Seorang pemimpin yang memiliki empati bukanlah sosok yang sekadar mengatur, memerintah, atau menetapkan kebijakan. Ia lebih dari sekadar pengendali kekuasaan atau pengambil keputusan formal. Pemimpin berempati adalah penafsir kehidupan orang lain, yang mampu melihat dan merasakan apa yang dialami oleh mereka yang dipimpinnya. Dalam filsafat kepemimpinan, empati dapat dipandang sebagai jembatan moral yang menghubungkan aku dengan yang lain. Hubungan ini mengandung makna mendalam, karena seorang pemimpin sejati tidak pernah melihat manusia sebagai angka statistik atau alat pencapai tujuan, melainkan sebagai subjek dengan martabat, rasa, dan kebutuhan yang sah.
Empati dalam kepemimpinan adalah sebuah keberpihakan pada nilai kemanusiaan. Ia bukan kelemahan, melainkan kekuatan batin yang menjaga arah moral dalam setiap tindakan. Aristoteles menyebut kebajikan sebagai kebiasaan memilih jalan tengah, atau mesotes, di antara dua ekstrem. Pemimpin yang berempati memahami seni keseimbangan ini. Ia tahu bahwa ketegasan diperlukan agar keputusan tidak goyah, namun kelembutan juga penting agar keputusan itu tetap berpijak pada kemanusiaan. Tanpa empati, kekuasaan bisa menjelma menjadi otoritarianisme yang kaku, di mana suara manusia dipaksa tunduk, atau populisme yang semu, di mana suara manusia hanya dijadikan alat pencitraan. Empati menjadikan seorang pemimpin tetap manusiawi, sekalipun ia harus membuat keputusan yang berat. Ia mampu memberi keadilan tanpa kehilangan welas asih, mampu bersikap tegas tanpa memadamkan nurani.
Perspektif eksistensialisme memberikan kedalaman lain bagi pemahaman empati dalam kepemimpinan. Martin Buber, seorang filsuf besar, berbicara tentang relasi Aku-Engkau. Relasi ini adalah bentuk perjumpaan sejati, di mana manusia hadir kepada manusia lain secara utuh, bukan mereduksi mereka menjadi objek. Pemimpin yang berempati hadir dengan cara itu. Ia melihat bawahan, rakyat, atau komunitasnya bukan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan politik, melainkan sebagai pribadi yang layak dihargai keberadaannya. Dalam relasi semacam itu, orang-orang merasa bukan hanya dipimpin, tetapi juga didengarkan. Mereka merasakan pengakuan atas eksistensi diri mereka. Itulah dasar dari kepemimpinan yang sejati: menghadirkan diri bukan hanya sebagai penguasa, tetapi sebagai sesama manusia.
Empati juga adalah energi transformatif. Ia mengalir laksana arus yang mengikat pemimpin dengan pengikutnya, menciptakan kepercayaan dan loyalitas yang tidak dapat dibeli dengan imbalan atau dipaksakan oleh aturan. Pemimpin yang berempati mampu menyalakan semangat bersama, karena ia tidak sekadar memberi arahan, melainkan menghadirkan pengertian. Dari pengertian itu lahir ikatan batin yang lebih kuat daripada kontrak formal atau aturan tertulis. Loyalitas yang terbangun bukan karena rasa takut atau keterpaksaan, melainkan karena rasa percaya. Seorang pemimpin dengan empati memahami bahwa memimpin bukanlah seni menguasai, melainkan seni menggerakkan hati. Dan ketika hati tergerak, seluruh tubuh komunitas akan bergerak bersama menuju tujuan yang sama.
Dalam kerangka filsafat politik, empati adalah penyangga yang mencegah kepemimpinan terjerumus pada Machiavellianisme, yaitu pandangan bahwa politik semata-mata adalah seni manipulasi demi mempertahankan kekuasaan. Tanpa empati, seorang pemimpin bisa tergoda melihat manusia hanya sebagai bidak dalam permainan catur politik. Tetapi dengan empati, ia meneguhkan pandangan bahwa kekuasaan adalah amanah, sebuah tanggung jawab yang diikat bukan hanya oleh hukum, tetapi juga oleh moralitas. Legitimasi sejati tidak hanya datang dari surat keputusan, struktur hukum, atau persetujuan mayoritas, melainkan dari pengakuan moral rakyat bahwa pemimpinnya benar-benar memimpin dengan hati.
Pemikiran tentang pemimpin berempati ini semakin kuat jika kita mendengar suara para pemikir besar. Aristoteles, misalnya, dalam Nicomachean Ethics menekankan bahwa kebajikan adalah keseimbangan. Dalam konteks kepemimpinan, empati adalah kebajikan yang menjaga keseimbangan antara ketegasan yang dingin dan kelembutan yang berlebihan. “The good for man is an activity of the soul in accordance with virtue,” kata Aristoteles, yang berarti bahwa kebaikan manusia adalah aktivitas jiwa yang selaras dengan kebajikan. Pemimpin berempati adalah pemimpin yang menyeimbangkan rasio dengan rasa.
Martin Buber, dalam karya klasik I and Thou, mengingatkan bahwa seluruh kehidupan sejati adalah perjumpaan. “All real living is meeting.” Pemimpin empatik adalah pemimpin yang menjadikan setiap perjumpaan dengan orang lain sebagai momen pengakuan, bukan penguasaan. Ia hadir bukan sebagai pihak yang lebih tinggi, melainkan sebagai sesama yang mau mendengar dan memahami.
Konfusius, filsuf besar dari Tiongkok, menekankan konsep ren, yakni kemanusiaan atau welas asih, sebagai inti moral seorang pemimpin. Ia berkata, “He who rules by virtue is like the North Star; it maintains its place, and the multitude of stars pay homage to it.” Seorang pemimpin yang memerintah dengan kebajikan ibarat bintang Utara yang tetap di tempatnya, dan bintang-bintang lain memberi penghormatan kepadanya. Inilah inti empati: pemimpin yang berakar pada kebajikan akan secara alami mendapat kesetiaan dari mereka yang dipimpin.
Jean-Jacques Rousseau, melalui The Social Contract, menekankan pentingnya kehendak umum atau volonté générale. Pemimpin empatik adalah pemimpin yang mendengarkan denyut nadi rakyatnya, bukan hanya menjalankan kepentingan pribadi atau kelompok. Ketika ia berkata, “Man is born free, and everywhere he is in chains,” Rousseau mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa empati akan mengubah kebebasan menjadi belenggu. Hanya pemimpin dengan empati yang bisa menjaga agar kekuasaan tetap menjadi ruang pembebasan, bukan penindasan.
Mahatma Gandhi, meski bukan filsuf klasik, adalah teladan pemimpin yang berempati. Ia menekankan bahwa kepemimpinan sejati adalah pelayanan. “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” Bagi Gandhi, seorang pemimpin menemukan makna hidupnya justru ketika ia melebur dalam pelayanan kepada orang lain. Itulah inti empati: keberanian untuk menempatkan diri bukan di atas orang lain, melainkan di samping mereka.
Dengan mengacu pada pemikiran-pemikiran besar ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pemimpin berempati bukanlah sosok yang hanya berpikir dengan rasio, melainkan juga dengan nurani. Ia menatap manusia sebagai manusia, bukan sebagai objek kekuasaan. Ia menyadari bahwa kepemimpinan bukanlah penaklukan, melainkan perawatan kehidupan bersama. Seorang pemimpin dengan empati adalah seorang pelayan yang membesarkan martabat kemanusiaan, yang menghadirkan kekuasaan sebagai amanah, bukan sebagai senjata.
Di dunia yang sering kali terjebak pada perebutan kepentingan, manipulasi politik, dan permainan kuasa, pemimpin dengan empati adalah cahaya yang jarang tetapi sangat dibutuhkan. Ia tidak sempurna, namun kesediaannya untuk mendengar, merasakan, dan memahami menjadikannya lebih manusiawi daripada sekadar figur otoritas. Pemimpin seperti ini akan meninggalkan jejak yang lebih dalam daripada kebijakan atau program. Ia akan dikenang bukan hanya karena apa yang diperbuatnya, tetapi juga karena bagaimana ia memperlakukan orang lain.
Empati adalah kekuatan yang membuat kepemimpinan bertahan lama. Kekuasaan tanpa empati mungkin bisa bertahan dengan paksaan, tetapi tidak akan pernah abadi. Sebaliknya, kepemimpinan yang lahir dari empati akan terus hidup dalam hati manusia, jauh setelah sang pemimpin tiada. Itulah sebabnya, pemimpin yang berempati bukan sekadar penguasa, melainkan pelayan yang mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Dan di situlah letak keindahan sejati dari sebuah kepemimpinan.
Penulis : Ardan Sirodjuddin, M. Pd, Kepala SMK Negeri 10 Semarang.
Beri Komentar