Sabtu, 11-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Transformasi Motivasi Belajar Melalui Implementasi Pendekatan Deep Learning dalam Kurikulum Merdeka

Diterbitkan :

Motivasi belajar siswa merupakan hal yang bersifat esensial dalam keberhasilan pendidikan, namun sering kali tergerus oleh praktik pembelajaran konvensional. Artikel ini mengupas secara mendalam tentang pendekatan Deep Learning sebagai strategi pedagogis untuk merevitalisasi motivasi intrinsik siswa dalam konteks Kurikulum Merdeka. Berangkat dari identifikasi masalah dalam pembelajaran tradisional yang pasif dan berpusat pada guru, kami menganalisis bagaimana Kurikulum Merdeka membuka ruang untuk inovasi.

Deep Learning, didefinisikan bukan sebagai kurikulum melainkan sebagai pendekatan, menekankan pada pemahaman mendalam, koneksi antar konsep, berpikir kritis, dan aplikasi dunia nyata. Melalui tiga pilar utamanya yaitu Meaningful, Mindful, dan Joyful Learning. Pendekatan ini bertujuan membentuk pembelajar yang aktif, mandiri, dan termotivasi dari dalam. Artikel ini akan menguraikan konsep, strategi implementasi, hingga dampak yang diharapkan dari penerapan Deep Learning di ruang kelas.

Dunia pendidikan di Indonesia terus bergerak mencari format terbaik untuk mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki daya juang, kreativitas, dan motivasi belajar yang berkelanjutan. Namun, realitas dibanyak ruang kelas masih menunjukkan adanya tantangan besar. Model pembelajaran yang diwariskan dari era sebelumnya sering kali menempatkan guru sebagai pusat pengetahuan (teacher-centered). Dalam model ini, proses transfer ilmu berjalan secara linear, di mana siswa diposisikan sebagai bejana kosong yang siap diisi dengan materi pelajaran. Interaksi yang minim dan kurangnya keterlibatan aktif membuat siswa kehilangan rasa kepemilikan atas proses belajar mereka. Akibatnya, gejala-gejala seperti kebosanan, kejenuhan, hingga hilangnya minat belajar menjadi pemandangan yang umum. Kondisi ini menjadi sebuah urgensi yang memerlukan sebuah terobosan, bukan hanya dari segi kurikulum, tetapi juga dari pendekatan atau cara guru memfasilitasi pembelajaran di kelas.

Untuk memahami mengapa sebuah perubahan pendekatan diperlukan, kita harus terlebih dahulu membedah secara kritis karakteristik dan dampak dari proses pembelajaran konvensional. Metode ini, meskipun familiar, menyimpan berbagai kelemahan fundamental yang menghambat perkembangan potensi siswa secara utuh. Ciri utamanya adalah proses belajar mengajar yang berjalan satu arah. Guru berbicara, dan siswa mendengarkan. Guru menjadi sumber utama dalam pembelajaran, yang secara tidak langsung membatasi wawasan siswa hanya pada apa yang disajikan oleh pengajar. Peran guru pun sering kali hanya sebatas pada penyampaian materi hingga tuntas sesuai target kurikulum, tanpa cukup waktu untuk memastikan pemahaman yang mendalam pada setiap individu.

Kondisi ini secara langsung membentuk peserta didik yang cenderung pasif dalam menerima materi. Mereka tidak terbiasa untuk bertanya, berdebat, atau membangun pengetahuan mereka sendiri. Keterlibatan mereka sering kali bersifat reaktif, hanya mengerjakan apa yang diperintahkan. Dampak kumulatif dari lingkungan belajar seperti ini sangat signifikan terhadap kondisi psikologis siswa. Perasaan bosan muncul karena aktivitas yang monoton dan dapat diprediksi. Rasa jenuh timbul ketika materi yang dipelajari terasa abstrak dan tidak ada kaitannya dengan kehidupan mereka. Akhirnya, karena kurangnya stimulasi kognitif dan fisik, siswa menjadi mudah

mengantuk di kelas. Puncak dari semua ini adalah matinya api motivasi dari dalam diri. Siswa mungkin masih belajar, tetapi dorongannya bersifat eksternal, missal takut nilai jelek, ingin peringkat, atau menghindari hukuman. Bukan karena hasrat tulus untuk memahami dunia. Siklus de-motivasi ini adalah masalah krusial yang harus diputus jika kita menginginkan hasil pendidikan yang sejati.

Menyadari adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan perubahan, pemerintah Indonesia memperkenalkan Kurikulum Merdeka sebagai solusi dari pemerintah. Kurikulum ini dirancang sebagai sebuah kerangka kerja yang lebih adaptif dan memberdayakan. Esensi utamanya adalah pemberian otonomi yang lebih besar kepada satuan pendidikan, sekolah, dan para guru dalam merancang dan mengelola pembelajaran yang paling sesuai dengan kebutuhan unik peserta didik dan konteks lingkungan belajar mereka. Filosofi “Merdeka Belajar” yang mendasarinya bertujuan untuk melepaskan belenggu kekakuan kurikulum dan memberikan kebebasan bagi guru untuk berinovasi dan bagi siswa untuk belajar dengan cara yang lebih alami dan relevan.

Kurikulum Merdeka menstrukturkan pengalaman belajar siswa secara holistik melalui tiga pilar kegiatan utama. Pertama adalah kegiatan Intrakurikuler, yang merupakan inti dari proses pembelajaran sehari-hari di kelas dan dirancang untuk mencapai capaian pembelajaran yang telah ditetapkan. Kedua adalah kegiatan Kokurikuler, yang diwujudkan dalam bentuk Proyek. Melalui proyek ini, siswa belajar secara kontekstual, lintas disiplin ilmu, dan berorientasi pada pemecahan masalah di dunia nyata. Ketiga adalah kegiatan Ekstrakurikuler, yang berfungsi sebagai wadah bagi siswa untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi mereka di luar jam pelajaran formal. Dengan kerangka yang fleksibel ini, Kurikulum Merdeka secara eksplisit mengundang para pendidik untuk mengadopsi pendekatan-pendekatan pembelajaran inovatif. Salah satu pendekatan yang paling selaras dengan semangat kemerdekaan dan pembelajaran mendalam ini adalah pendekatan Deep Learning.

Penting untuk ditegaskan sejak awal bahwa Deep Learning dalam konteks pendidikan sangat berbeda dari istilah yang sama dalam dunia kecerdasan buatan. Dalam pedagogi, Deep Learning bukanlah sebuah kurikulum atau seperangkat materi yang kaku. Deep Learning merupakan pendekatan, sebuah filosofi, atau cara melakukan proses pembelajaran yang berfokus pada kualitas pemahaman, bukan kuantitas hafalan. Pendekatan ini secara fundamental mengubah tujuan belajar, dari sekadar “tahu” menjadi “paham dan bisa menerapkan”. Inti dari Deep Learning adalah penekanan pada pemahaman mendalam terhadap sebuah konsep, kemampuan untuk melihat dan membangun hubungan antar konsep yang berbeda, pengembangan sikap kritis terhadap segala informasi yang diterima, serta kemampuan untuk merefleksikan pengetahuan yang didapat dan menerapkannya dalam berbagai situasi di kehidupan nyata.

Tujuan yang ingin dicapai melalui pendekatan ini bersifat jangka panjang dan mendasar. Pertama, Deep Learning bertujuan untuk menumbuhkan minat belajar yang akan bertahan seumur hidup, bukan hanya sesaat untuk ujian. Kedua, pendekatan ini dirancang untuk secara aktif mendorong siswa berpikir kritis dan reflektif dalam keseharian mereka. Ketiga, ia bertujuan untuk meningkatkan kemandirian belajar siswa, mengubah mereka dari penerima pasif menjadi arsitek dari pengetahuan mereka sendiri. Puncak dari semua tujuan ini adalah untuk membentuk motivasi intrinsik, yaitu sebuah dorongan untuk belajar yang lahir dari rasa ingin tahu, kepuasan, dan relevansi personal, bukan lagi sekadar karena iming-iming nilai atau penghargaan eksternal. Untuk mencapai tujuan mulia ini, pendekatan Deep Learning dibangun di atas tiga karakteristik atau pilar utama yang tak terpisahkan yaitu Meaningful Learning (Pembelajaran Bermakna), Mindful Learning (Pembelajaran Berkesadaran) , dan Joyful Learning (Pembelajaran Menyenangkan).

Ketiga pilar Deep Learning berupa Meaningful, Mindful, dan Joyful merupakan satu kesatuan yang harus hadir untuk menciptakan pengalaman belajar yang transformatif. Masing-masing pilar memiliki peran krusial dalam membangun ekosistem kelas yang subur untuk tumbuhnya motivasi intrinsik. Meaningful Learning (Pembelajaran Bermakna), pilar pertama ini adalah tentang relevansi. Pembelajaran menjadi bermakna ketika siswa dapat melihat kaitan langsung antara materi di kelas dengan dunia mereka, baik itu kehidupan sehari-hari, minat pribadi, atau cita-cita di masa depan. Prinsip ini mengharuskan guru untuk menjadi jembatan antara konsep abstrak dengan pengalaman konkret siswa. Ketika pembelajaran relevan, konsep-konsep baru dapat dengan mudah dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya, sehingga proses belajar menjadi lebih mudah dan mendalam. Lebih dari itu, pembelajaran bermakna akan mendorong siswa untuk berpikir kritis dan melatih mereka untuk mampu menerapkan pengetahuannya dalam berbagai konteks yang berbeda, mempersiapkan mereka untuk tantangan dunia nyata.

Mindful Learning (Pembelajaran Berkesadaran), pilar kedua ini menyoroti pentingnya kesadaran dan agensi siswa dalam proses belajar mereka sendiri. Mindful learning berarti siswa tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional dalam setiap aktivitas pembelajaran. Mereka menjadi agen aktif yang secara sadar berupaya untuk membangun pemahaman dan kompetensi mereka. Pembelajaran berkesadaran mendorong siswa untuk fokus pada proses yang sedang berjalan, memahami dengan jelas tujuan dari setiap kegiatan, serta secara rutin merenungkan atau merefleksikan apa yang telah mereka pelajari, kesulitan apa yang mereka hadapi, dan bagaimana mereka bisa menjadi lebih baik. Dengan demikian, siswa mengembangkan metakognisi yaitu kemampuan untuk berpikir tentang cara berpikirnya sendiri, yang merupakan kunci dari kemandirian belajar.

Joyful Learning (Pembelajaran Menyenangkan), pilar terakhir ini berfokus pada aspek emosional dari belajar. Joyful learning adalah tentang menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang positif, aman, dan menyenangkan. Pembelajaran tidak seharusnya menjadi sebuah beban yang menekan, melainkan sebuah petualangan yang menarik dan memotivasi. Kegembiraan ini bisa muncul dari metode belajar yang variatif seperti permainan atau proyek, dari lingkungan kelas yang suportif di mana siswa berani mencoba dan gagal, atau dari hubungan yang hangat dan saling menghargai antara guru dan siswa. Ketika siswa merasa senang dan aman secara psikologis, gerbang rasa ingin tahu mereka akan terbuka lebar, dan proses belajar akan menjadi sebuah pengalaman yang dinanti-nantikan, bukan dihindari.

Penulis : Lilis Sumantri, S.Sos., Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Mojolaban Sukoharjo