Di era informasi yang serba cepat ini, siswa tidak kekurangan akses terhadap pengetahuan. Sekali klik, berjuta data dapat diserap dalam waktu singkat. Buku-buku elektronik, video pembelajaran, platform digital, dan media sosial telah menjadi ruang kelas baru yang tak berbatas. Namun, ironisnya, kelimpahan informasi ini justru sering kali menghasilkan pemahaman yang dangkal. Siswa mampu menjawab soal pilihan ganda, tetapi tak bisa menjelaskan alasan di balik jawaban itu. Mereka bisa menghafal rumus, tetapi gagal memahami konsep dasar yang mendasarinya. Akibatnya, pengetahuan menjadi rapuh, tidak fleksibel, dan sulit diterapkan dalam konteks yang lebih luas.
Dalam situasi ini, muncul kebutuhan mendesak akan pendekatan berpikir yang mampu menembus permukaan pengetahuan. Pendekatan yang tidak sekadar memberi jawaban, tetapi menumbuhkan rasa ingin tahu, daya pikir kritis, dan pemahaman mendalam. Di sinilah First Principle Thinking (FPT) hadir sebagai salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan dalam dunia pendidikan. FPT bukan sekadar metode atau strategi, melainkan cara berpikir yang berakar kuat pada logika dan kebenaran mendasar.
First Principle Thinking mengajak kita berpikir seperti ilmuwan: mengurai persoalan hingga ke elemen paling dasar, lalu membangun kembali pemahaman atau solusi dari prinsip-prinsip fundamental tersebut. Pendekatan ini berbeda secara mencolok dengan berpikir melalui analogi, di mana kita cenderung meniru apa yang sudah dilakukan orang lain. Jika berpikir analogi bertanya, “Bagaimana orang lain menyelesaikannya?”, maka FPT bertanya, “Apa fakta dasarnya dan mengapa ini masuk akal sejak awal?”
FPT mendorong kita untuk tidak menerima sesuatu begitu saja. Ia mengajarkan bahwa asumsi yang sudah mendarah daging sekalipun patut dipertanyakan. Pendekatan ini tidak hanya membuka peluang inovasi, tetapi juga menguatkan pemahaman, karena setiap langkah dalam proses berpikir dibangun dari landasan yang kokoh. Tidak heran jika banyak inovator dunia mengandalkan prinsip ini untuk menciptakan lompatan berpikir yang luar biasa.
Salah satu tokoh yang secara eksplisit menggunakan FPT adalah Elon Musk. Ketika ia ingin membuat roket melalui perusahaannya, SpaceX, ia menghadapi kenyataan bahwa harga sebuah roket sangat mahal—bisa mencapai ratusan juta dolar. Umumnya, orang akan menerima kenyataan ini sebagai bagian dari industri antariksa yang rumit dan eksklusif. Namun Musk berpikir lain. Ia bertanya: “Apa saja bahan dasar pembuat roket? Aluminium, titanium, karbon, dan tembaga. Jika bahan-bahan ini dibeli secara terpisah, biayanya jauh lebih murah. Jadi, mengapa tidak membuatnya sendiri?”
Dari pemikiran itulah lahir solusi inovatif yang memangkas biaya produksi roket secara drastis. Contoh ini menunjukkan bagaimana berpikir dari prinsip pertama mampu menciptakan terobosan, bukan hanya di bidang teknologi, tetapi juga di pendidikan, kebijakan, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami bagaimana FPT bekerja, mari kita tinjau langkah-langkah dasar dalam penerapannya. Pertama, identifikasi asumsi yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran. Tanyakan: “Apakah ini fakta atau hanya kebiasaan yang diterima begitu saja?” Kedua, urai hingga ke akar masalah. Pecah suatu persoalan atau ide menjadi bagian-bagian paling mendasar—entah itu hukum fisika, data ilmiah, prinsip logika, atau nilai-nilai universal. Ketiga, bangun kembali pemahaman dari nol, bukan dengan meniru, melainkan melalui kombinasi logika, kreativitas, dan bukti yang ada.
Pendekatan ini juga sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang berpikir bahwa kuliah itu mahal dan menjadi beban keluarga. Dengan pendekatan analogi, ia mungkin hanya menerima kenyataan ini dan mengikuti jalur umum. Namun dengan FPT, ia akan bertanya: “Apa penyebab kuliah mahal? Apakah semua komponennya mutlak diperlukan? Adakah alternatif pembelajaran lain yang lebih terjangkau namun tetap berkualitas?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bisa mengarah pada solusi seperti kuliah daring, belajar mandiri, atau kombinasi kerja-belajar yang lebih efisien.
FPT juga memiliki akar filosofis yang dalam. Konsep ini diperkenalkan oleh Aristoteles yang percaya bahwa segala pengetahuan harus diturunkan dari prinsip pertama—yakni kebenaran yang tidak dapat dibantah. Dalam pendidikan modern, konsep ini sering diabaikan karena tekanan kurikulum yang padat dan sistem evaluasi yang lebih menghargai hasil instan daripada proses berpikir yang reflektif. Padahal, inilah saatnya untuk merebut kembali esensi pembelajaran sejati: mencari makna, bukan sekadar nilai.
Dalam dunia pendidikan, peran FPT sangat krusial sebagai penyeimbang terhadap praktik pembelajaran yang masih didominasi oleh hafalan atau rote learning. Siswa mungkin saja mampu menyelesaikan soal matematika atau fisika dengan benar, tetapi mereka melakukannya semata-mata karena mengingat rumus, bukan memahami mengapa rumus itu masuk akal. Ketika konteks soalnya berubah, kemampuan mereka goyah. Di sisi lain, FPT mendorong pembelajaran mendalam atau deep learning. Siswa dilatih untuk terus bertanya “mengapa”, menelusuri akar permasalahan, dan membangun pemahaman yang logis dan kokoh.
Dengan membiasakan FPT di kelas, siswa akan belajar membedah konsep kompleks menjadi elemen sederhana, dan kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang mereka pahami sendiri. Proses ini tidak hanya menumbuhkan kemandirian berpikir, tetapi juga melatih kreativitas dan ketahanan intelektual. Mereka tidak mudah terjebak pada jawaban tunggal, melainkan terbiasa berpikir fleksibel dan reflektif. Karakter inilah yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi dunia yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian.
Dalam praktiknya, peran guru menjadi sangat penting sebagai fasilitator berpikir. Guru perlu mendesain pertanyaan yang menantang asumsi siswa. Alih-alih bertanya “Apa rumus gaya?”, guru bisa bertanya, “Apa itu gaya dan bagaimana kita tahu bahwa gaya itu ada?” Pertanyaan-pertanyaan jenis ini memancing rasa ingin tahu dan mendorong siswa untuk menggali makna lebih dalam.
Metode Socratic questioning juga bisa digunakan untuk mengembangkan FPT di kelas. Teknik ini mengandalkan serangkaian pertanyaan mendalam seperti: “Apa bukti dari pendapatmu?”, “Adakah alternatif lain?”, atau “Apa dampaknya jika kita mengubah cara pandang ini?” Dengan pendekatan ini, dialog antara guru dan siswa menjadi lebih hidup dan bermakna, bukan sekadar komunikasi satu arah.
Selain itu, pembelajaran berbasis proyek yang menantang siswa untuk mengeksplorasi prinsip dasar suatu topik juga sangat efektif. Misalnya dalam pelajaran IPA, alih-alih memulai dengan rumus V = IR, guru bisa mengajak siswa untuk memahami terlebih dahulu bagaimana muatan bergerak, bagaimana energi berpindah, dan apa yang menyebabkan hambatan. Siswa dapat membuat model rangkaian listrik, melakukan eksperimen, dan menganalisis data sebelum akhirnya menemukan rumus secara mandiri.
Dalam pelajaran sejarah, pendekatan ini juga bisa digunakan dengan cara menelusuri sebab-akibat peristiwa sejarah. Daripada menghafal tanggal pertempuran atau nama tokoh, siswa diajak memahami konteks sosial, ekonomi, dan politik yang melatarbelakanginya. Dalam matematika, siswa bisa diajak memahami bahwa x + x = 2x bukan karena “begitu aturannya”, tetapi karena logika penjumlahan dua nilai yang identik. Dengan cara ini, siswa tidak hanya tahu “apa” dan “bagaimana”, tetapi juga “mengapa”.
Tentu saja, penerapan FPT tidak bebas dari tantangan. Waktu di kelas yang terbatas, tekanan pencapaian target kurikulum, serta kebiasaan belajar siswa yang belum terbiasa berpikir mendalam bisa menjadi kendala. Selain itu, sebagian guru mungkin merasa tidak yakin atau belum terbiasa untuk memfasilitasi proses berpikir terbuka yang menuntut fleksibilitas dan kesabaran.
Namun, tantangan ini bukan tanpa solusi. Integrasi FPT bisa dimulai secara bertahap. Guru tidak perlu mengubah semua metode sekaligus. Cukup dengan menyisipkan satu atau dua pertanyaan prinsip pertama di akhir pembelajaran, atau mendorong satu proyek reflektif dalam satu semester. Selain itu, pelatihan guru dalam pedagogi berpikir kritis sangat dibutuhkan agar mereka memiliki keterampilan dan keberanian untuk memandu proses ini. Sistem penilaian pun perlu diarahkan untuk mengapresiasi proses berpikir, bukan hanya jawaban benar. Penilaian berbasis portofolio, refleksi, atau rubrik proses bisa menjadi alternatif yang lebih sesuai.
Pada akhirnya, First Principle Thinking adalah jembatan menuju pendidikan yang lebih manusiawi dan bermakna. Ia mengembalikan esensi belajar sebagai proses pencarian, bukan penjejalan. Ia menjadikan siswa sebagai subjek yang aktif berpikir, bukan objek yang pasif menerima. Ia membuka ruang kebebasan intelektual, keberanian untuk berbeda, dan kekuatan untuk menciptakan sendiri makna dari apa yang dipelajari.
Sudah saatnya kita membangun ruang kelas yang tidak hanya penuh informasi, tetapi juga penuh pemahaman. Pembelajaran tidak cukup hanya menjawab soal, tetapi juga mempertanyakan dunia. Dan untuk itu, First Principle Thinking adalah alat yang tak tergantikan. Kita tidak harus menjadi ilmuwan seperti Aristoteles atau inovator seperti Elon Musk untuk menerapkannya. Cukup dengan keberanian untuk bertanya lebih dalam, menggali lebih jujur, dan membimbing siswa untuk berpikir dari akar.
Seperti kata Einstein, “Pendidikan bukan sekadar belajar fakta, tetapi melatih pikiran untuk berpikir.” Dan First Principle Thinking adalah jalan terang menuju pendidikan yang mampu melampaui sekadar fakta—menuju kebijaksanaan sejati.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M.Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang dan Peserta TOT Pembelajaran Mendalam BBGTK Jawa Tengah
Masya Allah luar biasa, Tulisan yg sangat membuka pikiran, sehingga kami termotivasi untuk selalu berinovasi dalam mendidik siswa/siswi,walaupun kami hanya mendidik anak PAUD, 🙏
Tulisan yg sangat bermanfaat
Irma Pujiati
Banyumas, Rabu,16 Juli 2025
Terimakasih FPTnya Pak Ardan… mll cara menumbuhkan sikap bertanya mendalam, menggali lebih jujur dan membimbing murid berpikir dari akar masalah..
Semangat sll…
Menginspirasi
Curiosity atau rasa penasaran siswa akan suatu materi memiliki peran yang penting dalam pembelajaran mendalam. Karena dari rasa penasaran itulah critical thinking muncul pada murid. Guru diharapkan dapat memunculkan curiosity pada murid. Saya rasa curiosity adalah hal penting dalam penerapan strategi first principle thinking.
Dalam dunia pendidikan, peran FPT sangat krusial sebagai penyeimbang terhadap praktik pembelajaran yang masih didominasi oleh hafalan atau rote learning.
Mantap dan luar biasa 👍👍
Mantab.. keren
Hopefully this FPT could increase the students learning and also become a better choice of teaching model for us, as teachers,
Aamiin 🤲
Menginspirasi dan mantap.
Beri Komentar