaluasi yang dilakukan guru menunjukkan bahwa setelah beberapa kali penerapan model ini, nilai rata-rata siswa dalam memahami konsep permasalahan sosial meningkat. Namun yang lebih menggembirakan adalah meningkatnya motivasi dan kehadiran siswa di kelas Sosiologi. Mereka menjadi lebih menantikan pelajaran ini, bahkan sering kali meminta agar permainan serupa diulang pada materi berikutnya. Guru menyadari bahwa perubahan ini tidak hanya karena permainan itu menyenangkan, tetapi karena siswa merasa dihargai dan dilibatkan secara aktif dalam proses belajar. Mereka merasa suara dan ide-idenya penting, dan suasana kelas menjadi ruang yang aman untuk berekspresi.
Dari sisi guru, penerapan pembelajaran berbasis permainan juga membawa dampak positif. Guru menjadi lebih kreatif dalam merancang media dan strategi pembelajaran. Setiap pertemuan menjadi kesempatan baru untuk bereksperimen dengan berbagai bentuk permainan, seperti kuis digital, simulasi peran, atau teka-teki silang konsep sosial. Dengan demikian, guru pun ikut belajar dan berkembang bersama siswanya. Proses pembelajaran tidak lagi monoton, melainkan menjadi perjalanan yang menyenangkan bagi kedua belah pihak.
Selain itu, pendekatan ini sangat relevan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi guru untuk berinovasi sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Melalui permainan, guru dapat menyesuaikan kegiatan dengan minat siswa dan konteks lokal di sekitar sekolah. Misalnya, membahas permasalahan sosial yang nyata di lingkungan mereka seperti kebersihan lingkungan, kemacetan, atau penggunaan media sosial secara bijak. Hal ini membuat siswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari bukan sesuatu yang jauh dari kehidupan mereka, tetapi justru sangat relevan dan bermanfaat.
Meskipun begitu, tentu ada tantangan dalam menerapkan model ini. Guru harus mengelola waktu dengan baik agar permainan tidak menghabiskan seluruh durasi pelajaran tanpa mencapai tujuan akademik. Selain itu, perlu kedisiplinan dan pengawasan agar suasana permainan tetap terkendali dan tidak berubah menjadi kebisingan tanpa arah. Namun, dengan perencanaan yang matang dan aturan yang jelas, tantangan tersebut dapat diatasi. Kuncinya adalah keseimbangan antara kesenangan dan pembelajaran—bagaimana permainan tetap menjadi sarana, bukan tujuan utama.
Pada akhirnya, keberhasilan model pembelajaran ini menunjukkan bahwa inovasi dalam pendidikan tidak harus selalu menggunakan teknologi canggih atau fasilitas mahal. Kadang, perubahan besar justru dimulai dari hal sederhana: mengubah cara pandang kita terhadap belajar. Dengan pendekatan yang lebih humanis dan kreatif, guru dapat mengubah suasana kelas yang membosankan menjadi ruang eksplorasi yang menggembirakan. Siswa yang sebelumnya tidak antusias kini menjadi lebih hidup, lebih ingin tahu, dan lebih menghargai proses belajar itu sendiri.
Pembelajaran Sosiologi yang awalnya dianggap berat dan teoritis kini menjadi pengalaman yang menyenangkan dan bermakna. Dengan permainan, siswa belajar bukan hanya tentang masalah sosial, tetapi juga tentang cara berinteraksi, berpikir kritis, dan bekerja sama. Mereka tidak hanya memahami konsep, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai sosial yang menjadi inti dari Sosiologi itu sendiri. Dengan demikian, model pembelajaran berbasis permainan bukan sekadar alternatif metode, tetapi menjadi jembatan untuk membentuk generasi pembelajar yang aktif, empatik, dan berdaya.
Penulis : Lilis Sumantri, S.Sos., Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Mojolaban Sukoharjo