Albert Einstein pernah berkata, “Jika kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana, berarti kamu belum memahaminya sepenuhnya.” Kutipan ini sering dikutip di mana-mana, kadang disalahpahami, tapi maknanya tetap menancap kuat: pemahaman sejati bukanlah sekadar hafalan, melainkan kemampuan untuk menerangkan. Menariknya, ilmu pengetahuan modern membuktikan hal itu lewat sebuah fenomena yang dikenal sebagai The Protégé Effect.
Fenomena ini menggambarkan bahwa seseorang justru belajar lebih dalam ketika ia mengajarkan materi kepada orang lain. Aneh memang. Kita biasa berpikir bahwa belajar itu berarti duduk, membaca, mencatat, lalu diuji. Tetapi kenyataannya, mengajar orang lain bisa menjadi ujian yang paling jujur atas pemahaman kita sendiri.
Coba bayangkan seorang siswa SMA yang diminta menjelaskan rumus aljabar kepada adiknya yang masih SMP. Ia tidak bisa hanya menghafal langkah-langkah; ia harus tahu mengapa rumus itu berlaku, bagaimana menjelaskannya dengan bahasa sederhana, bahkan mungkin membuat analogi agar adiknya mengerti. Proses inilah yang membuat pemahaman semakin dalam.
Psikologi kognitif menyebut hal ini sebagai deep processing. Ketika mengajar, otak kita bekerja ekstra: mengorganisasi informasi, menghubungkan dengan pengetahuan lama, mencari contoh nyata, dan menyusun bahasa yang mudah dipahami. Semua ini jauh berbeda dengan belajar pasif, di mana kita hanya menerima dan menyalin informasi.
Di momen tertentu, kita mungkin tersadar: “Saya kira saya paham, tapi ternyata sulit menjelaskan.” Inilah saat berharga: kita menemukan celah dalam pengetahuan kita sendiri. Daripada berpuas diri dengan ilusi tahu, kita kembali belajar untuk menutupinya. Proses inilah yang mengubah belajar menjadi sesuatu yang benar-benar bermakna.
Selain itu, ketika menjelaskan, kita terdorong menyederhanakan konsep. Bayangkan seorang mahasiswa yang menjelaskan teori ekonomi kepada temannya yang baru mulai kuliah. Ia tidak mungkin menggunakan jargon rumit; ia harus membuat analogi, seperti membandingkan arus uang dengan aliran air. Penyederhanaan inilah yang membangun pemahaman mendalam—karena menghubungkan konsep abstrak dengan pengalaman nyata.
Lebih dari sekadar kognitif, mengajar juga menggerakkan sisi emosional kita. Saat kita merasa bertanggung jawab agar orang lain mengerti, motivasi intrinsik meningkat. Kita belajar bukan lagi demi nilai atau ujian, tetapi demi keberhasilan orang lain. Neurosains menunjukkan bahwa kondisi ini mengaktifkan jaringan otak yang lebih luas: bahasa, memori, perencanaan, hingga empati. Singkatnya, otak bekerja secara holistik.
Di dunia pendidikan, ada istilah surface learning dan deep learning. Surface learning adalah belajar dangkal: menghafal fakta untuk ujian, lalu melupakannya seminggu kemudian. Deep learning sebaliknya: memahami makna, menghubungkan ide, dan mampu menggunakannya di konteks baru.
Nah, The Protégé Effect sebenarnya adalah mesin pendorong menuju deep learning. Mengajar memaksa kita melewati hafalan dan masuk ke pemahaman sejati. Kita tidak bisa sekadar tahu “apa”, kita harus tahu “mengapa” dan “bagaimana”.
Misalnya, seorang karyawan baru yang menjadi mentor bagi rekan kerja lebih junior. Saat ia menjelaskan prosedur kerja, ia bukan hanya mengulang langkah, melainkan menalar mengapa langkah itu penting, apa konsekuensinya jika diabaikan, dan bagaimana menerapkannya dalam situasi berbeda. Dari situ, ia sendiri menjadi jauh lebih ahli.
Fenomena ini bukan sekadar teori indah. Banyak penelitian mendukungnya. Keith Topping (1998) menunjukkan bahwa siswa yang mengajar temannya memahami konsep lebih baik dibanding yang hanya belajar sendiri. Nathan dan Petrosino (2003) menemukan bahwa siswa fisika yang mengajar adiknya mampu mentransfer pengetahuan ke situasi baru dengan lebih baik.
Fiorella dan Mayer (2013) bahkan menegaskan dalam meta-analisis bahwa teaching others adalah salah satu strategi belajar paling efektif—sebanding dengan retrieval practice atau self-explanation. Dari sisi neurosains, studi Berkowitz dan Scholz (2017) memperlihatkan bahwa otak lebih aktif saat seseorang mempersiapkan diri mengajar dibanding hanya belajar pasif. Aktivasi ini melibatkan area yang berhubungan dengan bahasa, perencanaan, dan empati, menandakan keterlibatan kognitif dan emosional yang mendalam.
Kita tidak perlu menunggu riset untuk membuktikannya. Fenomena ini hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang mahasiswa yang menjadi tutor privat sering kali merasa dirinya ikut belajar ulang, bahkan lebih menguasai materi ketimbang sebelumnya. Orang dewasa yang belajar bahasa asing menjadi lebih lancar ketika mencoba mengajarkannya kepada anak-anak. Di sekolah, program peer teaching terbukti membantu kedua belah pihak: yang mengajar lebih paham, yang diajar lebih mudah mengerti.
Saya sendiri pernah menyadari hal ini ketika diminta memberi penjelasan singkat tentang manajemen mengelola sekolah ke teman wakil kepala sekolah yang berlatar belakang guru. Saya harus memeras otak, mencari analogi yang sederhana, bahkan mengoreksi pemahaman saya sendiri. Pada akhirnya, bukan hanya dia yang belajar, tetapi saya juga pulang dengan pemahaman baru yang lebih tajam.
Lalu bagaimana kita bisa memanfaatkan The Protégé Effect dalam keseharian? Caranya sederhana. Saat belajar untuk ujian, jangan hanya membaca catatan. Cobalah jelaskan materi ke cermin, ke teman, atau bahkan ke boneka. Saat belajar bahasa asing, ajarkan kosakata baru ke teman yang baru mulai belajar. Di tempat kerja, jadilah mentor bagi rekan yang lebih junior. Di rumah, minta anak atau adik menjelaskan ulang apa yang mereka pelajari di sekolah.
Teknik populer yang sejalan dengan hal ini adalah Feynman Technique: jelaskan konsep seolah-olah kepada anak berusia 12 tahun. Jika masih terlalu rumit, berarti kita belum benar-benar paham. Dengan begitu, belajar berubah dari sekadar mengisi otak menjadi proses menyusun ulang pemahaman agar bisa dipahami orang lain.
Lebih jauh lagi, The Protégé Effect memberi pelajaran filosofis tentang hidup. Dalam dunia yang sering menekankan kompetisi, kita diajak untuk berbagi. Pengetahuan tidak berkurang ketika dibagi—ia justru bertambah. Dengan mengajar, kita tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga menumbuhkan diri sendiri.
Hidup pun pada dasarnya adalah proses mengajar dan belajar. Orang tua mengajarkan nilai kepada anak, sahabat saling berbagi pengalaman, bahkan sebuah buku adalah bentuk mengajar dari penulis kepada pembacanya. Dan setiap kali kita mengajar, sesungguhnya kita sedang belajar ulang tentang diri dan dunia.
Akhirnya, The Protégé Effect mengingatkan kita bahwa belajar terdalam terjadi bukan saat kita menimbun pengetahuan, melainkan ketika kita berusaha membaginya. Mengajar memaksa kita menyusun, menyederhanakan, dan merefleksikan—hingga akhirnya kita benar-benar paham.
Mungkin inilah alasan mengapa guru sejati selalu menjadi pelajar sepanjang hidup. Dan mungkin, inilah yang dimaksud Einstein: pemahaman sejati terlihat dari kesederhanaan penjelasan.
Jadi, jika ingin belajar lebih dalam, jangan hanya membaca dan menghafal. Cobalah mengajar. Karena dengan mengajar, kita menemukan bahwa pengetahuan bukanlah beban yang dipikul, melainkan cahaya yang justru makin terang ketika dibagi.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Fasilitator Pembelajaran Mendalam Provinsi Jawa Tengah
Beri Komentar