Minggu, 12-10-2025
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat
  • Website Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan SahabatWebsite Ardan Sirodjuddin menerima tulisan artikel Guru, Kepala Sekolah dan Praktisi Pendidikan dalam Kolom Tulisan Sahabat

Dampak Pembelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial untuk Pendidikan Indonesia

Diterbitkan : Minggu, 27 Juli 2025

“Bisakah satu kebijakan kecil mengubah wajah masa depan sebuah bangsa?” Pertanyaan ini tampaknya menemukan jawabannya pada langkah berani Kemendikdasmen dalam menetapkan kebijakan pendidikan baru mulai tahun ajaran 2025/2026. Di tahun tersebut, pelajaran koding dan kecerdasan artifisial (AI) secara resmi akan diterapkan dari jenjang SD hingga SMA/SMK di seluruh Indonesia. Sebuah gebrakan yang tidak hanya mencerminkan keberanian, tetapi juga visi jauh ke depan tentang pentingnya menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan zaman.

Langkah ini bukan muncul dari ruang hampa. Dunia tengah bergerak cepat menuju era digital yang semakin kompleks. Revolusi Industri 4.0 telah membuka jalan bagi teknologi untuk masuk ke seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak hanya dalam dunia industri, teknologi juga mengubah cara kita belajar, berkomunikasi, bekerja, bahkan berinteraksi secara sosial. Dalam konteks ini, literasi digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, melainkan kebutuhan dasar yang harus dimiliki setiap individu.

Anak-anak Indonesia tidak cukup hanya diajari cara menggunakan teknologi. Mereka harus didorong untuk memahami cara kerja di balik layar, bahkan mampu menciptakan teknologi itu sendiri. Di sinilah pentingnya koding dan AI. Dengan memahami pemrograman dan kecerdasan artifisial, siswa tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta di tengah derasnya arus digital.

Pemerintah Indonesia sadar betul bahwa kualitas sumber daya manusia menjadi penentu daya saing bangsa di masa depan. Dengan memasukkan koding dan AI ke dalam kurikulum sekolah, tujuan utamanya adalah membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan dan dibutuhkan di era global. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk mendorong lahirnya inovasi sejak usia dini, menciptakan solusi kreatif untuk berbagai permasalahan, serta menumbuhkan semangat kewirausahaan berbasis teknologi di kalangan pelajar.

Namun sebelum berbicara lebih jauh tentang dampaknya, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu koding dan kecerdasan artifisial. Koding, atau pemrograman komputer, adalah proses menulis instruksi yang dapat dibaca dan dijalankan oleh komputer. Melalui koding, seseorang bisa membuat aplikasi, game, website, dan berbagai sistem digital lainnya. Sedangkan kecerdasan artifisial (AI) adalah teknologi yang memungkinkan mesin atau program komputer meniru cara berpikir dan belajar manusia. AI dapat mengambil keputusan, mempelajari pola, bahkan menyelesaikan masalah kompleks dengan kecepatan yang luar biasa.

Contoh penerapan AI dalam kehidupan sehari-hari sangat dekat dengan kita. Mulai dari asisten virtual seperti Siri dan Google Assistant, sistem rekomendasi video di YouTube dan Netflix, hingga deteksi wajah di kamera ponsel atau sistem diagnosa medis berbasis AI. Semuanya membuktikan bahwa AI bukanlah sesuatu yang jauh dan rumit, tetapi telah menjadi bagian dari keseharian kita.

Dengan menerapkan pembelajaran koding dan AI di sekolah, berbagai dampak positif pun diharapkan muncul. Salah satunya adalah pengembangan keterampilan abad 21, seperti berpikir logis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Koding melatih anak-anak untuk berpikir sistematis dan teliti, sedangkan AI mengajak mereka memahami bagaimana data dan algoritma bekerja membentuk keputusan. Ini adalah keterampilan yang tidak hanya berguna di dunia teknologi, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, kebijakan ini diyakini akan meningkatkan daya saing generasi muda Indonesia. Dunia kerja masa depan sangat membutuhkan tenaga-tenaga terampil di bidang teknologi. Dengan mengenal koding dan AI sejak dini, siswa akan memiliki bekal yang kuat untuk masuk ke industri digital, baik sebagai profesional maupun wirausaha teknologi. Tak kalah penting, pembelajaran ini juga mendorong siswa menciptakan inovasi. Banyak anak yang mampu mengembangkan aplikasi untuk membantu petani, alat bantu disabilitas, hingga solusi edukasi digital untuk anak-anak kurang beruntung. Kreativitas seperti inilah yang harus terus disemai di ruang-ruang kelas.

Dari sisi pedagogis, pembelajaran berbasis teknologi juga meningkatkan minat belajar siswa. Metode pembelajaran yang interaktif dan berbasis proyek membuat siswa lebih aktif, antusias, dan merasa memiliki pengalaman belajar yang bermakna. Mereka tidak hanya duduk dan mendengarkan, tetapi juga menciptakan dan mencoba. Proses belajar pun menjadi lebih hidup.

Namun, tidak ada kebijakan yang sepenuhnya tanpa tantangan. Penerapan koding dan AI di sekolah juga menimbulkan sejumlah kekhawatiran. Salah satunya adalah potensi ketergantungan siswa pada teknologi. Dengan kemudahan yang ditawarkan AI, ada risiko siswa menjadi pasif dan hanya mengandalkan mesin untuk menyelesaikan tugas, tanpa benar-benar memahami proses di baliknya. Selain itu, masalah keaslian tugas dan integritas akademik juga muncul. Guru bisa kesulitan menilai apakah sebuah karya benar-benar buatan siswa atau hasil bantuan AI.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah ketimpangan akses. Siswa di daerah terpencil bisa tertinggal karena keterbatasan perangkat dan koneksi internet. Ini bisa memperlebar kesenjangan pendidikan antara kota dan desa. Tak hanya itu, AI juga bisa memberikan informasi yang tidak akurat jika tidak digunakan dengan bijak. Tanpa pemahaman yang benar, siswa bisa terjebak dalam informasi palsu atau jawaban yang menyesatkan.

Dampak jangka panjang dari permasalahan ini bisa cukup serius. Penurunan kualitas pembelajaran, kesulitan dalam evaluasi, hingga pelanggaran etika dan hak cipta bisa terjadi jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan strategi yang matang. Oleh karena itu, berbagai solusi perlu dirancang dan dijalankan secara simultan.

Salah satu solusi penting adalah edukasi etika penggunaan AI. Siswa harus diajarkan bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti. Mereka harus memahami nilai proses, bukan hanya hasil. Tugas-tugas yang diberikan pun perlu didesain sedemikian rupa agar siswa diminta menjelaskan langkah-langkah, membuat refleksi, atau melakukan presentasi. Ini akan membuat mereka tetap aktif berpikir dan tidak sekadar menyalin hasil dari AI.

Selain itu, integrasi teknologi harus dilakukan secara terarah. AI bisa digunakan untuk membantu brainstorming, memberikan inspirasi, atau memperluas wawasan, tetapi hasil akhir tetap harus dikerjakan siswa sendiri. Penggunaan teknologi pendeteksi AI juga bisa diterapkan, namun harus diiringi dengan pendekatan pembinaan, bukan semata-mata hukuman.

Di sisi kebijakan, pemerintah perlu memastikan pelatihan intensif bagi guru agar mereka mampu menguasai dan mengintegrasikan teknologi secara efektif dalam pembelajaran. Tanpa kesiapan guru, teknologi sebesar apa pun tidak akan berdampak signifikan. Pemerintah juga perlu menjamin ketersediaan infrastruktur digital yang merata. Kolaborasi dengan industri teknologi dapat membantu mempercepat proses ini.

Kurikulum pun harus dibuat bertahap dan adaptif. Tidak semua sekolah memiliki kondisi yang sama. Oleh karena itu, fleksibilitas dalam implementasi menjadi kunci. Selain itu, pendidikan etika digital dan keamanan siber perlu dimasukkan sejak dini agar siswa tidak hanya pintar secara teknis, tetapi juga bijak secara moral.

Kebijakan ini menempatkan guru dan orang tua bukan lagi sebagai pelengkap, tetapi sebagai poros utama keberhasilan. Guru kini tidak lagi cukup berperan sebagai sumber informasi tunggal di kelas. Internet sudah lama menggeser posisi itu. Informasi bisa diakses dari mana saja, dalam hitungan detik. Justru inilah saatnya guru bertransformasi menjadi fasilitator pembelajaran yang membimbing siswa menjelajah dunia digital dengan cara yang sehat, kreatif, dan produktif. Peran ini jauh lebih mulia dan menantang dibandingkan hanya menyampaikan materi.

Transformasi peran guru juga menuntut perubahan mendasar dalam strategi mengajar. Pola pembelajaran konvensional yang didominasi ceramah dan soal-soal hafalan harus ditinggalkan. Tidak cukup lagi mengandalkan asesmen di level C1 (mengingat) sampai C3 (menerapkan) dalam taksonomi Bloom. Dunia digital menuntut siswa berpikir pada level yang lebih tinggi—C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), hingga C6 (mencipta). Hanya dengan cara inilah siswa bisa menjadi pemikir kritis, pemecah masalah, dan inovator sejati.

Penerapan pembelajaran mendalam atau deep learning menjadi sangat krusial dalam konteks ini. Siswa perlu diajak menyelami konsep, bukan sekadar mengenalnya di permukaan. Mereka perlu terlibat dalam proses merancang proyek digital, menganalisis algoritma, mengevaluasi hasil kerja, dan menciptakan solusi untuk permasalahan nyata. Semua itu harus dikemas dalam pembelajaran yang menyenangkan, kontekstual, dan menantang secara intelektual. Guru adalah arsitek utama yang mendesain pengalaman belajar ini, dan tantangannya tidak kecil.

Tentu perubahan besar ini tidak dapat dibebankan pada pundak guru seorang diri. Di rumah, orang tua memegang peran yang tidak kalah penting. Anak-anak membawa teknologi ke kamar tidur mereka, ke ruang keluarga, bahkan ke dalam genggaman sepanjang hari. Maka, di sinilah peran orang tua sebagai pendamping, pengarah, dan pengontrol menjadi sangat vital. Orang tua perlu memahami bahwa keberhasilan kebijakan koding dan AI ini bukan hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di rumah. Ini adalah kolaborasi yang tidak bisa dihindari jika kita ingin kebijakan ini berhasil.

Sayangnya, banyak orang tua yang masih merasa gagap menghadapi teknologi. Tak sedikit pula yang menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada sekolah. Padahal, justru di era digital ini, keterlibatan orang tua harus ditingkatkan. Mereka tidak harus menjadi ahli teknologi, tetapi cukup menjadi mitra aktif dalam mendampingi anak belajar. Memastikan anak menggunakan teknologi untuk hal yang positif, mendiskusikan apa yang dipelajari hari ini, atau sekadar menemani ketika anak menyusun proyek digital adalah bentuk dukungan yang sangat berarti.

Kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi kunci emas. Komunikasi yang rutin, terbuka, dan saling mendukung akan menciptakan lingkungan belajar yang konsisten antara rumah dan sekolah. Guru perlu menyampaikan kepada orang tua perkembangan dan tantangan anak-anak dalam memahami teknologi. Sebaliknya, orang tua bisa memberikan masukan tentang kebiasaan anak di rumah yang mungkin tidak terlihat di sekolah. Sinergi inilah yang membentuk ekosistem pendidikan digital yang kuat dan berkelanjutan.

Namun untuk bisa menjalankan peran ini, guru dan orang tua sama-sama membutuhkan dukungan sistemik. Pemerintah dan institusi pendidikan harus menyediakan pelatihan intensif bagi guru agar mereka siap mengajar materi koding dan AI dengan pendekatan yang sesuai. Modul pembelajaran, perangkat ajar, serta sistem penilaian berbasis level C4–C6 harus disiapkan dan diuji coba. Di sisi lain, orang tua perlu diberikan literasi digital dasar agar mereka tidak merasa asing ketika anak mulai berbicara tentang Python, algoritma, atau pembelajaran mesin.

Sekolah juga bisa berperan aktif membangun jembatan antara rumah dan ruang kelas. Misalnya, dengan menyelenggarakan kelas orang tua tentang pengenalan AI, keamanan digital, dan pendampingan belajar daring. Hal ini bukan untuk membebani orang tua, tetapi justru untuk memberdayakan mereka agar mampu mendampingi anak-anak dengan percaya diri.

Akhirnya, kita sampai pada harapan besar: masa depan pendidikan Indonesia yang lebih inklusif, relevan, dan transformatif. Penerapan koding dan AI di sekolah bukan semata soal teknologi, tetapi tentang memberdayakan anak-anak kita agar menjadi pembelajar sepanjang hayat, pencipta solusi, dan warga digital yang bertanggung jawab.

Mari kita dukung kebijakan ini dengan semangat gotong royong. Guru, orang tua, pemerintah, dan seluruh elemen masyarakat perlu bergandengan tangan. Teknologi bukanlah ancaman, tetapi alat yang sangat kuat untuk memberdayakan jika digunakan dengan bijak. Inilah momentum emas untuk membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya bisa mengikuti arus perubahan, tetapi juga mampu menjadi pelopor dalam mendidik generasi masa depan yang cerdas, tangguh, dan siap menghadapi dunia yang terus berubah.

Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam BBGTK Provinsi Jawa Tengah

4 Komentar

Digna Palupi
Minggu, 27 Jul 2025

Menginspirasi.👍

Balas
Listyorini
Minggu, 27 Jul 2025

Setuju

Balas
Nandriyana
Senin, 28 Jul 2025

.waowww.., sangat keren tulisannya. Apakah dengan kondisi ekonomi orang tua siswa yang terkendala alat dan lainnya apakah pembelajaran ini dapat mengimbas dan berdampak sepenuhnya di kehidupan sehari-hari siswa ??

Balas

Beri Komentar

Tinggalkan Balasan ke Adik Reading Batalkan balasan